NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Ketenangan sore

Pagi itu, halaman belakang rumahku terasa lebih hidup dari biasanya. Udara segar membawa bau embun, matahari belum terlalu terik, dan suara burung jadi latar alami yang menenangkan. Rasanya seperti… semua kekacauan kemarin cuma mimpi buruk.

Tapi tentu, Gilang nggak bisa biarin pagi jadi terlalu normal.

Dia berdiri di tengah halaman, pakai celana olahraga gombrong dan kaus lusuh yang kayaknya udah jadi seragam tidurnya. Rambutnya acak-acakan, tangan di pinggang, dan wajahnya serius banget, seakan lagi mimpin pasukan militer.

“PERHATIAN!” teriaknya, bikin aku hampir nyipratin teh panas dari gelas. “Demi kebugaran kita dan biar aura rumah ini bersih, sekarang kita mulai SENAM ANTI GANGGUAN GAIB!”

Aku dan Wita duduk di teras belakang, masing-masing pegang teh hangat. Di meja ada sepiring pisang goreng panas yang baru aja aku goreng. Kak Joan nyender santai di pintu kaca sambil nyeruput kopi, menatap Gilang kayak lagi liat tontonan absurd.

Aku mendengus, menahan tawa. “Lang, serius lo? Senam bisa bikin setan takut?”

Gilang nggak jawab, langsung mulai gerakan yang… jujur aja, absurd. Lompat ke kiri, terus ke kanan, tangannya muter-muter kayak baling-baling, terus jongkok setengah, bangun lagi, lompat-lompat lagi. “Ini bukan senam biasa, Nad! Ini Anti Santet Shuffle! Energi positifnya bikin setan males deket-deket!”

Wita nutup muka pakai tangan, suaranya setengah malu setengah kesal. “Gilang… kalo ada tetangga liat, aku beneran pura-pura nggak kenal kamu.”

Kak Joan akhirnya angkat alis, ngomong dengan nada santai tapi menusuk. “Menurut gue… bukan setan yang takut liat gaya dia, Nad. Pisang goreng aja bisa kabur kalo liat beginian.”

Aku ketawa, sampai hampir nyipratin teh ke baju. “Lang, udah deh. Nih, sini duduk. Pisang goreng masih panas. Makan aja, sebelum lo beneran pingsan sendiri.”

Akhirnya Gilang berhenti, duduk di tangga teras sambil ngos-ngosan. “Gue cuma pengen bikin suasana nggak tegang mulu. Biar energi positifnya nyebar.”

Wita ngasih gelas teh ke dia, nadanya datar tapi ada senyum kecil. “Energi positif sih penting, tapi kamu nggak perlu joget kayak ayam jatuh dari motor buat nyebarin energi, Lang.”

Kami semua ketawa lagi, tawa ringan yang udah lama nggak kerasa di rumah ini.

Setelah tawa reda, Kak Joan meletakkan cangkir kopinya ke meja. Tatapannya beralih ke aku.

“Oh iya, aku udah ngomong ke Papah-Mamah soal tinggal di sini. Mereka setuju sementara di sini, Nad. Kakak nggak mungkin biarin kamu sama Wita aja di rumah sebesar ini, apalagi kalau malam.”

Gilang angkat tangan. “Gue juga udah bilang ke bokap-nyokap. Mereka nggak masalah ikut tinggal di sini. Lebih aman katanya, daripada bolak-balik tiap hari. Dan… kalau ada yang aneh-aneh, bisa bantu jaga.”

Aku menatap mereka berdua, setengah lega, setengah geli. “Jadi sekarang rumah ini isinya empat orang? Dua dokter forensik yang shift-nya aja udah bikin suasana kayak film horor, gue, dan Wita?”

Wita nyengir, nyomot satu pisang goreng. “Setidaknya, kalau ada suara aneh tengah malam, kita nggak cuma berdua doang. Aku sih nggak masalah… asal Gilang nggak tiap pagi senam konyol kayak tadi.”

Gilang pura-pura tersinggung, tangannya terangkat dramatis. “Hei, ini bukan konyol! Ini jurus keluarga. Nanti kalo ada setan beneran nyelonong, kalian bakal nyesel nggak ikut.”

Kak Joan mendesah pelan, menatap Gilang sekilas. “Selama lo nggak ganggu sarapan gue, Lang, lo mau joget tiap pagi juga silakan. Tapi jangan deket-deket sama kopi gue.”

Kami semua ketawa lagi. Rasanya… normal. Damai.

Untuk pertama kalinya sejak semua gangguan itu, halaman belakang rumah ini terasa benar-benar hidup—dengan pisang goreng panas, teh hangat, dan lelucon receh yang bikin suasana nggak sesepi dulu.

...

Senja turun pelan-pelan, langit di belakang rumah berubah warna jadi oranye keemasan, perlahan memudar ke ungu. Angin sore bawa aroma tanah basah dan suara serangga mulai terdengar samar. Halaman belakang rumahku terasa hangat, damai… jauh dari semua teror yang pernah datang.

Aku duduk di ayunan kecil yang tergantung di pohon mangga, goyang pelan sambil memandangi langit. Kak Joan datang dari dalam rumah, masih pakai kaus lengan panjang santai dan celana training. Di tangannya ada dua cangkir cokelat panas.

