 
                            Alia adalah gadis sederhana yang hidup bersama ibu kandungnya. Ia terjebak dalam kondisi putus asa saat ibunya jatuh koma dan membutuhkan operasi seharga 140 juta rupiah.
Di tengah keputusasaan itu, Mery, sang kakak tiri, menawarkan jalan keluar:
"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu, dia bakal mati di jalanan... Gantikan aku tidur dengan pria kaya itu. Aku kasih kamu 140 juta. Deal?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alesha Aqira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 MSUM
Alya sedang sibuk menata sayuran saat ia mendengar langkah kaki masuk ke dapur.
Leonardo datang sambil menggulung lengan bajunya, wajahnya tampak lelah tapi tetap menyunggingkan senyum hangat.
“Kamu nggak ikut main sama anak-anak? Mereka heboh banget di luar.” Alya tersenyum canggung “Mereka mainnya seru banget sama bapak, jadi aku nggak mau mengganggu kalian .”
“Hm… kalau begitu sini biar aku bantu kamu, biar cepat selesai.
“Bapak mau bantu saya?”
Leonardo menoleh sambil menggulung lengan bajunya “Iya, tentu. Sini, mana yang bisa aku bantu?” “Kalau begitu... tolong bersihkan udang ini ya, Pak.”
Leonardo mengangguk sambil mengambil wadah
“Udang? Baik, serahkan padaku
“Maaf ya pak, bapak pasti sedang sibuk tapi anak-anak malah menyuruh bapak untuk merayakan ulang tahun mereka.
Leonardo, tertawa kecil “Aku sukarela kok. Kamu minta maaf terus dari tadi. Kenapa? Nggak mau aku di sini?”
Alya menatapnya sekilas lalu menunduk lagi.
“Bukan begitu maksud saya pak. Saya cuma takut ganggu.”
“Anak-anak nggak ganggu siapa pun, Alya.”
shhh aah , “Pak! Darah! Jari kamu berdarah!”
Leonardo menatap jarinya yang teriris pisau. “Ah, cuma sedikit, nggak apa-apa.”
“Nggak bisa gitu! Duduk, sini. Coba aku lihat.”
Leonardo berusaha menolak, tapi Alya sudah menarik tangannya dengan lembut.
Darah menetes di meja. Ia segera mengambil tisu, menekannya perlahan.
“Lukanya harus segera diobati agar steril, kalau tidak akan infeksi. "
“Kamu ngomong kayak perawat aja.”
“Arel!” “Iya, Mama! Ada apa?” “Tolong, ambilkan kotak obat di kamar Mama, ya. Cepat tapi hati-hati.”
“Baik, Ma!” Langkah kecil bocah itu terdengar berlari menaiki tangga. Tak lama kemudian, ia datang kembali dengan napas sedikit terengah.
“Ini, Mama! Kotak obatnya.”
“Terima kasih ya, sayang.”
Arel menatap ke arah Leonardo dengan mata polos yang penuh khawatir. “Mama kenapa? Mama terluka?” “Nggak, Mama nggak terluka, kok. Tapi Paman Leonardo tangannya berdarah.”
“Ya ampun! Paman Leonardo, tanganmu berdarah!” Leonardo tertawa kecil, berusaha terlihat tenang meski rasa perih mulai terasa.
“Jangan khawatir, paman baik-baik saja, Arel.”
Alya duduk di kursi, menarik tangan Leonardo dengan lembut.
“Coba sini, Pak. Mana tanganmu. Walaupun hanya luka kecil, tetap harus diobati dengan baik. Kalau tidak, nanti bisa infeksi parah.”
Leonardo menatapnya diam-diam. Ada sesuatu dalam suaranya — lembut tapi tegas, seperti seseorang yang benar-benar peduli.
Alya membersihkan lukanya perlahan dengan kapas dan antiseptik.
Leonardo mengerutkan keningnya, Perih juga ternyata. “Kalau perih, berarti obatnya bekerja.”
Arel berdiri di samping mereka, memperhatikan dengan serius. Ia kemudian bertanya dengan nada polosnya, “Paman Leonardo, apa tangan Paman terasa sakit?”
Leonardo menatap wajah mungil itu dan tersenyum.“Sedikit, Arel. Tapi tidak apa-apa.”
“Kalau gitu, coba sini, aku tiup.”
Ia menunduk dan meniup lembut tangan Leonardo yang sudah diperban. Udara hangat kecil itu seolah membawa ketenangan yang luar biasa. Alya tersenyum, matanya melembut melihat pemandangan itu.
Aduh, kamu baik sekali, Arel. Biar tangan Paman cepat sembuh, Ma. Leonardo terdiam sesaat, menatap Alya dan Arel yang tampak begitu hangat di depannya. Senyum tipis muncul di bibirnya, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam — sejenis rasa rindu yang menekan dada.
"Istri yang lembut... anak yang manis dan penuh kasih...Kalau mereka milikku, mungkin aku akan menjadi pria paling bahagia di dunia".
Alya menatapnya heran.Pak, kenapa melamun. Leonardo tersenyum, menyembunyikan perasaannya. “Ah, tidak. Aku cuma berpikir... betapa beruntungnya Arel dan Alia punya ibu sepertimu.”
Alya menunduk, tersipu. “Ah, sudah, jangan banyak bicara. Lukanya sudah dibersihkan, sekarang duduk saja dulu.”
Leonardo mengangguk. “Baiklah, perawat Alya.”
Alya tersenyum kecil, lalu berkata lembut, “Dan pasien keras kepala yang satu ini… semoga cepat sembuh.”
 
                     
                     
                    