“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Sella menepuk pelan pundaknya, “Tenang aja, Fio. Jangan sampai salah sebut ‘Tuan Duda’ di depan kelas.”
Fio hampir tersedak napasnya sendiri. “Sshh, jangan ngelawak di saat genting begini!” desisnya.
Sella cengengesan, “Ya maaf. Tapi sumpah, gue masih gak bisa lupa ekspresi cowok yang nganter lo tadi. Tatapannya tuh kayak, ‘sentuh Fio dikit aja, gue beli kampus ini.’”
“Udah diem, nanti aku kelepasan beneran,” gumam Fio, lalu mulai presentasi.
Selama beberapa menit, Fio menjelaskan hasil analisis data kelompoknya dengan lancar. Tapi setiap kali menatap ke depan, ia merasa tatapan Pak Dastan menelusuri gerakannya. Serius tapi ada sesuatu di sana—seperti rasa tertarik yang tersamar.
Dan hal itu, tanpa Fio sadari, terlihat jelas dari luar jendela kelas.
Ya, Darrel belum pergi. Ia duduk di mobil dengan jendela sedikit terbuka, dari sana ia bisa melihat Fio yang tengah berbicara di depan kelas. Ia melihat bagaimana Pak Dastan menatap Fio cukup lama, dan bagaimana Fio sesekali tersenyum sopan saat menjawab pertanyaan.
Rahangnya menegang.
Tangannya mengepal di pangkuan.
Dan di balik ketenangannya, Darrel bergumam pelan, “Dosen tampan, huh? Kalau tampan tapi nggak tahu diri, tetap aja nyebelin.”
Sementara itu, di dalam kelas—
“Baik, penjelasan kamu cukup menarik,” ucap Pak Dastan sambil menatap Fio. “Tapi saya ingin tanya, apa dasar teorinya kamu pilih model ini, bukan model yang lain?”
Fio sempat terdiam beberapa detik, lalu menjawab dengan tenang, “Karena kami menilai model ini lebih relevan dengan studi kasus kami, Pak. Selain itu, hasil uji regresinya juga menunjukkan signifikansi yang paling kuat.”
Pak Dastan tersenyum tipis. “Menarik. Jarang mahasiswa bisa jawab dengan percaya diri seperti itu.”
Sella menunduk menahan tawa, sementara Tira berbisik, “Dosen-nya ngasih kode tuh, Fio!”
“Diam!” balas Fio dengan mata melebar.
Tapi blusnya yang berwarna krem sedikit bergoyang karena jantungnya berdetak cepat. Bukan karena pujian dari Pak Dastan… melainkan karena tiba-tiba ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk.
Dari: Darrel.
[Jawabnya bagus. Tapi kamu bisa jelasin juga kenapa harus di depan dia senyum terus?]
Fio hampir menjatuhkan ponselnya. Dia nonton dari luar?!
Ia menggigit bibir, menahan senyum dan panik bersamaan. Di layar ponsel muncul lagi pesan lanjutan:
[Selesai kelas, tunggu di depan]
[Jangan pulang sendiri]
Fio menelan ludah, pipinya memanas, dan hanya bisa membatin, "Gawat… dosen killer di depan, suami killer di luar."
Darrel memandangi layar ponselnya yang menampilkan foto Fio di depan kelas — ya, diam-diam ia sempat memotret dari jauh sebelum turun hujan rintik. Ia berniat menunggu sampai Fio selesai, tapi dering telepon membuat rahangnya menegang.
Nama Rafa muncul di layar.
Darrel menatap sebentar, lalu menghela napas dan menekan tombol hijau.
“Ada apa?”
“Tuan, urgent banget. Klien dari Jepang udah sampai lebih cepat. Mereka minta meeting sekarang, bukan sore.”
“Sekarang?” Darrel menatap ke arah gedung kampus. “Saya lagi di luar.”
“Kalau Tuan tidak hadir, mereka akan menganggap perusahaan kita gak serius.”
Sunyi beberapa detik.
Darrel menutup matanya sebentar, lalu mengembuskan napas pelan — wajah Fio yang sedang berbicara penuh semangat di kelas muncul jelas di benaknya.
