Sebagai murid pindahan, Qiara Natasha lupa bahwa mencari tahu tentang 'isu pacaran' diantara Sangga Evans dan Adara Lathesia yang beredar di lingkungan asrama nusa bangsa, akan mengantarkannya pada sebuah masalah besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunny0065, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prioritas
Dokter mengizinkan anggota keluarga menemui, Sangga masuk duluan, melupakan eksistensi Natasha.
"Sang–" panggilan Natasha tertahan di kerongkongan begitu lengannya dicekal seseorang.
"Adara tidak ingin diganggu," cegah Bu Liza.
"Bu, lepaskan tanganku. Aku mau lihat gimana kondisi adiknya Sangga," jelas Natasha.
"Putri saya tidak butuh dijenguk oleh orang asing sepertimu, kehadiran kamu hanya mengganggu suasana," sarkas Bu Liza.
Natasha berkedip tidak percaya bahwa mertuanya akan tega menyakiti perasaannya.
"Pak, jangan loloskan perempuan ini ikut masuk ke dalam ruangan," perintah Bu Liza sembari menghempas tangan mantan murid didiknya.
Natasha meringis pelan, menatap nanar punggung Bu Liza menyusul masuk ke ruangan Adara.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Satpam dari tempatnya mematung depan pintu, menjaga.
"Aku enggak apa-apa."
"Kamu mantan murid asrama nusa bangsa? Malam lalu yang pernah dibonceng Den Sangga?" tembak Pak Satpam.
Natasha mengangguk.
"Namanya Natasha?"
"Bapak mengenalku?"
"Tidak. Hanya kebetulan saat itu, Den Sangga ngasih kartu izin bepergian ke saya. Nama kamu tertulis di kartu," jelas Pak Satpam.
Bibir Natasha tertarik sedikit ke atas, bangga kepada Sangga yang tidak malu mengakui dirinya sebagai pasangan sungguhan.
"Saya dengar gosip di asrama tentang status pacaran kamu dan Den Sangga. Saya juga tau kalian berdua menikah diam-diam," sambung Pak Satpam.
"Kasus seperti ini memang langka terjadi bukan? Enggak aneh warga asrama menjadikan aku dan Sangga bahan pembicaraan," tetap dengan senyuman, Natasha mengakui kebenaran tersebut.
"Kelihatannya kalian berdua lapang dada menerima keputusan menikah. Saya tidak ingin menghakimi, semoga pernikahan antara kamu dengan Den Sangga diberkahi Tuhan," Pak Satpam melempar senyum.
"Terimakasih atas doa nya."
*
Sangga tertular sedih melihat perempuan bertubuh kurus terbaring lemah di atas bangsal.
"Adara, aku pulang," sendu Sangga mengecup kening saudarinya.
Adara menangis, merindukan cukup lama kepulangan Sangga.
Bu Liza tersenyum perih menyembunyikan goresan luka di sanubari, menyaksikan kebahagiaan putrinya memeluk erat sosok saudaranya.
"Aku kangen," isak Adara.
Sangga tidak membalas ucapan rindu menyiksa perasaan adiknya, kenyataan ini sangat pahit membuatnya ikut terisak.
"Kamu pergi ninggalin rumah tanpa bilang ke aku, kenapa semudah itu ambil keputusan putus sekolah? Apakah di hidupmu, aku adalah beban yang harus dibuang agar langkahmu ringan? Taukah kamu betapa aku menyayangimu, aku tulus memperlakukanmu sepenuh hati, aku rela melawan siapapun yang coba merusak hubungan kita, aku selalu ada buat kamu tapi kenapa, disaat aku membutuhkanmu, kamu enggak ada untukku," tutur Adara mengutarakan kesakitan mengganjal di hati.
"Sorry."
"Aku selalu maafin kamu. Please, habis ini jangan tinggalin aku," tersedu Adara.
Sangga melerai peluk, mengusap lelehan air matanya, ini tidak lucu menangis di depan perempuan meski ini adalah adiknya, bahkan Natasha notabene istrinya belum sekali ditangisi sedalam ini.
Nyaris melupakan seseorang saking semangatnya diberi ijin menemui sang adik, Sangga mengedarkan pandangan mencari Natasha.
"Bun, di mana Natasha?" tanya Sangga.
Bu Liza menelengkan kepala supaya putranya mengesampingkan perempuan itu. "Perhatikan Adara," ucapnya.
