Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29
"Ayana, kamu sudah yakin betul ingin bercerai? Tapi kalau menurut saya, kamu harus memperjuangkan hak kamu sebagai Istri sah! Dan saya yakin, jika suatu saat Rama pasti akan sadar." Ucap kembali Tuan Ibrahim di sebrang.
Lidah Aya terasa kelu harus menjawab seperti apa. Ia berkali-kali menarik nafas dalam, hingga akhirnya memutuskan. "Tuan... Sebelum saya bertemu Hakim Ketua, tolong jadilah Hakim untuk masalah rumah tangga saya terlebih dulu. Saya ingin mendengar pilihan dari Mas Rama langsung."
Deg!
Rama yang berada di balik pintu toilet itu terperanjat, saat mendengar namanya disebut oleh kekasihnya Devan-Angel.
"Rama? Barusan dia menyebut nama Rama? Siapa wanita itu sebenarnya? Dan Tuan? Bukankah kalimat itu yang sering Ayana gunakan untuk memanggil Papah? Atau jangan-jangan...." batin Rama, hingga tiba-tiba...
Ceklek!
Setelah mengakhiri telfonnya, Aya segera keluar dengan topeng matanya kembali.
"Tunggu, siapa kamu sebenarnya?"
Deg!
Deg!
Jantung Ayana berpacu cepat, hingga membuat langkahnya sulit sekali di gerakan. Wajah cantiknya mendadak pucat, hingga mata dibalik topeng itu mengerjab beberapa kali.
"Itu suaranya Mas Rama? Jangan-jangan dia sejak tadi mendengar semuanya?" Ayana masih membeku di tempat.
Namun tak lama itu, Devan tiba-tiba datang.
"Angel, kamu sudah selesai?"
"Syukurlah, Dokter Devan segera kesini," batin Ayana. "Udah, Do-maksud aku, udah Mas. Ya udah, ayo!"
"Loh, Rama? Kamu juga ada di toilet wanita? Ngapain?" kekeh Devan yang sudah menggenggam tangan Ayana.
Rama mencoba memaksakan senyumnya, "Ini, nungguin si Mawar!" jawabnya. "Brengsek, Devan datang kesini," umpatnya dalam hati.
"Mas, yuk kita kedepan lagi," ucap Ayana begitu manja.
Devan mengangguk. "Ram, gua duluan ya!"
Rama hanya mengangguk sambil mengangkat satu tanganya keatas. Setelah kepergian pasangan tadi, ia juga ikut segera keluar dari toilet itu.
*
*
"Hallo, Bik... Apa Ayana ada di rumah? Karena tadi saya lihat di keluar," tanya Rama pada Bik Sumi melalui panggilan telfon.
"Belum, Den! Non Aya katanya lagi ketemu client yang akan memakai jasa desainnya!" jawab Bik Sumi apa adanya.
Rama agak mengerutkan dahi. "Desain?" batinnya. "Maksud Bibi... Desain apa?"
"Loh, Aden nggak tahu ya? Oh iya, ya... Kan Aden sama Non Aya nggak tinggal satu rumah," kekeh Bik Sumi bermaksud menyindir. "Itu loh Den... Non Aya itu bisa mendesain beberapa busana, yang di rekurt butik ternama."
Rama tampak terdiam sejenak. Sebagai suami, ia merasa gagal sebab bagaimana Istrinya menjalani kehidupan saja ia tidak tahu.
"Ya sudah, Bik! Kabari saya jika Ayana sudah pulang. Oh ya... Itu Zeva sedang apa?"
"Ini, Den... Den Zeva sedang minum susu sambil nonton film kartun. Aden mau bicara?" Bik Sumi suka sekali membuat Tuan mudanya itu kesal.
Rama sudah berdehem beberapa kali, "E... Boleh!"
Dan tak lama itu panggilan Bik Sumi beralih ke video. Dengan cekatan, Bik Sumi mengarahkan layar gawainya pada wajah Zeva.
"Zeva... Kamu lagi ngapain?" Rama masih agak kaku mengenal putranya sendiri.
Zeva melepaskan botol susunya. Ia lalu duduk, "Hallo Paman Lama... Ini, Zeva abis mimik dot! Paman Lama ada dimana?"
"Ini, Paman masih bekerja. Oh ya... Zeva nanti mau di belikan Paman apa?" karena sejak pagi ia sibuk bekerja, jadi Rama merasa bersalah belum bisa menepati janjinya dengan sang putra.
