Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duel Kecil dengan Kawanan Roh Koru di Jalur Pendakian
Kabut pagi mulai menghilang saat rombongan meninggalkan Pos Bayangan. Matahari pucat menggantung malu di balik puncak-perak yang masih jauh, menebar sinar kemerahan di tepi-tepi alang-alang. Liang Feng menarik napas dalam-dalam, merasakan dingin dan tipisnya udara pegunungan. Di dadanya, Tianlong Mark berdetak halus sebagai penanda bahwa kekuatan naga purba masih terjaga, meski ia sendiri masih berusaha mengendalikannya.
Di sampingnya, Bai Xue terbang rendah, bulu peraknya berkilat sinar perak lembut. Ia memancarkan aura penuntun di sepanjang jalur yang semakin menanjak. Dua pertapa senior yaitu Pertapa Wu dan Zhao tengah mengawasi barisan belakang, sementara Wei Xin dan Lin Hua berada di tengah, menjaga ritme napas para relawan.
“Kita sudah melewati Pos Bayangan.” ujar Liang Feng dengan suara pelan. “Selamat, teman-teman. Tapi lereng berikutnya takkan sepahit ini, awas jebakan roh koru di jalan.” Ia menoleh ke rombongan. “Bersiaplah.”
Di hadapan mereka, batu-batu tajam menjulang, berserakan menyerupai tulang kuno. Jalan setapak menyempit, diapit jurang dan dinding batu. Rerumputan pendek terguncang oleh embusan angin, mengirimkan bisikan samar-samar. Beberapa relawan menahan napas, Lin Hua memegang kompas lebih erat dan Wei Xin memikul tombak dengan tangannya yang berkeringat.
Ketika rombongan menapak lima puluh langkah, kabut mendadak tebal yang membentuk pusaran kelabu di antara batu-batu. Bau anyir menyengat memaksa para relawan menutup hidung. Dari pusaran itu, muncul sesosok bentuk humanoid bersisik hitam, mata merah membara dengan celah mulutnya menganga menampakkan taring berlumuran nanah. Sekejap kemudian, sosok itu diikuti tujuh makhluk serupa, masing-masing membawa tombak bayangan.
Wei Xin mengangkat tombak kayu suci. “Roh koru!” teriaknya. “Jangan lengah!”
Seketika, roh-roh itu menerjang membentuk formasi huruf V, meluncur ke barisan depan. Liang Feng meloncat ke depan, pedang naga diayun ke bawah untuk melepaskan gelombang hijau-perak yang memecah satu roh menjadi serpihan cahaya.
Bai Xue menimpali, menyapu aura peraknya memecahkan dua roh lain yang mencoba melompati barisan. Kilatan perak bersanding dengan sinar hijau memantulkan kaca kabut. Namun sisanya masih tegak, sambil menatap penuh kebencian.
“Tembak belah dua!” perintah Liang Feng kepada relawan. “Barisan depan mundur sedikit, barisan belakang maju! Kita pecah formasi mereka!”
Wei Xin menggerakkan tombaknya, menahan satu roh yang menyeruduk dari sisi kiri. Dorongan tombak kayu memancarkan gelombang perisai yang samar, hal itu berguna untuk menahan ludah asam roh koru. Di sebelahnya, Lin Hua mengangkat kompas kayu, melantunkan mantra penangkal kecil.
“Arahkan nafas, redam gelombang,
Jauhkan kegelapan, satukan cahaya.”
Kompas berpendar biru, menciptakan cincin perlindungan lembut di sekeliling rombongan. Roh koru yang mencoba menerabas perisai itu terpental, lalu menggeram kesal.
Liang Feng memanfaatkan kesempatan ini untuk memimpin gelombang kedua, ia membentuk simbol naga pura-pura di udara, lalu mengayun pedang naga jauh ke samping. Sinar hijau membelah udara, tebasan energinya merobek sisik roh koru. Dua makhluk roboh dengan tubuh mereka melepuh menjadi abu magis.
Tinggal empat roh yang tersisa, salah satunya lebih besar dengan bentuknya berupa humanoid tegap, tubuh bersisik hitam pekat dan kedua matanya menyala bagai bara di malam gulita. Ia memegang tombak bayangan berukir nihil, siap mencabik jiwa siapa pun yang mendekat.
Roh itu mengaum: “Pendaki… tak pantas… di tanah suci kami!” Suara gaungnya bergema menembus batu.
Liang Feng menegakkan pedang naga, kilatan hijau-perak melingkupi gagang. “Aku sang Penjaga Arus, takkan mundur!” serunya. Ia melompat maju, bersiap duel satu lawan satu.
