Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bu Gemi
Bu Gemi membuka mata perlahan, ia menelisik sekelilingnya, lalu menemukan wajah-wajah yang familiar berdiri di samping tempat tidurnya, menatapnya penuh harapan. Bidan Mini juga ada di sana, dengan senyum yang hangat.
"Ya ampun, aku di mana?" gumamnya lirih lalu memijat keningnya karena masih merasakan pusing.
Bidan Mini langsung menyambutnya dengan senyum. "Ini di ruang periksa saya, Bu Gemi. Tadi tidak sadarkan diri selama hampir setengah jam. Bagaimana perasaan Bu Gemi, sekarang?" tanya Bidan Mini dengan nada yang lembut.
"Aku kok bisa disini, Bu bidan? Seingatku tadi aku—" Bu Gemi mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi wajahnya menunjukkan kebingungan. "Aku... aku tidak ingat apa yang terjadi," katanya dengan dahi berkerut.
Parto dan Lasmi saling menatap, Lasmi tahu apa yang terjadi, tapi enggan menuturkannya. ‘Jika kukatakan pun, palingan juga nggak akan ada yang percaya,’ batinnya.
Sedangkan Parto berharap mendapatkan keterangan dari Lasmi. Meskipun Sukijo sudah menjelaskan versinya, namun rasanya ia masih tak percaya jika Bu Gemi rela bersusah payah dengan sadar untuk menolongnya.
Bidan Mini tersenyum dan mengangguk. "Tidak mengapa, Bu Gemi. Sekarang, semua sudah baik-baik saja. Coba rileks dulu, dan jangan terlalu memikirkan hal lain," kata Bidan Mini dengan nada yang menenangkan.
“Tapi —”
“Bu Gemi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua sudah saya periksa, dan aman. Mungkin tadi jenengan kelelahan saja, banyaklah minum air putih, dan beristirahat cukup.” Bidan Mini menasihati.
Setelah mendapatkan resep obat dan vitamin dari Bidan Mini, Sukijo membantu Bu Gemi berjalan keluar dari ruang periksa. Lasmi dan Parto mengikuti di belakang mereka.
Setelah sampai di rumah, Sukijo langsung membantu Bu Gemi masuk ke dalam rumah dan membantunya beristirahat di tempat tidur. Lasmi membantu menyiapkan makanan dan minuman untuk Bu Gemi.
Dengan Bu Gemi yang sudah beristirahat, Parto dan Lasmi duduk di ruang tamu, memikirkan langkah selanjutnya untuk mencari kebenaran tentang ayah Lasmi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Parto dengan nada yang serius. Lasmi hanya diam, memikirkan jawaban yang tepat.
"Menurutku sebaiknya kamu pulang ke ruko aja dulu, Mas. Istirahatlah, badanmu juga pasti sakit semua, lagian itu lihatlah, kamu masih berantakan begitu pakai kebaya," ucap Lasmi menahan tawa.
"Ah, niatku menjebak mereka, tapi ternyata malah aku yang terjebak!" sesal Parto atas kebodohannya sendiri.
Parto tersenyum dan menggelengkan kepala, merasa sedikit konyol dengan situasi yang dialaminya. "Ya, kamu benar. Aku harus stirahat, membersihkan diri. Rasanya kebaya ini memang nggak terlalu cocok untukku," katanya dengan nada yang santai.
Lasmi tertawa kecil, merasa sedikit lega setelah melihat Parto bisa menerima keadaan dengan humor tanpa perlu merasa tersinggung. “Tapi bagus, setidaknya kamu sudah berusaha.”
Parto mengangguk, merasa sedikit lebih baik setelah bisa bercanda dengan Lasmi. "Ya, aku akan ingat itu. Sekarang, aku memang perlu pulang dan membersihkan diri," katanya sambil berdiri dan bersiap untuk pergi.
"Dasar bodoh! Harusnya kamu cegah si Parto! Suruh aja tinggal dulu di sini, setidaknya kamu kan sesama lelaki bisa membantunya menangkap penjahat licik itu!" gerutu Jumini menatap Sukijo, yang tentu tak bisa mendengar apalagi melihatnya.
Parto melirik ke arah Jumini, bermaksud memberi isyarat agar diam. Namun arwah itu justru mengabaikannya.
"Ss-ss-set-setaan!" tiba-tiba Bu Gemi berteriak keras menunjuk ke arah pintu, dimana arwah Jumini berdiri.
Semua orang di ruangan terkejut mendengar teriakan Bu Gemi dan menoleh ke arah pintu. Parto dan Lasmi saling menatap.
"Ada apa, Bu?" tanya Sukijo dengan nada yang khawatir.
Bu Gemi masih menunjuk ke arah pintu, wajahnya pucat pasi. "Setan! Di sana!" katanya dengan suara yang masih bergetar.
