berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Di mana kau menyembunyikannya!" Jessica berteriak meminta Olivia mengembalikan barang yang diambilnya.
"Apa maksudmu, Kak?" Olivia memasang wajah polosnya.
Jessica menunjuk tepat wajah Olivia. "Sesuatu yang kau ambil dari laci! Kau melihatku meletakkannya tadi pagi jadi pasti kau yang mengambilnya!" bentak Jessica dengan suara lantang.
Saat ini keduanya berada di kamar Olivia. Jessica baru menyadari benda itu hilang saat hendak mengambilnya membawanya bertemu dengan Satya. Tapi saat membuka laci, dirinya tak menemukan apapun. Jika bukan Olivia, siapa lagi?
Olivia yang sebelumnya menunjukkan ekspresi takut dan polos seperti benar-benar tak tahu apapun, perlahan menyunggingkan senyum tipis. la tersenyum miring dan menatap Jessica dengan tatapan mengejek. Sepertinya ia sudah muak bersandiwara selama ini. Lagipula niat baiknya selalu diabaikan oleh Jessica, pikirnya.
"Aku sudah melenyapkannya, kau mau apa?" ucapnya disertai senyum mengejek penuh kemenangan.
"Ka- kau ...." Jessica cukup terkejut melihat bagaimana Olivia mengatakan dan menatapnya saat ini. Ini kali pertama ia melihat ekspresi yang Olivia tunjukkan.
Olivia bersedekap, berjalan memutari Jessica dengan langkah pelan dan sesekali tawa kecilnya terdengar kala ia mengatakan, "Hah... jangan kira aku tak tahu apa tujuanmu, kakakku. Mana mungkin aku membiarkanmu menyimpan benda itu untuk memenjarakan ayahku?" Langkah Olivia terhenti di belakang Jessica.
Tubuh Jessica menegang mendengar Olivia berkata demikian. Itu artinya Olivia mengetahui sesuatu.
"Selama ini aku sudah muak bersikap baik padamu sementara kau selalu mengacuhkanku. Harusnya kau berterima kasih ayahku tak ikut melenyapkanmu."
Mata Jessica melebar. la perlahan berbalik menatap Jessica dengan wajah pucat.
"Jangan menatapku seperti itu. Ke mana perginya wajah angkuhmu?" ucap Olivia yang kini menunjukkan ekspresi datar.
"Ka- kau... jadi... kau ada hubungannya? Apa kau gila?! Dia ibu kandungmu!" teriak Jessica hingga suaranya nyaris habis.
Olivia melepas sedekap tangannya kemudian memainkan kuku-kuku cantiknya yang baru dihias di salon kemarin seakan tak peduli teriakan Jessica. Meniup kuku-kukunya kemudian menatap Jessica dengan senyuman lebar. "Kau kira aku peduli? Lagipula dia sudah mengkhianati ayahku. Ah, bukan hanya itu saja, tapi karena dia selalu dan lebih menyayangimu daripada aku. Padahal aku ini anak dari laki-laki yang sudah menerima dia apa adanya, lo. Jika bukan karena ayah, dia pasti sudah menanggung malu seumur hidup. Hamil tanpa ada yang mau bertanggung jawab. Hah... rasanya aku kasihan sekali pada ayah yang mau menerima barang bekas sepertinya," ungkapnya panjang lebar.
Jessica terdiam dengan ulu hati yang seakan ditusuk. Walaupun yang Olivia katakan benar, bagaimanapun ibunya adalah ibu kandung Olivia juga. Di mana hati dan perasaannya?
Olivia mengambil langkah, berdiri tepat di hadapan Jessica yang menatapnya dengan tubuh gemetar.
"Kau terlalu polos, kakakku. Andai saja kau baik padaku, mungkin kau tak akan mendengar ini. Kau terkejut bukan?" ucapnya dengan menepuk ringan pipi Jessica. "Sebaiknya kau renungkan kembali keinginanmu memenjarakan ayah karena itu tidak mungkin. Daripada itu sebaiknya pikirkan sendiri keselamatanmu. Mungkin ayah juga akan menghabisimu jika kau berusaha menghalanginya." Setelah mengatakan itu, Olivia berbalik dan melangkah pergi ke luar kamar meninggalkan Jessica yang terdiam tak berkutik tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Perlahan Jessica merosot mundur kala kedua kakinya seakan tak sanggup lagi menopang berat tubuh menerima kenyataan ini. la sama sekali tak menduga Olivia sejahat ini sama seperti ayahnya. Dan apa itu tadi? Ibunya mengkhianati Raska? Itu tidak mungkin. Semua pasti rekayasa Raska mencekoki otak Olivia agar percaya dan mendukungnya.