“Baik, saya ke kantor sekarang.”
Ia menutup ponsel dengan gerakan pelan, tapi tatapannya masih tak lepas dari arah kampus.
“Kenapa sih gue jadi kayak gini…” gumamnya sambil menepuk pelipis.
Ia membuka pintu mobil, duduk di kursi pengemudi, tapi tangannya tak langsung menyalakan mesin.
Beberapa kali ia melirik ke arah gedung.
Beberapa kali pula jarinya hendak menekan nama Fio di kontaknya, namun berhenti di tengah jalan.
“Udah gede. Bisa jaga diri,” katanya pada diri sendiri.
Namun tak lama kemudian, ia kembali melirik layar ponsel, lalu menambahkan pelan,
“Tapi kenapa gue gak tenang, ya?”
Akhirnya ia menyalakan mobil dan melaju keluar area kampus, tapi matanya sempat tertuju pada bayangan seseorang yang baru keluar dari gedung—seperti Fio yang sedang tertawa bersama teman-temannya.
Ia menggigit bibirnya, lalu membanting setir sedikit keras ke arah jalan besar.
“Kerja dulu, Darrel. Jangan kayak orang cemburu,” gerutunya sambil mencoba fokus. Tapi detak jantungnya tak mau tenang.
***
Sore harinya.
Sore ini langit sudah berwarna jingga keemasan. Mobil hitam Darrel berhenti di depan gerbang kampus yang mulai sepi. Ia menatap arlojinya — pukul tujuh belas.
“Harusnya dia udah keluar jam segini,” gumamnya sambil melirik ke arah gerbang.
Beberapa mahasiswa masih tampak keluar satu per satu, namun tak ada sosok Fio di sana.
Darrel mengetik pesan singkat:
[Udah selesai?]
Delivered
(Belum terbaca.)
Ia menunggu. Lima menit berlalu.
Sepuluh menit. Masih belum ada balasan.
Jemarinya mulai mengetuk-ngetuk setir, ritmenya makin cepat.
Rasa tak sabar bercampur cemas.
“Fio, kamu di mana sih…” desisnya pelan.
Ia turun dari mobil, menyandarkan tubuh di pintu, menatap sekeliling. Beberapa mahasiswa melirik ke arah mobilnya—mewah dan mencolok di depan kampus.
Darrel menghela napas panjang. Ia akhirnya memutuskan untuk menelpon.
Nada sambung masuk. Lama. Tapi tak diangkat.
Sampai akhirnya berpindah ke pesan suara.
“Fio, kamu di mana? Kamu bilang pulang sore. Aku udah di depan gerbang.”
Setelah menutup telepon, ia menatap langit yang mulai gelap. Ada rasa aneh di dadanya — campuran khawatir dan… marah yang tak tahu sebab pasti.
Beberapa menit kemudian, seorang satpam kampus mendekat.
“Maaf, Pak. Nyari siapa?”
“Mahasiswa, namanya Fio,” jawab Darrel cepat.
“Tadi saya lihat dia keluar sekitar setengah jam lalu, Pak. Tapi… bukan ke arah parkiran motor. Dia jalan ke arah taman belakang kampus.”
Darrel menoleh cepat ke arah yang dimaksud.
“Taman belakang?” gumamnya pelan.
Ia langsung kembali masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan berputar arah ke jalan kecil di sisi kampus. Tapi saat sampai di sana, tempat itu sudah kosong. Tak ada siapa pun.
Hanya bangku taman yang basah oleh embun sore dan sisa minuman kaleng yang ditinggalkan di atasnya.
Darrel turun, berjalan perlahan mendekati bangku itu. Pandangannya menyapu ke sekitar.
Sepi.
Dan entah kenapa… dadanya terasa semakin berat.
“Kamu ke mana, Fio?” bisiknya pelan, seolah takut suaranya menggema di udara sore yang tenang itu.
Sampai akhirnya ponselnya berbunyi.
Bukan dari Fio. Tapi dari Bu Rania.
“Darrel, kamu barusan di mana? Mama coba hubungi Fio, tapi nomornya gak bisa.”
