Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 PUTUSAN MAJELIS
Aula dekanat penuh sesak. Kursi panjang terisi mahasiswa, dosen, dan perwakilan senat akademik. Di depan, meja panjang berlapis kain hijau ditempati tiga dosen senior. Palu kecil berkilat di tangan ketua majelis.
Amara duduk di kursi saksi, map bukti di pangkuan. Nafasnya terasa berat. Rani dan Indra duduk di belakang, memberi anggukan semangat. Di sisi lain ruangan, Selvia berdiri bersama kelompoknya, senyum tipis terukir di bibir, meski matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Ketua majelis membuka sidang. “Hari ini kita mendengar kesimpulan dan mengumumkan putusan terkait kasus yang menimpa mahasiswa Amara. Semua bukti, saksi, dan pernyataan telah kami telaah. Sidang ini terbuka untuk umum.”
Selvia segera melangkah maju. “Yang terhormat majelis, saya ingin menekankan kembali bahwa keberadaan Amara telah mencoreng nama baik kampus. Gosip demi gosip bukan kebetulan, melainkan tanda ia memang bermasalah. Meski ada audit, meski ada rekaman, tetap saja opini publik sudah rusak. Apakah kampus akan mempertaruhkan reputasinya hanya demi satu orang?”
Sorakan kecil terdengar dari sebagian mahasiswa. Namun suara lain juga muncul, “Itu fitnah!” “Audit sudah jelas, Selvia!”
Ketua majelis mengetuk palu. “Tenang.”
Amara berdiri, suaranya bergetar tapi jelas. “Yang terhormat majelis, saya tidak menolak kalau gosip sudah menyakitkan banyak orang, termasuk saya sendiri. Tapi kampus ini bukan pengadilan gosip. Kita punya bukti, kita punya saksi. Audit membuktikan akun saya dipakai orang lain. Rekam medis membuktikan ibu saya sehat. Rekaman Davin membuktikan tuduhan hubungan itu palsu. Saya hanya minta satu hal: jangan hukum orang berdasarkan bisikan.”
Suara di aula mereda. Beberapa mahasiswa menunduk, tersentuh oleh kata-katanya.
Ketua majelis memberi isyarat. “Kami memanggil saksi tambahan, Davin.”
Davin melangkah maju, wajahnya kaku tapi suaranya mantap. “Saya bersumpah di sini, saya tidak pernah bertemu Amara setelah dia menikah. Saya memang dihubungi untuk membuat kesaksian palsu, tapi saya menolak. Rekaman telepon sudah diserahkan.”
Bisik-bisik kembali terdengar. Selvia pucat, matanya berkilat penuh marah.
Ketua majelis melanjutkan, “Kami juga menerima dokumen dari dosen moderator forum terbuka. Pernyataan tertulis mahasiswa yang hadir menguatkan bahwa tuduhan baru tidak berdasar.”
Suasana semakin menegang. Palu kecil di meja bergetar ketika ketua majelis mengangkatnya. “Setelah menimbang semua bukti, majelis etik memutuskan: Amara tetap berstatus mahasiswa aktif. Semua tuduhan yang tidak terbukti dianggap tidak sah. Namun, kami menegaskan agar Amara tetap menjaga integritas dan fokus pada akademik.”
Suara aula pecah. Beberapa mahasiswa bertepuk tangan, ada yang bersorak lega. Rani memeluk Indra singkat, wajah mereka berseri. Amara sendiri berdiri terpaku, air mata mengalir tanpa sadar. Bukan air mata lemah, tapi lega.
Selvia menatapnya penuh kebencian, lalu bergegas keluar aula dengan wajah merah.
Usai sidang, beberapa mahasiswa mendekati Amara.
“Kami percaya kamu sejak awal.”
“Terima kasih sudah berani.”
“Semoga kamu tetap kuat.”
Amara mengangguk, hatinya hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi sendirian di kampus ini.
Bagas berdiri di pintu luar, menunggu. Tatapan mereka bertemu. Ia tidak berkata banyak, hanya menunduk singkat sebagai tanda hormat. Tapi bagi Amara, itu lebih dari cukup.
Malamnya, di rumah aman, Amara duduk bersama ibunya di teras. “Bu… aku tidak dikeluarkan. Aku masih boleh kuliah.”
Ibunya tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu kamu bisa. Karena kamu jujur. Dan orang jujur selalu menemukan jalannya, meski berliku.”