Nafas Jessica terengah, tangannya yang terkepal menekan dadanya yang terasa sakit.
Rasanya belum bisa menerima kenyataan. Hingga perlahan air mata yang sedari tadi coba ia tahan, akhirnya jatuh tanpa bisa ia cegah.
Waktu menjelang sore saat Satya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ia telah disambut sang ibu yang terlihat lebih baik.
"Apa terjadi sesuatu selama Satya tidak di rumah?" tanya Satya.
Shintia menggeleng ringan. "Tidak. Meski ibu sempat cemas, tapi syukurlah orang itu tidak meneror rumah ini," jawabnya.
Satya bernafas lega. Meski juga telah mendapat laporan dari orang suruhannya untuk mengawasi dan menjaga ibunya di rumah, ia hanya ingin mendengar langsung dari sang ibu. Satya hendak melangkah ke kamar sampai ketukan pintu dari luar membuatnya menoleh
"Biar ibu buka pintunya, kau ganti baju dan makanlah. Ibu sudah memasak untukmu," perintah Shintia kemudian melangkah membuka pintu.
"Selamat sore." Raska berdiri di hadapan Shitia dengan senyuman mengembang membuat Shintia cukup terkejut. la mengangkat sesuatu yang ia bawa menunjukkannya pada Shintia. "Aku membawakan makanan kesukaanmu."
Shintia tampak gugup kemudian menoleh dan Satya masih berdiri di tempat mengarah pandangan pada mereka. Lebih tepatnya pada Raska dengan tatapan dingin.
"Ah, terima kasih," ucap Shintia seraya menerimanya dan mempersilakan Raska duduk di sofa ruang tamu. la mempersilakan Raska masuk ke dalam rumah karena ada Satya. Jika di luar, ia khawatir Satya akan berpikir yang tidak-tidak menduga mereka membicarakan sesuatu di belakangnya. "Tunggulah di sini, aku akan menyiapkannya." Shintia melangkah menuju dapur meninggalkan Raska dan Satya.
Satya yang sebelumnya berdiri di depan pintu kamarnya, melangkah dan duduk berhadapan dengan Raska yang sedari tadi tak melepas senyuman ramah ke arahnya. Sayangnya itu sama sekali tak membuat tatapan dinginnya meleleh.
"Kau baru pulang, Satya?"
"Sebaiknya jauhi ibuku," ucap Satya tanpa menjawab pertanyaan Raska.
Raska hanya diam tanpa melunturkan senyuman. "Kau yakin? Bagaimana jika ibumu yang mendekat?"
Satya hanya diam, menatap Raska dengan kebencian yang berusaha ia sembunyikan.
"Bukankah harusnya kau senang jika punya ayah baru daripada ayah kriminal seperti ayah kandungmu?" ucap Raska kembali.
Raska menunduk sejenak, dan saat ia mengangkat kepala, raut wajah yang sebelumnya ia tunjukkan menghilang. Sorot matanya tampak datar sedatar raut wajahnya menghapus senyuman yang sebelumnya terpasang. "Kau tak akan bisa menghalangiku. Jadi berhentilah jika tak ingin aku melenyapkanmu," ucapnya dengan baritonnya yang terdengar begitu dingin menusuk.
Mendengar itu Satya sama sekali tak terkejut. la sudah mengetahui sifat Raska yang sebenarnya bahkan tahu jika Raska yang berniat membunuh ayahnya dalam tahanan.
Adu tatapan terjadi antara Satya dan Raska. Keduanya seolah tak ada yang mau kalah atau mengalah karena rasa takut. Sorot kebencian Satya justru semakin menjadi.
Tepat di saat itu Shintia kembali dengan sepiring kue anko di atas piring. Kue anko yang sebelumnya Raska bawa untuknya. Melihat ketegangan di antara Satya dan Raska membuatnya mengerutkan dahi.
"Apa aku ketinggalan sesuatu yang menarik?" tanya Sintia seraya meletakkan sepiring kue anko ke atas meja.
Seketika raut wajah Raska telah berubah. Kembali menunjukkan senyuman hangat pada Shintia.