TUMBAL

Sore itu Rika mendatangi sebuah desa di kaki gunung bersama Prayitno. Ia sengaja datang ke desa itu untuk mencari keberadaan Nurul dan putranya Aryo.

Rumah pertama yang ia datangi adalah rumah kepala dusun.

Seorang pria tua menyambut kedatangannya dengan begitu sopan.

Rika segera masuk ke dalam diikuti oleh Prayitno.

Rika pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada sang kepala dusun.

"Memang ada warga kami yang bernama Nurul, tapi saya tidak tahu apa dia Nurul yang mbak cari atau bukan. Tapi dari ciri-cirinya sih sama, bahkan putranya juga bernama Aryo," ucap sang kepala dusun

"Kalau begitu apa saya boleh tahu dimana rumahnya?" tanya Rika

Lelaki itu kemudian menyuruh seorang pria muda untuk mengantar Rika ke rumah Nurul.

Tidak lama mereka tiba di sebuah rumah papan sederhana yang di tumbuhi banyak bunga mawar dihalaman rumahnya.

Sekilas Rika tak asing dengan wajah Nurul yang sedang menyirami bunga-bunga itu.

Prayitno tertegun menatap sang istri. Meskipun ia tak bisa menyentuhnya namun ia begitu bahagia bisa bertemu dengannya lagi.

Sementara itu Nurul tampak kaget saat melihat Rika.

"Kamu??, bukankah kamu harusnya sudah...." ia tak melanjutkan kata-katanya saat Rika mendekat kearahnya dan mencium punggung tangannya.

"Semua ini karena suami anda, dia yang menyelamatkan aku," ucap Rika

Nurul tersenyum getir mengingat suaminya. Air matanya menggenang menahan rindu pada lelaki itu.

"Oh iya, Aryo dimana?" tanya Rika

"Dia sedang ke desa sebelah, biasalah bantu-bantu warga," jawan Nurul

"Kalau begitu apa boleh saya menunggunya sampai dia pulang?"

"Tentu saja, tapi Aryo suka pulang larut malam,"

Baru saja Rika hendak masuk ke dalam rumah, ia mendengar suara sepeda motor mendekati rumah itu.

"Aryo??"

"Ayah??"

Aryo segera turun dari motor dan menghampiri Prayitno.

"Ayah??"

"Kamu bisa melihat ku??"

Aryo mengangguk.

******

Hari-hari berlalu tenang di desa kecil itu. Taman kota yang dulunya angker kini menjadi tempat yang ramai dikunjungi warga, terutama saat sore hari. Pendopo kecil berdiri khidmat, seolah menjadi saksi bisu atas perjalanan panjang yang baru saja dilalui.

Di antara mereka yang datang, ada sosok Rika. Wanita muda yang dulu sempat terseret dalam pusaran kegelapan keluarga Mariani. Kini, wajahnya terlihat lebih damai, meski sorot matanya masih menyimpan kedalaman pengalaman yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah semua kejadian mengerikan itu, Rika memilih untuk menetap di desa. Ia membuka sebuah perpustakaan kecil di dekat taman, tempat ia mengumpulkan berbagai catatan, buku, dan dokumen tentang sejarah desa serta kisah-kisah mistis yang pernah terjadi. Perpustakaan itu menjadi semacam pusat informasi dan perlindungan, agar generasi mendatang tahu dan belajar dari masa lalu.

Suatu sore, Rika datang mengunjungi kediaman Prayitno. Mereka duduk bersama di antara rak-rak buku, membicarakan masa lalu dan masa depan.

“Rika, kau sudah lama di sini. Bagaimana rasanya?” tanya Prayitno

Rika tersenyum kecil. “Awalnya sulit. Kadang rasa takut masih datang, tapi aku belajar menghadapinya. Aku merasa... ini adalah cara terbaikku untuk berdamai dengan semua yang terjadi.”

Prayitno mengangguk. “Aku senang kau memilih jalan ini. Desa ini butuh orang seperti dirimu.”

Percakapan itu membawa mereka pada sebuah kesepakatan. Rika akan terus menjaga perpustakaan dan membantu siapa saja yang membutuhkan, terutama dalam hal-hal yang berbau mistis. Sedangkan Prayitno akan menjaga taman dan pendopo, memastikan bahwa tempat itu tetap suci dan tak lagi menjadi sarang kegelapan.

Malamnya, saat langit dipenuhi bintang, Rika duduk di pendopo. Angin sepoi-sepoi membawa suara halus, hampir seperti bisikan.

“Terima kasih, Rika,” suara itu terdengar lembut, mengingatkan pada suara Mariani saat terakhir kali mereka bertemu.

Rika menutup mata, merasakan damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, pertempuran mereka belum sepenuhnya selesai, tapi yang terpenting adalah harapan dan hidup baru yang mereka ciptakan.

Sementara itu, jauh dari desa, sebuah cahaya kecil muncul di antara reruntuhan rumah tua. Seolah-olah ada kehidupan baru yang lahir dari abu masa lalu. Sebuah tanda bahwa meski kegelapan pernah menguasai, cahaya selalu punya cara untuk kembali.