Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Pertaruhan para Pangeran
...****************...
Arena itu penuh dengan aura panas dan kilatan sihir yang saling berbenturan. Di tengah lingkaran sihir yang mengitari mereka, Pangeran Jessen dan Pangeran Joshua saling berhadapan.
Sorakan dan teriakan para pangeran lain terdengar, tetapi suasana terasa tegang.
"Kau masih terlalu lambat, Jessen," kata Joshua dengan senyum tipis, tangannya mengangkat sebuah bola sihir hitam yang berputar di telapak tangannya. Jessen mengerang, mencoba bertahan dengan perisai sihirnya, namun kekuatan Joshua terlalu besar.
Dengan satu serangan, Joshua melepaskan semburan energi gelap yang meledak di depan Jessen. Tubuh Jessen terlempar keluar dari arena, menghantam dinding batu dengan keras.
"Arrgh!" Jessen terjatuh, terengah-engah, dengan luka di bahu dan lengan.
Joshua berdiri di tengah arena dengan tatapan dingin, seolah kemenangan sudah menjadi miliknya.
"Pertandingan ini hanya awal, Jessen... Jangan pikir aku akan menahan kekuatanku untukmu."
Hars, Rush, Crish, dan para pangeran lain mulai bergumam, sebagian terkejut dengan kekuatan Joshua.
Sementara itu, Raja Sakha yang melihat dari kejauhan melalui cermin sihirnya hanya menyeringai puas.
"Satu jatuh... tinggal beberapa lagi," gumamnya.
Di sisi lain, Mark yang tidak tahu tentang pertandingan ini masih berusaha keras mencari keberadaan Arunika.
Mark berdiri di tepi balkon istana, memandang jauh ke arah hutan lebat, dengan wajah cemas.
"Arunika dimana kau sebenarnya?" bisiknya, tanpa tahu bahwa di belakangnya, para pangeran lain sedang memainkan rencana besar mereka.
...****************...
Setelah Jessen tersingkir dari arena, suasana menjadi semakin panas. Debu sihir masih berputar di udara ketika nama berikutnya diumumkan:
"Pangeran Rush vs. Pangeran Crish!"
Dua sosok tinggi melangkah ke tengah arena. Rush dengan jubah kelam dan aura misterius, sementara Crish terlihat tenang namun waspada, sihir berwarna perak mulai berdenyut di tangannya.
"Semoga kau tidak seagresif Joshua," sindir Crish dengan senyum kecil.
Rush hanya mengangguk tipis. "Aku tidak akan mengasihanimu, Crish."
Tanpa aba-aba, Crish meluncurkan serangan pertama—rentetan bilah angin tajam yang meluncur lurus ke arah Rush. Namun Rush memutar tubuhnya, menghilang dalam bayangan, lalu muncul di belakang Crish dan menebaskan energi kegelapan dari telapak tangannya.
Boom!
Ledakan membentur perisai Crish yang terbentuk di detik terakhir. Crish terpental beberapa langkah, tapi ia langsung berbalik dan melepaskan serangan kilat ke arah Rush, membuat si pangeran bayangan itu terpukul mundur.
Sorakan meledak. Pertarungan mereka lebih seimbang dari yang diperkirakan.
Seiring waktu berlalu, gerakan Crish mulai melambat, sihirnya menguras stamina lebih cepat. Sementara Rush tampak semakin tenang dan gesit—menghilang dalam bayangan, menyerang, lalu kembali menghilang.
Satu gerakan terakhir... Rush melompat tinggi, lalu menghujamkan sihir kegelapan ke tanah arena.
"Bayangan Penutup! Gerbang Malam!"
Tanah pecah, dan Crish ditelan ledakan energi hitam yang naik seperti tombak. Tubuhnya terpental dan mendarat keras di luar lingkaran sihir.
Crish jatuh dengan napas memburu. "Ugh... kau memang... pantas jadi bayangan yang paling ditakuti..."
Rush berdiri tegap, tubuhnya berkeringat namun matanya tenang.
Dari cermin sihir, Raja Sakha terkekeh puas. "Dua jatuh... Rush dan Joshua, sejauh ini kau berdua memenuhi harapanku..."
...****************...
Langit malam menggantung pekat, dihiasi bulan purnama yang bersinar dingin. Kabut tipis merayap di antara tembok tinggi arena, sementara obor-obor sihir yang menyala biru menghiasi setiap sudut, memberikan cahaya redup yang memperkuat aura misterius.
Suara denting lonceng sihir menggema, menandakan babak pertandingan berikutnya dimulai.
Di tengah arena yang kini diselimuti bayangan, dua sosok pangeran kembali melangkah maju.
"Pangeran Hars vs. Pangeran Rush!"
Suasana menjadi lebih dingin saat keduanya menatap satu sama lain. Hars, dengan mata perak menyala dan rambut keperakan yang berkibar tertiup angin malam, mengangkat tombak sihirnya yang bersinar biru gelap. Sementara Rush, yang baru saja memenangkan pertarungan sebelumnya, berdiri tenang di balik kabut bayangan seolah hidup di sekelilingnya.
"Jangan pikir aku akan membiarkanmu lolos dengan mudah," ujar Hars pelan namun tegas.
Rush hanya tersenyum samar. "Aku tahu kau sudah menungguku."
