Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Selesai
Selamat Membaca.
.
.
.
Mungkin Britnia belum bisa menjawabnya dengan pasti, tapi satu yang harus ia lakukan sekarang adalah menjauh dari Nathan. Itu sudah paling benar. Atau setidaknya yang terdengar paling aman untuk saat ini.
"Ray, Aku ngomong bentar yaa sama Mas Nathan," Rayyan menangkap tatapan itu dan paham tanpa banyak tanya. Ia memilih pergi, menuruni tangga menuju kafe di lantai bawah, memberi mereka ruang.
"Mas, mulai sekarang kita berhenti yaa? Kita nggak akan mungkin bisa untuk bersama. Aku kemarin nggak sengaja dengerin pembicaraan Kamu sama Bu Widia, Mas," Briella berucap, suaranya pelan tapi tegas.
Pria itu mengusap wajahnya kasar, frustrasi. Akhirnya ia tahu kenapa Britania menghindarinya dari kemarin.
"Oh, ya ampun, Brii... Maaf, Aku beneran nggak tahu hal itu, tapi itu cuma pendapat Bunda. Aku nggak peduli status kamu apapun itu dari awal. Perasaan Aku ke kamu nggak pernah berubah, aku sayang banget sama Kamu, Brii. Kamu tahu dari semalam kamu cuekin Aku sampai saat ini aja, itu udah bikin aku hampir gila gimana bisa aku kehilangan kamu," Nathan memohon, matanya menatap Briella penuh ketulusan.
Britania tersenyum tipis, getir, seakan bibirnya dipaksa."Selagi belum terlalu dalam perasaan kita, Mas, kita sudahi aja. Aku pun dari awal sudah bilang sama kamu kalau aku belum sanggup menjalani hubungan serius," kata Britania mencoba mempertahankan pendiriannya.
"Tapi Kamu sayang kan samaa aku, Brii? Kamu nggak mau berjuang untuk perasaan Kamu?" Nathan menunduk sedikit, suaranya melembut tapi penuh tekanan.
Britania menghela napas. Kembali mencoba tersenyum, senyum yang terasa sangat pahit. "Aku sendiri nggak tahu, Mas, yang jelas Aku tahu kapan harus berhenti dan kapan harus berjuang. Untuk saat ini Aku lebih memilih untuk berhenti, Mas. Ada satu hal yang nggak akan bisa ku perbaiki dalam hidup, yaitu status Aku. Mau se-perfect apapun kinerja dan penampilan aku, itu nggak akan pernah bisa mengubahnya. Aku nggak sanggup kalau terus memaksa perasaan aku dan itu akan menjadi bumerang untuk aku dan Kamu sendiri nantinya." Kata-kata itu terasa seperti pisau yang ia tancapkan sendiri ke dadanya. Tidak mudah untuk Brii berujar seperti itu. Hatinya remuk, tetapi ia harus melindungi diri dan Nathan dari penilaian kejam orang-orang.
Nathan menggeram kesal. "Bakal aku pastiin kalau aku hanya akan menikah kalau sama Kamu... Oke? Mungkin butuh waktu buat kamu sekarang atau apapun itu asal jangan menghindari Aku, yaaa... Pleaseee," Nathan memohon, suaranya bergetar, tidak ingin menyerah dengan perasaannya. Tidak pernah sedalam ini Nathan mencintai wanita.
Briella menahan air matanya, "Nggak bisa, Mas, mulai sekarang kita di luar maupun di kantor hanya sebatas atasan dan bawahan saja. Cukup sampai situ, yaaa... Aku juga nggak mau kamu jadi berselisih sama bunda karena aku, Mas,"
Nathan tidak tahan mendengarnya, ia memajukan wajahnya untuk membungkam mulut Bri dengan bibirnya, sebuah kecupan posesif yang cukup lama, seolah mencoba meyakinkan Brii melalui sentuhan itu.
"Nggak, Brii, nggak akan. Pasti ada jalannya, Bunda mungkin belum kenal kamu ajaaa," Nathan berbisik di sela ciuman,
Briella menatapnya dengan alis berkerut. "Heii, Mas, justru kamu yang belum kenal Aku. Bunda sudah lebih lama mengenal Aku. Udah yaa, kamu pulang sekarang. Ingat, kita udah selesai, Mas. Mungkin Bunda udah punya calon yang lebih baik dari aku buat Kamu, jadi biarin aku pergi. Jangan sampai aku menyayangi kamu terlalu dalam, Mas... Tolong hargai keputusan Aku yaaa?"
Nathan menghela napas berat, kemudian bangkit dan ia sempatkan untuk mengecup puncak kepala Bri singkat sebelum meninggalkannya sendirian.