Roh koru itu menebas ke bawah, tombaknya menurunkan hawa dingin yang bisa membekukan otot. Liang Feng menangkis dengan pedang, suara dentingan logam menggelegar. Dentuman perisai naga terkuat bertemu kehampaan tombak bayangan.
Liang Feng mundur satu langkah, lalu mendorong balik, memancarkan gelombang naga kuat. Roh koru tersapu dan menjerit kesakitan, namun ia tetap berdiri tegak. Dengan sekejap, ia meloncat, tombak bayangan melesat, menyerang dada Liang Feng yang setengah membuka perisai.
Pedang naga menangkis sorak tombak dengan butiran energi hijau meledak di udara. Liang Feng meringis, sambil memundurkan diri. “Huh… kekuatanmu… di luar dugaan.”
Sementara itu, di belakang, Lin Hua mengumpulkan keberanian. Ia memegang pena bambu dan buku catatan, lalu mengikut naluri. Ia menjejak ke samping, mengambil seruling bambu dari ikat pinggangnya. “Ini… untuk menenangkan roh.” gumamnya.
Lin Hua meniup seruling dengan nada rendah dengan ritme melodi pengantar roh. Suara bambu melengking lembut, menembus keganasan. Dua roh koru yang menyerbu dari sisi mereka tertahan oleh wajah mereka yang terlelap dan raut datar akibat terhipnotis oleh melodi seruling Lin Hua.
Roh pemimpin terkejut. “Apa… suara itu?” ia berbisik, suara bergema semakin redup.
Lin Hua menggerakkan jari pada serulingnya, memainkan melodi kedua dengan lebih cepat, menenangkan, bagai alunan embun pagi. Roh pemimpin ragu, tombaknya terulur, kemudian perlahan membeku di udara. Liang Feng melihat kesempatan ini, ia menyalurkan Tianlong Mark menjadi sinar hijau pekat, lalu melesatkan tebasan lurus ke arah roh itu.
Tebasan pedang naga bersanding dengan dentingan seruling bambu, menciptakan resonansi sihir dengan suara melodi menuntun gelombang naga menargetkan sang roh itu. Kilatan hijau-perak membelah tubuh roh pemimpin, sisiknya pecah menjadi sinar, roh itu berteriak meronta-ronta, lalu menghilang menjadi asap.
Tiga roh koru lain yang sempat terhipnotis ambruk, tubuh mereka melebur menjadi abu cahaya. Rombongan terdiam, hanya sisa kabut yang berputar pelan.
Wei Xin mengangkat tombak, napasnya tersengal. “Hebat, Lin Hua!” serunya, membelai seruling bambu. Lin Hua memerah, menutup seruling. “Ini… takdir, aku rasa.”
Liang Feng menegakkan pedang. “Kita melawan dengan hati dan kekuatan saja tak cukup. Kerjasama dan keberanian yang memenangkan duel ini.” Ia menoleh ke Bai Xue. “Terima kasih, sahabatku.”
Bai Xue mengepak lembut, aura peraknya menyapanya lembut. “Kerjasama kita… yang terkuat.”
Setelah duel itu, rombongan berdiri melingkar di lapangan lembah. Nenek Li muncul di balik kabut, menepuk pedang naga di tangan Liang Feng.
Nenek Li dengan tenang. “Kalian menghadapi roh koru dengan kekuatan dan hati yang murni. Ingatla bahwa di setiap langkah, jangan hanya andalkan pedang, tapi juga niat yang suci.”
Liang Feng membungkuk hormat. “Kami belajar banyak hari ini. Terima kasih.”
Para relawan tersenyum lega, Wong Zu seorang wanita tua desa yang ikut mendaki mengeluarkan kantong kain, memetik beberapa kacang edelweiss. “Untuk sarapan siang, teman-teman. Kita minum hangatkan badan, lalu lanjut.”
Sebelum melanjutkan perjalanan, Liang Feng memandang puncak yang kian dekat, tampak bak kapal perak yang menari di langit. “Kita telah menghadapi roh koru, mengatasi kelelahan dan menguji Tianlong Mark,” gumamnya. “Tahap berikutnya… menembus kabut salju.”
Bai Xue menyusul, moncongnya menempel di tangan Liang Feng. “Bersiaplah, tantangan berikutnya pasti sangatlah berat.”
Lin Hua menutup buku catatan, menuliskan judul bab. “Duel di Reruntuhan Batu Naga: Kekuatan Hati dan Kerjasama.” Wei Xin mengencangkan tali di pinggangnya. “Ayo, teman-teman. Kita jauh lebih kuat jika saling bersama.”