Amara menunduk, mencium tangan ibunya. “Aku berjanji tidak akan membuat Ibu takut lagi.”
Larut malam, Amara membuka buku catatannya.
“Hari ini majelis memutuskan aku tetap berdiri. Gosip tidak berhenti, tapi setidaknya kebenaran punya panggung. Aku tahu ini belum akhir. Musuh masih ada, Selvia masih menyimpan dendam, dan bayangan Meylani terus mengintai. Tapi aku sudah belajar: keberanian bukan berarti tidak takut. Keberanian berarti tetap maju meski takut.”
Ia menutup buku itu dengan senyum tipis. Di luar jendela, angin malam berhembus lembut, seolah memberi ucapan selamat.
Tapi jauh di sudut kota, Meylani duduk di kursinya dengan anggur merah di tangan. Ia membaca pesan di ponsel: “Sidang tidak berhasil. Target lolos.” Bibirnya melengkung tipis. “Baiklah, Amara. Kau mungkin menang di kampus. Tapi permainan baruku baru saja dimulai.”
Setelah palu diketuk, aula mulai lengang. Beberapa mahasiswa masih berbisik, sebagian mendekat ke Amara, menyalaminya dengan tatapan kagum. Namun di balik semua itu, ada mata lain yang mengawasinya penuh kebencian. Selvia berdiri di sudut, wajahnya pucat, genggaman tangannya begitu erat hingga buku jarinya memutih.
“Ini belum selesai,” desisnya lirih sebelum melangkah keluar dengan cepat.
Amara memperhatikan kepergiannya sekilas. Hatinya tahu, kemenangan hari ini bukan akhir, melainkan awal dari badai yang lebih besar.
Di luar aula, udara sore terasa lebih ringan. Rani berlari kecil menghampiri, memeluk Amara erat. “Kau hebat sekali! Aku hampir menangis saat kau bicara di depan majelis.”
Indra menambahkan dengan senyum lega, “Aku yakin gosip itu akhirnya akan mati. Buktimu terlalu kuat.”
Amara tersenyum, meski matanya masih basah. “Terima kasih. Aku tidak akan bisa bertahan tanpa kalian.”
Di kejauhan, Bagas menunggu di samping mobil. Saat tatapan mereka bertemu, ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memberi anggukan singkat. Tapi itu cukup membuat Amara merasakan kekuatan yang berbeda—tenang, kokoh, seolah ada tembok di belakangnya.
Malam itu, rumah aman penuh kehangatan. Ibunya menyalakan lampu kecil di teras, menunggu Amara pulang. Begitu Amara duduk di sampingnya, ibunya langsung menggenggam tangannya.
“Bu, aku tidak dikeluarkan,” kata Amara dengan suara bergetar.
Air mata ibunya jatuh, namun senyumnya begitu tulus. “Aku sudah bilang, gosip tidak bisa menghapus kebenaran. Aku bangga padamu, Mar.”
Amara menunduk, mencium tangan ibunya lama-lama. “Aku berjanji tidak akan membuat Ibu merasa sendiri lagi.”
Larut malam, ketika semua tidur, Amara duduk di kamar dengan buku catatan di pangkuan. Tinta pena mengalir deras, seolah kata-kata tak mau berhenti.
“Hari ini aku lolos dari kursi sidang. Gosip tidak berhenti, tapi bukti sudah berbicara. Aku tahu ini belum akhir. Selvia tidak akan diam, Meylani mungkin sudah menyiapkan langkah baru. Tapi aku tidak takut lagi. Aku sudah belajar: keberanian bukan berarti tidak gentar. Keberanian berarti tetap berjalan meski gemetar.”
Ia menutup buku itu, menatap jendela. Bulan pucat menggantung, bintang kecil berkelip samar.
Namun di sisi lain kota, Meylani duduk di kursi empuk ruang kerjanya. Segelas anggur merah berkilat di tangannya. Di ponsel, sebuah pesan masuk: “Sidang gagal. Target lolos.”
Bibir Meylani melengkung tipis. “Bagus. Biarkan dia merasa menang sebentar. Permainan baruku baru saja dimulai.”
Ia menaruh ponsel, menatap foto keluarga di dinding, lalu berbisik pada bayangannya sendiri, “Amara, kau belum tahu siapa lawanmu sebenarnya.”