Tiba-tiba, suara lonceng terdengar dua kali, tanda pertandingan dimulai.
Hars menghentakkan tombaknya ke tanah—lingkaran sihir bercahaya langsung menyebar, memanggil kekuatan air malam yang membentuk bilah-bilah tajam dan mengelilinginya.
Rush menghindar, tubuhnya kembali menyatu dalam bayangan, tapi Hars sudah memprediksinya. "Cahaya Gelap: Jerat Bulan!" serunya, dan sinar bulan memantul ke tombaknya, mengikat bayangan tempat Rush bersembunyi.
Zzraaak!
Rush terjerat, tubuhnya terguncang, namun ia tidak menyerah. Ia membalikkan sihirnya, meledakkan serpihan bayangan yang memotong sinar bulan, dan menyerang balik dengan cepat.
Pertarungan keduanya menggetarkan arena. Setiap kali tombak Hars menusuk udara, kabut malam mengerut. Setiap kali Rush menghilang dalam bayangan, dentuman sihir menggelegar dari berbagai arah.
Para pangeran lain yang menonton dari balkon atas, mulai melihat bahwa pertarungan malam ini berbeda. Tidak ada belas kasihan.
Sementara itu...
Di luar istana, jauh dari arena, Pangeran Mark berdiri di sebuah gang sepi di kota Sandyakala, menyamar sebagai pengelana. Ia memandangi langit yang dipenuhi bayangan sihir dari kejauhan.
"Seseorang sedang bertarung... kekuatan itu... saudara-saudaraku?"
Mark menggenggam liontin kecil pemberian Arunika. Hatinya bergetar. Ia tahu, waktu sudah semakin menipis.
...****************...
Langkah Pangeran Mark mantap menyusuri jalanan berbatu kota Sandyakala. Angin malam berhembus dingin, dan aroma asap dari lentera-lentera tua menyelimuti udara. Wajahnya tertutup tudung jubah hitam, menyembunyikan identitasnya sebagai pewaris kerajaan.
"Arunika... di mana kau?" gumamnya, matanya tajam menatap ke arah gang-gang sempit, mencari jejak.
Mark memasuki sebuah pasar tua yang remang, dipenuhi orang-orang misterius. Ia menghampiri seorang pedagang tua dan bertanya dengan suara pelan:
"Apakah kau pernah melihat seorang wanita dengan tanda bintang di tangannya?"
Pedagang itu menggigil dan menjawab,
"Kau mencari yang tak boleh disebut... Pergilah, Tuan, sebelum mereka tahu kau ada di sini."
Tiba-tiba, suara siulan tajam terdengar.
Dari balik bayangan, sekelompok penyihir hitam muncul, mengenakan jubah gelap dengan mata merah menyala. Mereka mengangkat tangan, menciptakan lingkaran sihir di udara, menyerang Mark tanpa ampun.
"Aku tau, kalau kau yang menyembunyikan Arunika!" seru salah satu penyihir, melepaskan bola api ke arah Mark.
Mark menghindar dengan cepat, tubuhnya melompat ke atas atap rumah, pedang perak di tangannya bersinar dalam gelap.
Dengan gesit, Mark menebas serangan mereka, namun jumlah mereka terus bertambah.
"Sial... Mereka mengepungku," gumam Mark, napasnya berat.
Dalam pertarungan itu, Mark mulai menyadari bahwa para penyihir hitam ini dikendalikan oleh sesuatu—mungkin Raja Sakha sendiri.
Matanya penuh amarah, namun juga penuh tekad.
"Aku akan menemukan Arunika... meskipun dunia ini menolakku."
Darah mengalir di pelipisnya, tetapi ia tetap berdiri, pedang di tangan, siap melawan siapapun yang menghalangi jalannya.
Hujan turun tiba-tiba di atas atap kota Sandyakala, membasahi wajah Mark yang penuh luka. Langkah kakinya berat, napasnya memburu, namun tatapan matanya masih tajam. Para penyihir hitam semakin mendekat, mengepung dari segala arah.
"Sial... aku harus menemukan celah," gumam Mark.
Satu serangan sihir api mengarah langsung ke tubuhnya, Mark melompat ke samping, berguling di atas genteng, lalu dengan cekatan melempar pisau kecil bercahaya yang disembunyikannya. Pisau itu mengenai salah satu penyihir tepat di bahu, membuatnya terhuyung dan membuka celah di barisan mereka.
"Sekarang!" teriak Mark dalam hati.
Dengan kecepatan luar biasa, Mark menyelinap melewati celah itu, menuruni gang sempit, melompat dari atap ke dinding, dan akhirnya mendarat di lorong gelap di belakang pasar. Hujan deras menyamarkan jejaknya.
"Kejar dia!" teriak seorang penyihir hitam, namun Mark sudah menghilang di kegelapan.
Di lorong yang sepi, Mark bersembunyi di balik tumpukan kayu. Dadanya naik-turun dengan napas memburu. Matanya memejam sejenak, menenangkan diri, mendengar suara langkah kaki para penyihir yang menjauh.
"Arunika... aku akan menemukanmu," bisiknya lirih, menatap ke langit gelap di atas Sandyakala.
Mark perlahan bangkit, menyeka darah di pelipisnya, dan melangkah pergi—meninggalkan jejak yang samar di lorong basah itu.
...****************...
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