Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. S.Ked Tanpa Sorak Sorai
Langit kota pagi itu tak begitu cerah. Awan kelabu menggantung, seolah mengerti apa yang dirasakan Elvareon hari ini. Ia berjalan sendirian menyusuri koridor kampus St. Aurelius University, mengenakan kemeja putih rapi dengan map biru di tangannya. Map skripsi terakhirnya.
Hari ini adalah sidang akhir Elvareon. Penentuan apakah ia layak menyandang gelar Sarjana Kedokteran—S.Ked.
Tapi berbeda dengan mahasiswa lain yang datang dengan senyum ceria, ditemani keluarga, sahabat, bahkan pacar, Elvareon hanya ditemani dirinya sendiri. Tak ada Mama. Tak ada Papa. Tak ada Achazia.
“Hari ini, aku sendiri lagi ya,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
Arvin muncul di ujung lorong, melambaikan tangan dengan wajah penuh semangat. “El, ayo cepat! Dosen-dosen udah nungguin di ruang sidang!”
Elvareon membalas lambaian itu dengan anggukan kecil. Hanya Arvin, sahabatnya sejak awal kuliah, yang terus ada di sisinya. Di tengah kesibukan koas, Arvin masih menyempatkan datang untuk mendampinginya hari ini.
“Aku kira kamu gak datang,” ucap Elvareon ketika mereka berjalan beriringan menuju ruang sidang.
“Mana mungkin aku ninggalin lu, El. Siapa lagi yang bakal kasih gua traktiran makan bakso habis sidang nanti?” canda Arvin sambil menepuk punggung Elvareon.
Elvareon tertawa kecil. Bercandaannya terasa ringan, meski di dadanya, ada sesak yang sulit diabaikan. Ia melirik ponselnya. Tidak ada notifikasi baru. Achazia tidak mengirim pesan.
Ia tahu, Achazia pasti sibuk dengan pekerjaannya sebagai MUA. Walaupun tak datang di acara wisuda Achazia, dia tahu bahwa gadis itu sudah wisuda. Dia mencari tahu dari Brianna, Kaivan dan postingan instagram Achazia. Tapi tetap saja, ada harapan kecil dalam dirinya, Achazia akan mengingat hari penting ini.
Ruang Sidang, 10:00 WIB
Ruang sidang tampak mencekam. Tiga dosen penguji duduk berhadapan dengan Elvareon, berkas-berkas tebal terbuka di hadapan mereka. Elvareon menjawab setiap pertanyaan dengan tenang, meski hatinya berdegup kencang.
Presentasinya berjalan lancar. Ia menjelaskan hasil penelitiannya tentang efektivitas terapi non-farmakologi pada pasien hipertensi dengan penuh keyakinan. Tidak ada cela yang terlalu berarti.
Arvin duduk di bangku belakang, mengepalkan tangan memberi semangat.
Satu jam berlalu. Sesi pertanyaan selesai. Salah satu dosen penguji tersenyum.
“Baik, Elvareon. Berdasarkan hasil presentasi dan tanya jawab hari ini, kami sepakat… Anda dinyatakan lulus sebagai Sarjana Kedokteran.”
Ruang sidang hening. Tidak ada sorakan. Tidak ada tepuk tangan.
Elvareon tersenyum, menunduk sopan. “Terima kasih, Bapak, Ibu Dosen.”
Di bangku belakang, Arvin bertepuk tangan pelan. Ia berdiri dan memberi jempol.
“Elvareon S.Ked, bro!” bisik Arvin saat mereka keluar ruangan.
Elvareon tertawa, meski hatinya terasa kosong. Ia merasa aneh. Gelar S.Ked yang selama ini ia perjuangkan, yang dulu ia bayangkan akan dirayakan bersama orang-orang tersayang, kini hanya ditemani bayangan dirinya sendiri.
“Tapi ini langkah awal, kan?” gumamnya.
Kantin Kampus, Siang Hari
Setelah sidang, Arvin mengajak Elvareon makan di kantin kampus. Mereka duduk di pojok, menikmati semangkuk bakso sederhana.
“El, lu hebat banget, bro. Aku tau kau ngelewatin ini semua sendiri. Tapi lu bisa,” ucap Arvin sambil menyeruput kuah baksonya.
Elvareon tersenyum kecil. “Aku gak sendiri. Lu ada. Itu udah cukup.”
Arvin menatap Elvareon dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada kekaguman, ada iba, ada rasa hormat.