Sedikit berpikir, membuat Rama merasa gemas sendiri menatap sang buah hati. Ia yang saat ini sedang menyendiri di sudut ruang, merasakan hangat dalam hatinya.
Namun tiba-tiba saja Zeva menyeletuk, "Ibu... Itu Ibu Zeva, Paman?"
Reflek saja Rama juga ikut menoleh. Akan tetapi, yang lewat dari arah sebrang barusan adalah Ayana. Wanita itu mengambilkan Devan orens juice, tanpa melihat kearah depan, jika Rama sedang melakukan panggilan video bersama putranya.
Meskipun terbalut gaun mewah, rambut terurai lurus, dan ditambah memakai topeng mata, namun hal itu tidak menyurutkan pandangan Zeva mengenai sosok Ibu kandungnya.
Zeva yakin, itu adalah Ibunya-Ayana.
"Mana, Zeva? Ibu nggak ada disini? Emangnya Ibu kemana? Belum pulang?"
Zeva kembali mengingat, satu hari sebelum pesta itu, ia pernah melihat dress panjang yang tengah di gantung Ayana pada lemari gantungnya. Dan Zeva yakin betul, jika tadi adalah Ibunya.
"Itu Ibu, Paman! Bajunya miripppp banget kaya punyanya Ibu."
Rama semakin mencurigai akan hal itu. "Zeva yakin?"
Zeva mengangguk. "Baju itu pelnah ada di lemali baju Ibu, Paman. Itu Ibu..... Aaaa, Ibu...." rengek Zeva yang merasa di abaikan oleh Ibunya.
"Zeva, udah jangan nangis ya! Nanti Paman belikan mainan dino, bagaimana?" tawar Rama yang merasa kasihan.
"Baik, Paman! Ibu...." Zeva masih merengek menyerahkan gawai itu pada Bik Sumi.
Sementara Rama, ia saat ini tampak tak fokus dalam pestanya, sebab pikiranya tengah bercabang hebat. Ia kembali menatap kearah posisi Devan dan kekasihnya, memastikan betul apa yang di katakan sang Putra memang benar.
Di tepi kolam itu, Ayana sedang berdiri bersama Devan tengah menyaksikan sambutan yang di lakukan oleh mantan Rektor fakultas.
Tepuk tangan meriah, menggema memenuhi ruangan terbuka itu.
Mawar, wanita itu sejak tadi mengamati Rama dari jauh, sebab kekasihnya malah menyendiri bersama teman prianya, dan tengah menatap kearah kekasih Devan.
"Sial, ternyata Rama sejak tadi menatap si Angel itu. Pantes aja dia ingin gabung sama gengnya dulu," batin Angel merasa kesal. Ia mengepalkan tanganya, hingga ide licik keluar dari pikirannya.
Heh!
Mawar tersenyum tipis, mengambil dua orens juice, dan berjalan pelan kearah kolam.
"Oh, oh... Sorry!"
Byurrr!!!
Tubuh Ayana terhempas kearah kolam, akibat di senggol oleh jalannya Mawar.
Hap! Hap!
"Tol-tolong...." pekik Ayana yang tidak bisa berenang.
Topengnya sudah terhempas, dan hal itu membuat Mawar memekik, "Ayana?! Jadi itu kamu?"
"Ayana?"
Melihat Istrinya ada dikolam itu, sontak saja Rama kalang kabut, berlari cepat, dan langsung ikut menyeburkan diri dalam kolam renang.
"Rama!" pekik Mawar membolakan mata.
Devan yang baru saja tiba setelah mengambilkan cake Ayana, jelas saja terperanjat melihat pacar sewanya terlelap dalam kolam, dan sedang di selamatkan oleh Rama.
"Ayana... Ayo, pegang pundakku! Bertahanlah sebentar lagi," ucap Rama sambil membawa tubuh Istrinya itu ke tepi.
Semua orang-orang berkerumun, dan terpaksa pihak fakultas menghentikan acaranya sejenak.
Devan bersiap menerima tubuh lemas Ayana dari atas.
"Angel... Maafkan saya, kenapa kamu bisa sampai terjebur dalam kolam?!" lirih Devan merasa cemas.
Baru saja ia akan mengangkat tubuh Ayana, Rama menghentikan itu.
"Bagaimana bisa Devan mengenal Ayana? Jadi benar yang dikatakan Zeva barusan? Dan... Hah!" Rama merasa frustasi dengan kenyataan yang ada didepan matanya itu.
"Rama... Kamu nggak papa? Itu, itu 'kan Ayana? Kenapa dia bisa dengan Devan?" Mawar mendekat pada Rama, masih menatap bingung keadaan itu.