Tiba-tiba, Lasmi teringat sesuatu. "Bu, apa kamu melihat sesuatu yang tidak ada di sana?" tanya Lasmi dengan nada yang lembut.
Bu Gemi mengangguk, menyembunyikan wajahnya karena masih terkejut. "Ya, aku melihat setan di sana!" katanya dengan yakin seraya menunjuk ke arah yang sama.
"Bude pasti melakukan sesuatu yang salah, coba diingat-ingat!" ucap Lasmi.
Parto memberi isyarat agar Jumini segera bersembunyi. “Coba lihat lagi, Bu. Tidak ada apa-apa disana.”
Bu Gemi pun memberanikan diri mengintip ke tempat yang sama dan tak mendapati apapun lagi di depan pintu.
"Lho? Ta-tapi tadi ada di situ! Tadi benar-benar ada hantu!" seru Bu Gemi, sambil mengucek matanya pelan, memastikan penglihatannya sendiri benar, sudah hilang. "Aku ini sebenarnya kenapa?”
“Ibu, mungkin kamu hanya lelah, atau kamu masih tak percaya dengan kepergian Jumini, jadi sering berhalusinasi sepertiku, terkadang aku bahkan merasa mendengar suaranya. Sebaiknya ibu istirahat.” Sukijo kembali memapah sang ibu untuk masuk ke kamar.
“Kalau begitu, kami akan pulang, Mas!” pamit Parto kembali beranjak bersiap pergi.
"Sebentar, daripada berpenampilan seperti itu, ganti aja dulu pakai bajuku! Tunggu sebentar!” ucap Sukijo.
Tak lama kemudian Sukijo telah kembali lalu mengantar Parto untuk masuk ke sebuah kamar lain. "Santai saja, ini kamar mendiang istriku, dulu ya kamar kami, tapi semenjak aku sakit, entah kenapa dia minta kamar terpisah."
Parto hanya mengangguk canggung menanggapi curhatan Sukijo, lalu Sukijo meninggalkaan Parto yang tengah mengganti pakaiannya.
Parto sedang mengganti pakaian di kamar Sukijo, mencoba menyesuaikan diri dengan pakaian yang disediakan. Tiba-tiba, dia mendengar suara gemerisik di belakangnya. Ketika dia menoleh, dia melihat arwah Jumini duduk di jendela dengan kaki digoyangkan, menatapnya dengan tatapan yang menusuk.
"Astaga!" Parto terkejut dan melompat mundur, pakaian yang masih setengah dipakai terjatuh ke lantai. "Apa... ngapain kau disitu?!" teriaknya gugup mencoba menguasai diri.
Jumini tersenyum sinis, matanya masih menatap Parto dengan intens. "Badanmu bagus juga, To... untuk mayat," katanya dengan nada yang mengejek.
Parto merasa bulu kuduknya berdiri, “Senyum apa yang kau tunjukkan itu, sangat mengerikan, bisakah kau membiarkanku berganti pakaian dengan nyaman?”
“Kenapa memangnya, aku hanya roh, tak bisa melakukan apapun, lagian aku pernah melihat tubuh pria lebih dari itu, aku bahkan melakukan—”
“Hei, cukup! Hentikan penjelasan itu, pergilah, dasar hantu mesum!”
Jumini menggelengkan kepala dan menghilang dengan wajah cemberut, meninggalkan Parto.
Setelah selesai berganti pakaian, Parto pun berpamitan untuk pulang bersama Lasmi.
Dalam perjalanan kembali ke ruko, Lasmi akhirnya membeberkan semua hal yang terjadi.
"Jadi Bu Gemi beneran kerasukan arwah Jumini?" tanya Parto meyakinkan.
Lasmi mengangguk. "Benar, dan entah apa yang terjadi, tapi secara ajaib api itu tak menyentuhmu sedikit pun, apa kamu ini orang sakti atau gimana?" tanya Lasmi.
Parto terdiam mengingat dan mencerna ucapan Lasmi, dan barulah ia tersadar akan adanya satu lagi hantu api yang meminta bantuannya.
"Eh, Lasmi, kamu tahu nggak nenek yang meninggal karena rumahnya terbakar beberapa hari lalu?"
"Yang tetangga kampung sebelah itu, iya aku tahu. Kenapa, Mas?"
"Kamu tahu cucunya yang jadi polisi?"
"Hm?" Lasmi berpikir sejenak. "Aku kira nenek itu hidup sebatang kara sejak lama, aku tak pernah mendengar dia memiliki keluarga. Tapi ya entah, kenapa sih memangnya? Apa dia juga mengatakan sesuatu yang bisa menjerat ayahku?"
...****************...
Bersambung