“Tapi aku ngerti, Zia gak datang ya?” tanya Arvin pelan.
Elvareon terdiam sejenak. Ia menatap ponselnya lagi. Masih tidak ada pesan masuk dari Achazia.
“Aku gak bisa nyalahin dia. Dia juga lagi berjuang di dunianya. Gua gak mau nambah beban dia,” jawab Elvareon lirih.
"Kalau boleh tahu, Achazia udah wisuda atau belum?"
"Sudah. Enam bulan kemarin. Aku melihat dari postingan instagramnya. Dia jadi MUA impiannya. Aku tahu pasti dia gadis yang hebat" pujinya.
Arvin hanya mengangguk. Ia tahu betapa besar rasa Elvareon terhadap Achazia. Tapi ia juga tahu, Elvareon adalah tipe pria yang lebih memilih menyimpan perasaannya sendiri daripada membebani orang yang ia sayangi.
Di Bawah Pohon Rindang, Sore Hari
Setelah makan, Elvareon memilih duduk di taman kampus, di bawah pohon rindang yang biasa ia kunjungi saat lelah.
Ia membuka ponselnya, membuka draft pesan yang tidak pernah ia kirimkan kepada Achazia.
"Zia, hari ini aku lulus S.Ked. Rasanya aneh karena kamu gak di sini. Tapi aku ngerti, kamu juga lagi berjuang. Semoga suatu hari nanti aku bisa cerita langsung ke kamu, kalau aku udah resmi jadi dokter.”
Elvareon menghela napas panjang. Ia tidak menekan tombol kirim. Ia hanya menyimpannya lagi dalam draft. Seperti biasa.
“Zia, aku janji. Kita akan ketemu saat aku udah siap. Saat aku udah pantas,” ucapnya kepada angin.
Senja yang Sunyi, di Papan Nama Kampus
Sebelum pulang, Arvin memotret Elvareon di depan papan nama kampus yang besar bertuliskan "St. Aurelius University".
“Buat kenang-kenangan, bro. Nanti kalau udah resmi dr., kita foto lagi,” kata Arvin.
Elvareon tersenyum. Di dalam hatinya, ia menyimpan harapan besar.
“Aku bakal berdiri di puncak, Arvin. Meski harus berdarah-darah dulu.”
Arvin menepuk pundaknya. “Lu gak sendiri, El. Kita semua bakal sampai bareng.”
Namun dalam diam, Elvareon tahu, perjuangan pribadinya belum selesai. Ini baru langkah awal. S.Ked hanyalah pintu pembuka menuju medan perang yang lebih besar.
Di Kamar Asrama, Malam Hari
Malam itu, Elvareon duduk di meja belajarnya. Di hadapannya, setumpuk buku koas menunggu untuk dibaca. Dia mengambil ponselnya dan menelpon orang tuanya bahwa dia telah lulus S.Ked dan melanjutkan kurang lebih 2 tahun untuk profesi dokter.
Orang tuanya bangga dan menyemangati anaknya supaya terus berjuang.
Ia kembali membuka drafnya. Masih memikirkan pesan dari Achazia. Namun kali ini, ia tidak sedih. Ia justru tersenyum.
“Zia, aku akan kejar kamu. Sampai kita bisa berdiri di panggung yang sama. Saat itu, aku harap kamu masih menungguku.”
Ia lalu menuliskan di buku catatannya:
"Elvareon Delacroix, S.Ked.
Next: dr. Elvareon Delacroix"
Ia menatap namanya dengan sorot mata penuh tekad. Besok, perjuangan barunya dimulai. Tanpa sorak sorai, tanpa pesta. Tapi dengan semangat yang menyala di dalam hati.
Di malam sunyi itu, Elvareon menutup bukunya. Ia memandang keluar jendela, ke langit malam yang penuh bintang.
Mungkin di kota lain, Achazia sedang menatap langit yang sama.
Dan Elvareon tahu, meski tak ada yang datang hari ini, ia tidak benar-benar sendiri. Ia bersyukur mempunyai teman seperti Arvin. Teman dari masa awal dia kuliah. Dia berpikir bahwa pertemananya dengan Arvin akan renggang karena skripsian ternyata makin erat.
Ini masih permulaan, dia harus berjuang lebih banyak. Mengangkat derajat keluarga, dia ingin membuktikan pada papa Achazia bahwa dia pantas untuk putrinya.