Rahasia Gym 24

“Deva! Aku sudah menemukan cara agar kau bisa keluar dari Kalajengking Hitam!” suara Lexy di seberang telepon terdengar penuh semangat, tapi juga bergetar menahan ketegangan.

Deva yang masih duduk di atap gedung tua itu langsung berdiri. Ia menjauh sebentar dari Dani dan Arin, menekan ponsel lebih dekat ke telinganya. “Apa maksudmu, Lexy? Kau tahu sendiri kalau ibumu tidak akan pernah membiarkanku pergi begitu saja. Bagi Kalajengking Hitam, pengawal yang kabur artinya pengkhianat.”

“Aku tahu,” jawab Lexy cepat, suaranya lirih, “tapi justru karena itu… satu-satunya jalan adalah dengan membuat mereka percaya bahwa kau sudah mati.”

Deva terdiam. Kata-kata itu menghantam dadanya seperti hantaman palu. Ia menatap kosong ke arah lampu-lampu kota yang berkelip dari kejauhan. “Memalsukan kematian?” gumamnya pelan.

“Ya,” tegas Lexy. “Kalajengking Hitam tidak akan mengejar orang yang sudah mati. Mereka hanya mengejar pengkhianat yang masih hidup. Kalau kita berhasil membuat semua orang, termasuk ibuku, percaya bahwa kau benar-benar mati, maka kau bebas. Kau bisa menjalani hidupmu tanpa bayangan mafia lagi. Kau… bisa bersamaku.”

Kalimat terakhir membuat jantung Deva berdegup lebih keras. Ada harapan di balik kata-kata Lexy, tapi juga ketakutan besar.

“Lexy, kau sadar risikonya? Kalau rencana ini gagal dan ibumu tahu, bukan hanya aku yang mati… kau pun bisa dianggap berkhianat.”

Lexy terdiam sebentar, lalu suaranya terdengar lebih lembut. “Aku sudah memikirkannya, Dev. Sejak lama. Aku tidak tahan terus melihatmu terjebak di bawah kendali Kalajengking Hitam. Kau bukan budak, Deva. Kau lebih dari itu. Dan aku ingin kau hidup, walau harus dengan cara… mati.”

Deva menutup matanya. Wajah Lexy membayang jelas di kepalanya, jujur saja dia merasa sedikit bersalah karena memanfaatkan cewek itu.

“Lalu… bagaimana caranya?” tanya Deva akhirnya, suaranya berat.

Lexy menarik napas panjang dari seberang telepon. “Aku punya rencana. Minggu depan, ibuku akan mengadakan pertemuan besar di gudang pelabuhan utara. Semua anggota inti Kalajengking Hitam akan hadir. Itu saat yang tepat. Kita bisa menciptakan situasi di mana kau seolah-olah tewas dalam baku tembak. Akan ada mayat pengganti, kebetulan aku tahu kontak dokter forensik yang bisa membantu. Setelah itu, jenazah palsu akan ‘dikremasi’. Semua orang akan percaya kau mati.”

Deva terdiam lama. Angin malam berhembus, membawa dingin yang menusuk tulang. Ia tahu, keluar dari Kalajengking Hitam dengan cara biasa mustahil. Clara, ibunya Lexy sekaligus pemimpin organisasi, adalah wanita berdarah dingin yang tidak mengenal kata pengampunan. Setiap orang yang mencoba kabur berakhir terkubur entah di mana.

Tapi di sisi lain, bayangan kebebasan… dan bayangan Lexy yang tersenyum bersamanya di luar dunia mafia, terlalu menggoda untuk diabaikan.

“Aku… akan lakukan,” ucap Deva akhirnya, suara rendah namun mantap. “Kalau itu satu-satunya cara, aku akan mati untuk bisa hidup kembali.”

Telepon pun berakhir.

Deva kembali ke tempat Dani dan Arin duduk. Kedua rekannya menatapnya penuh tanya. Arin bahkan langsung menyikut lengannya. “Siapa itu? Pacarmu?” godanya.

Deva hanya tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berbeda, seperti seseorang yang baru saja menandatangani perjanjian dengan takdir. “Bisa dibilang begitu,” jawabnya singkat.

Dani menatap Deva lekat-lekat, seolah mencoba membaca isi kepalanya. “Lexy?” tanyanya pelan.

Deva mengangguk. “Dia punya cara agar aku bisa keluar dari Kalajengking Hitam. Tapi risikonya besar.”

Arin menaikkan alis. “Risiko apa?”

Deva menarik napas panjang, lalu menatap kedua sahabatnya dengan tatapan serius. “Aku harus mati.”

Arin terbatuk karena kaget, sementara Dani hanya terdiam. Raut wajahnya berubah serius.

“Memalsukan kematian,” tambah Deva. “Lexy bilang itu satu-satunya cara. Kalau berhasil, aku bebas. Kalau gagal… aku benar-benar mati.”

Keheningan menyelimuti mereka bertiga. Hanya suara gemerisik angin malam yang menemani.

Arin akhirnya memecah suasana. “Kedengarannya gila… tapi mungkin memang itu satu-satunya jalan. Kau serius, Dev? Kau benar-benar mau jalani ini?”

Deva menatap ke langit malam, bintang-bintang redup di antara awan gelap. “Aku sudah lama ingin bebas dari semua ini. Dari darah, dari pengkhianatan, dari rantai yang membelenggu. Kalau harus mati dulu untuk bisa hidup… maka aku akan mati.”

Dani menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Kau gila, Dev. Tapi aku paham. Kadang, kebebasan memang harus dibeli dengan kematian. Bahkan meski itu hanya kematian palsu.”

Mereka bertiga kembali terdiam. Di atap gedung tua itu, dengan kota terbentang luas di bawah sana, ketiganya sama-sama sadar bahwa jalan yang mereka pilih bukan jalan biasa.

Dan di hati Deva, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun menjadi budak Kalajengking Hitam, ada secercah cahaya harapan, meski cahaya itu lahir dari rencana kematian.