Darrel menatap layar, rahangnya mengeras.
“Aku juga lagi nyari dia, Ma.”
Hening.
Suara napas Darrel terdengar pelan tapi tegang.
“Fio gak pulang, Darrel?” suara Bu Rania mulai cemas.
“Belum, Ma. Tapi aku akan cari.”
Darrel menutup ponsel, memasukkannya ke saku jas, dan melangkah ke arah taman yang semakin gelap.
Langkahnya cepat, matanya tajam menelusuri setiap sudut.
Sore ini, entah kenapa, angin terasa lebih dingin dari biasanya.
Dan firasat di dada Darrel—tak lagi sekadar rasa khawatir biasa.
***
Langit sudah benar-benar gelap.
Lampu jalan menyala satu per satu, tapi bagi Darrel, suasananya justru semakin menekan dada. Ia memutar mobil ke arah perumahan mahasiswa, tempat Fio biasa nongkrong bersama teman kelompoknya.
Ia menepikan mobil di depan rumah kos warna biru muda, lalu turun dengan langkah cepat. Dari dalam terdengar suara musik dan obrolan mahasiswa.
Tok! Tok! Tok!
Darrel mengetuk pintu cukup keras. Ia tidak peduli itu kos-kosan siapa.
Seorang perempuan berambut pendek keluar, mengenakan sweater dan celana training. Ia tampak kaget begitu melihat pria tinggi berjas rapi berdiri di depan pagar.
“E-eh, maaf, ada perlu apa ya, Pak?”
“Saya cari Fio,” jawab Darrel cepat, nada suaranya tenang tapi matanya tajam.
Perempuan itu tampak berpikir sebentar.
“Fio? Oh, Fio udah gak di sini, Pak. Dia cuma numpang kerja kelompok tadi siang.”
“Tadi siang? Sekarang di mana?”
“Wah, saya kurang tahu, Pak. Tadi habis presentasi, dia sempat pamit katanya mau ke taman belakang kampus bentar. Tapi habis itu gak balik lagi ke sini.”
Deg.
Darrel menatap perempuan itu beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Lalu mengangguk pelan.
“Baik. Terima kasih.”
Ia berbalik ke mobil, tapi langkahnya terasa berat.
Pikiran mulai liar—kemungkinan terburuk berputar cepat di kepalanya.
Begitu masuk ke mobil, ia mengetik pesan lagi.
[Fio, kamu di mana?]
Pesan terkirim.
Namun lagi-lagi tidak dibaca.
Ia menekan nomor Fio—masih tidak aktif.
Rahangnya menegang. Nafasnya mulai berat.
“Kenapa sih kamu gak pernah bisa bikin tenang…” gumamnya lirih, suaranya serak tertahan emosi dan cemas.
Ia menatap ke luar jendela. Hujan mulai turun rintik-rintik. Jalanan sepi.
Tanpa pikir panjang, ia menyalakan mesin dan mulai menyusuri jalanan sekitar kampus satu per satu. Dari taman belakang, ke kantin lama, sampai ke halte kecil di ujung jalan — semuanya kosong.
Sampai akhirnya, di lampu merah, ponselnya bergetar.
Darrel langsung meraihnya cepat, berharap nama Fio muncul di layar.
Tapi bukan.
Rafa.
“Bos, rapat malam ini mau saya tunda?”
“Enggak usah. Biar saya handle besok pagi,” jawab Darrel pendek.
“Baik, tapi… suara Bos kok kayak capek banget?”
“Cari orang itu jauh lebih capek, Rafa.”
Klik.
Telepon ditutup.
Dan di balik kaca mobil yang berembun, Darrel menatap pantulan wajahnya sendiri. Dingin. Tapi ada sesuatu di matanya—campuran cemas dan rasa takut kehilangan.
“Fio…”
“Jangan bikin aku menyesal udah menikahi kamu, dasar pembuat onar kecil.”
Bersambung
ditunggu up nya
lira jg mencuri bhn skripsinya berarti mrk satu kampus dong ah bingung jg aku blom terlalu jelas masalahnya