Dia duduk di bangku kayu di sampingku, lalu menyodorkan satu cangkir.

“Minum dulu. Biar nggak masuk angin.”

Aku menerimanya, jari kami bersentuhan sebentar. Hangat. Aku tersenyum kecil. “Makasih, Kak.”

Dia menatapku, matanya lembut dalam cahaya senja. “Kamu keliatan capek. Tapi sekarang udah agak tenang, ya?”

Aku mengangguk, menyesap cokelatnya pelan. “Iya… agak tenang. Walau jujur, aku masih agak waspada. Kayak… nunggu sesuatu terjadi lagi.”

Dia mendekat sedikit, tangannya pelan menyentuh punggung tanganku yang memegang cangkir. “Aku janji, apapun yang datang, aku nggak bakal ninggalin kamu sendirian. Kamu nggak usah nahan semuanya sendiri.”

Aku menoleh menatapnya, dan untuk sesaat, aku lupa semua gangguan yang pernah bikin malam-malamku panjang. Senja, suara alam, dan tatapan Kak Joan bikin dunia seolah berhenti.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang. “Kak… kamu nggak takut? Semua hal yang udah kejadian… kamu kan tahu, ini nggak normal.”

Dia menggeleng pelan. “Takut sih… ada. Tapi lebih takut kalau kamu harus ngadepin semuanya sendirian. Itu sebabnya aku di sini.”

Senyumku muncul tipis. “Kamu sadar nggak, kita lagi ngomongin hal serem… tapi suasananya romantis banget?”

Dia nyengir kecil, lalu tanpa banyak kata, tangannya bergerak ke arah pipiku, menyentuhnya perlahan. Sentuhan itu bikin aku refleks mendongak, mata kami bertemu. “Ya, mungkin karena aku lebih fokus sama kamu, bukan hal seramnya.”

Aku merasa pipiku panas, tapi nggak mundur. Aku biarkan dia tetap menyentuh wajahku, sementara jarak kami pelan-pelan semakin dekat. Sesaat, aku mendengar suara jangkrik, angin, dan detak jantungku sendiri yang kencang.

Sebelum aku sadar, bibirnya mengecup keningku pelan. “Udah. Kamu nggak usah mikirin yang aneh-aneh dulu malam ini. Nikmatin aja senjanya.”

Aku hanya bisa mengangguk, bersandar ringan di bahunya sambil menatap langit yang mulai gelap. Untuk beberapa menit, dunia benar-benar terasa normal… dan hangat.

“Kak…” suaraku pelan, hampir ikut larut sama suara angin. “Mama Mira… dia tahu semua, ya? Tentang… apa yang kita hadapi?”

Kak Joan menghela napas, menatap langit sebentar sebelum balik menatapku. “Iya. Mama udah tahu dari awal. Aku nggak bisa bohong ke dia, Nad. Dia lihat sendiri waktu aku sering pulang dengan muka pucat tiap habis kejadian aneh itu. Dia cuma… khawatir sama kamu, bukan cuma aku.”

Aku menggigit bibir, menunduk. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba nyesek. “Aku jadi nggak enak. Mama Mira kan udah cukup pusing sama kerjaan dan ngurus keluarga… sekarang harus mikirin aku juga.”

Tangannya bergerak, jemarinya menyentuh daguku pelan, membuat aku menoleh lagi ke arahnya. Tatapannya serius, lembut. “Nad… Mama nggak pernah merasa kamu beban. Dia malah sering bilang, dia lebih lega kalau aku di sini jagain kamu. Katanya, kamu bukan cuma tanggung jawab aku… tapi udah kayak bagian dari keluarga dia juga.”

Aku terdiam, jantungku terasa hangat tapi juga nyesek. “Aku… beneran nggak nyusahin?”

Dia tersenyum tipis, jarinya menyelip di sela-sela jariku, menggenggam tanganku erat. “Nggak, Nad. Mama ngerti kok. Malah dia yang nyuruh aku nggak ninggalin kamu. Katanya, orang yang punya ‘warisan’ kayak kamu… nggak boleh dibiarkan sendiri. Itu bisa bahaya.”

Aku menunduk sebentar, berusaha nyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca. “Aku cuma… ngerasa semua orang harus repot gara-gara aku. Padahal aku nggak pernah minta semua ini.”

Kak Joan meraih tanganku lebih erat, nadanya tegas tapi hangat. “Dengar, kamu nggak minta semua ini, dan kamu nggak sendiri. Aku, Gilang, Wita… bahkan Mama, semua udah tahu risikonya. Kita di sini karena kita mau, bukan karena terpaksa.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menahan rasa haru yang tiba-tiba muncul. “Kak… makasih ya. Kamu sama keluargamu udah nerima aku begini aja.”

Dia tersenyum, bibirnya menyentuh keningku lagi, hangat. “Udah, jangan mikir yang bikin berat. Malam ini… anggap aja kita cuma dua orang biasa, nikmatin sore, nikmatin udara. Nggak ada setan, nggak ada dukun, nggak ada apa-apa.”

Aku mengangguk pelan, bersandar lebih dekat ke bahunya, membiarkan senja dan suara angin menenangkan hatiku. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari… aku bisa bernapas lega, walau hanya sebentar.

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!