"Kita hanya butuh waktu, Brii, nggak harus selesai!" gumamanya sebelum pergi, suaranya samar terdengar. Bitania menatapa punggungnya yang perlahan menghilang. Dadanya sesak. Ingin sekali Bri menepis rasa kagum padanya, kagum dengan kegigihannya mempertahankan hubungan mereka di tengah-tengah banyak pertentangan yang ada.
Ternyata seperti ini rasanya diperjuangkan? Ada rasa hangat yang nyaris membuat pertahanan Brie hampir luluh, namun ia sangat sadar dengan impact kedepannya. Akan ada banyak hati yang terluka juga dengan hubungan mereka kalau diteruskan.
Ia membenci Nathan..
Tidak... Ia membenci dirinya sendiri saat ini. Karena masih berharap , di saat ia tahu harus melepaskan. Rasa sakit itu memuncak, bukan karena Nathan, tapi karena belenggu yang tak bisa ia lepas.
***
"Kalau lo nggak pengin berangkat, nggak usah berangkat, Kak..." seru Rayyan dari arah belakang Britania. Ia sedang menikmati kopi dan roti panggang yang Rayyan buatkan, dan itu sudah memakan waktu lebih dari setengah jam. Biasanya ia akan melahap roti itu sambil buru-buru untuk turun ke basement dan segera berangkat dengan semangat.
"Heii, kalau gue nggak kerja kasihan Kalian nanti, gimana dengan kebutuhan dan sekolah kalian. Gue udah selesai sama Nathan jadi nggak ada masalah lagi sekarang, Ray... Lo berangkat kerja sana, nanti kesiangan," Sahut Bri yakin, ia sudah dalam mode normal lagi.
Rayyan bangkit dari kursi setelah sepotong sandwich di tangannya habis. Tak lupa dia mengecup kening Bri sekilas. "Semangatt... Ingat, kalau ada apa-apa kabarin yaaa?"
Aku profesional, oke! Selama ini aku bekerja dengan sangat baik, hanya belakangan ini saja pikiranku terganggu oleh Nathan. Sekarang pria itu sudah berhenti merengek, mungkin sudah menyadari keputusannya mendekatiku itu salah. So, semuanya sudah kembali normal.
Tarik napas, angkat dagu, let's see siapa yang sudah gagal menghancurkan mental kita!
Semangatt, Britaniaaaa!!!
"Cantik bangett..." Suara rendah nan merdu itu cukup untuk mengagetkan Brii, iblis jelita itu baru saja menekan tombol lift. Nathan berdiri tepat di belakangnya. Matanya memang tidak menatap Bri, tapi ia tahu pasti kalau kalimat pujiannya tadi ditujukan untuknya. Karena hanya ada mereka berdua saja di sana.
Britania tidak punya pilihan lain saat ini, ingin sekali ia mencaci jantungnya yang masih saja terus berdebar kencang hanya karena mendengar suara Nathan tadi. Inilah kenapa ia tidak mau jatuh cinta sejak dulu, ribet! Mati-matian ia tak menghiraukan pria itu dan bergegas masuk lift setelah pintu terbuka, untungnya Nathan menunggu lift yang berbeda.
____________
Huwaaa... Seharian di kantor ini rasanya sangat menjengkelkan. Britania sudah berhasil memikirkan banyak cara, berusaha untuk menghindari Nathan, ehh dia juga tak kalah keras usahanya untuk bisa bertemu dengan Brii.
Sebagai seorang CEO, tidaklah sulit bagi Nathan untuk menggunakan berbagai alasan hanya demi membuat Britania datang ke ruangannya.
"Ndaaaaaaaa.... Bisaa nggak sih bos kamuu jauhin dikit dari Akuuuu...." teriak Bri kesal, pada Brianda yang hanya meringis berdiri di hadapan meja kerjanya. Nathan memang tidak mungkin asal langsung masuk saja ke ruangan Britania setelah kejadian hari itu, tapi hari ini dia sudah lebih dari lima kali menyuruh Brianda untuk memberinya tugas konyol, yang selalu berakhir membuat Britania berhubungan dengannya terus-menerus seharian ini.
Ya perkara tandatangan berkas, surat kontrak sampai penandatanganan karyawan yang lembur saja, NAthan harus memanggil Bri. Padahal itu sama sekali tidak berhubungan dengannya.
"Maaf, Brii, gue nggak bisa bantu soal itu. Gue belum punya kerjaan lain, udah dehh, tapi suerr kali ini bukan gue mau kasih kerjaan buat lo tapi gue diminta kasih ini sama Lo..." Dengan tersenyum manis, Brianda menyodorkan paperbag kecil yang entah isinya apa.
Next...