"Tapi Bun—"
"Kita lama terpisah setidaknya mulai sekarang kamu banyak menghabiskan waktu bersama Adara dan Bunda," tegas Bu Liza memotong cepat bantahan anaknya.
Sangga terbungkam, menangkap sinyal permohonan bundanya sudah lelah menghadapi Adara.
"Aku enggak sudi ketemu Natasha. Dia orang jahat enggak punya perasaan," ujar Adara.
"Lihat, masih mau menolak permintaan Bunda?" sedih Bu Liza menunjuk putrinya dengan dagu.
"Dari pagi, Adara belum makan, dokter menyarankan Bunda membujuk Adara agar mau mengisi perut. Tapi apa, penolakan yang Bunda terima, Adara tak selera makan, jika Mas tidak keberatan tolong suapi Adara makan bubur, ini demi kesembuhannya," lapor Bu Liza.
"Bun, aku mau makan asal Mas Sangga membelikan bubur buatku," kata Adara memanfaatkan situasi.
...
"Gimana perkembangan Adara?" tanya Natasha.
Sangga menarik kepala Natasha dan mendaratkan kecupan di kening.
"Cukup baik. Kita pulang sekarang? Aku capek pengen tidur di pelukan kamu."
Pak Satpam berpaling muka tidak sengaja menonton keromantisan dipamerkan Sangga.
"Aku belum ketemu Adara, ijinkan aku sebentar masuk," mohon Natasha menatap harap.
"Nengok nya besok pagi sambil bawa oleh-oleh buat Adara. Gibran, Kevin, Alleta, belum pada tau temennya dirawat di sini. Aku udah kirim pesan via WhatsApp ke nomor Dimas supaya mampir ke sini gantiin aku jaga Adara," jelas Sangga.
"Berarti saya boleh pulang, Den?" timpal Pak Satpam.
"Bapak kembali pulang, terimakasih udah nolong kesusahan keluarga saya. Oh, ya, sedikit informasi kalau Bapak mau jenguk Adara di lain hari, kamarnya udah enggak di UGD lagi, kata Bunda bakal dipindah ke ruang inap lantai dua," beritahu Sangga.
"Siap, Den," hormat Pak Satpam.
"Terus Adara gimana? Kita enggak mungkin ninggalin dia di sini, gimana kalau Bunda tiba-tiba ada keperluan mendesak dan pergi, siapa akan menemani Adara?" khawatir Natasha.
"Dimas ke sini gantiin tugasku sampai magrib," balas Sangga.
Natasha mengangguk paham, rasa khawatirnya sedikit tenang.
*
Suasana kafe bertambah ramai, didominasi orang-orang kenalan Pak Aksan. Sangga memijit pelipis, pertemuannya dengan Adara memusingkan isi kepala.
"Kamu laporan ke Papa kalau kita selesai jenguk Adara di rumah sakit. Ini, aku titip handphone," Sangga mengulurkan ponsel.
Natasha mengantongi ponsel ke tas selempang kecilnya. "Di rumah sakit ngajak pulang karena pengen bobo sekarang ngantuk nya ilang? Kamu mau ke mana lagi?"
Sangga membuka kuncian helm terpasang di kepala Natasha dan menyerahkannya agar di bawa ke dalam kafe. "Nyari udara segar."
"Balik lagi ke sini?"
"Pasti."
Sebelum pergi ke suatu tempat, Sangga mengelus pipi Natasha yang begitu halus di telapak tangan.
"Selama aku pergi, kamu jangan kangen ya?"
*
Sangga menaruh helm di stang motor.
"Pak, bubur ayam dua kap, bumbunya dipisah," ucap Sangga.
"Sepuluh ribu per porsi," obral pedagang bubur di pinggir jalan.
"Dua puluh ribu per mangkuk pun akan saya beli," balas Sangga melipatkan nominal.
"Deal, dua puluh ribu, total empat puluh ribu."
"Tolong cepat," suruh Sangga.
5 menit, bubur terkemas rapi. Sangga menerima pesanannya dan membayar cash senilai harga biasa dijajakan pedagang.
"Kurang dua puluh ribu, mana tambahannya," protes tukang bubur.
"Harga umumnya segitu."
"Mas udah deal empat puluh ribu."
"Saya bercanda." lantas dengan tidak bersalahnya Sangga menaiki kendaraan roda duanya, mencap gas motor.
Merasa ditipu, pedagang kaki lima memaki-maki kepergian pembelinya.