Tubuh Aya semakin melemah. Bibirnya membiru, hingga pandanganya berangsur meredup.
"JANGN SENTUH WANITA INI!" Pekik Rama dengan nafas tersengal. Suaranya bergetar penuh penegasan.
Devan kaget. Ia mendongak dengan seribu pertanyaan. "Apa maksud kamu, Rama? Angel kekasihku," teriak Devan.
Brug!
Tanpa aba-aba, Rama mendorong tubuh Devan ke belakang, dan langsung mengangkat tubuh Ayana untuk dibawanya keluar.
"Rama.... Kamu apa-apa'an sih?" teriak Mawar menatap geram.
Devan mengepalkan tanganya. Ia segera bangkit dan langsung mengejar kearah temannya itu.
*
*
Ayana mulai mengerjabkan matanya. Ia tampak asing dengan ruangan putih dominan coklat muda di sekitarnya. Atapnya pun berbeda. Aya kembali menoleh kesamping dan kanan, melihat korden panjang menjulang, serta dua lampu yang menopang di sudut ranjangnya.
Dan ketika ia membuka selimut, tubuhnya sudah hangat dengan pakaian baru yang entah siapa yang mengganti pakaiannya tadi.
Rambut Ayana masih basah. Tubuhnya juga masih terasa dingin.
"Sudah bangun?"
Aya terperanjat melihat suaminya sudah berdiri didepan ranjang.
"Ma-Mas Rama...." Ayana berusaha bangkit menyender.
Rama terdiam menatap lurus. Wajahnya tenang, namun sorot mata itu dalam-hingga Ayana merasa terintimidasi sendiri.
Rama berjalan mendekat. Bukan ada disamping ranjang, melainkan kearah pintu kaca balkon.
"Sejak kapan kamu mengenal Devan?"
Ayana menoleh kaku. Wajahnya masih terlihat pucat. Namun itu semua tidak mengurungkan niatnya untuk menjawab.
"Memangnya kenapa? Lagian-"
"Atau karena itu, kamu ingin bercerai dariku? Karena Dokter itu?" kali ini suara Rama sedikit meninggi, masih enggan menatap istrinya.
Ayana terdiam. Diamnya bukan karena ia kalah. Tapi ia tak mungkin memberitahu Rama tentang kerjaan yang ia lakukan pada Dokter Devan.
"Jika Mas Rama bisa berkhianat... Maka saya juga dapat berkhianat! Jadi kita impas!" suara Ayana bergetar.
Dada Rama sudah bergemuruh kuat. Ia mengepalkan kedua tanganya, menatap lurus-dalam-semakin tajam.
"Kenapa, Mas? Mas Rama pikir, saya hanya akan nangis di rumah, meratap gitu? Nggak, ya! Jika dimata Mas Rama saya tidak ada harganya... Maka saya akan terlihat berharga dimata pria lain... Termasuk teman Mas Rama sendiri!" tekan Ayana kembali.
Ucapan Ayana kali ini sukses menampar wajah Rama. Menusuk hatinya, bahkan bagai racun yang tertuang sampe ke ulu hati.
Ia membalikan tubuhnya, berjalan mendekat dengan sorot mata menusuk. "Lalu, sekarang apa maumu?"
Rama semakin mendekatkan tubuhnya, hingga satu lututnya sudah terangkat diatas ranjang.
"Saya ingin, Mas Rama mengakhiri hubungan Mas Rama dengan Mbak Mawar! Saya sudah capek Mas, dimana-mana harus sembunyi-sembunyi, padahal saya yang istri SAH Mas Rama... Bukan Mbak Mawar!" nafas Ayana sampai naik turun, mengunci tatapan Rama begitu tajamnya. "Jika Mas Rama tidak dapat melakukan itu... Maka saya tetap ingin BERCER-"
Empthhh!!!
Rama mengunci tubuh istrinya, sambil melumat lembut bibir ramun itu.
Kedua tangan Ayana ia genggam lembut, hingga ciuman itu semakin dalam menunjukan kepemilikannya.
Aya berontak. Matanya tersirat luka yang belum mendapat jawaban. Tubuhnya berontak kuat, hingga ia terpaksa menggigit bibir Rama untuk melepaskan ciuman itu.
Awhhh!
Rama bangkit, menahan kesal. Bibirnya sedikit berdarah.
Ayana terdiam memeluk lututnya sambil memalingkan wajah. Ia masih mengontrol emosinya, agar lidah tajamnya tidak kembali menusuk Rama.