Maria bereinkarnasi kembali setelah kematiannya yang tragis oleh tunangannya yang mengkhianati dirinya, dia dieksekusi di kamp konsentrasi milik Belanda.
Tragisnya tunangannya bekerjasama dengan sepupunya yang membuatnya mati sengsara.
Mampukah Maria membalaskan dendamnya ataukah dia sama tragisnya mati seperti sebelumnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 TOLONG, JANGAN BUAT AKU PUSING !
Maria tersentak dan terduduk di kursi, dia kembali ke ruangan kerja Rexton.
Nalurinya berkata bahwa kejadian ini diluar akal pikiran sehatnya, tidak nyata, tidak normal dan dia harus secepatnya pulih.
Maria beranjak berdiri sembari berucap lembut.
"Saya harus ke psikiater...", ucapnya.
Maria segera berjalan cepat menuju keluar ruangan kerja milik Rexton, dia berlari tergesa-gesa mencari Rexton.
"Tap... Tap... Tap... !" gema langkah kakinya terdengar sepanjang koridor gedung kantor.
Maria mencari-cari ruangan lainnya dimana Rexton mungkin ada disana.
"Dimana ruangan itu, aku harus mencari kemana ?" tanyanya kebingungan.
Maria terus melangkahkan kakinya sepanjang jalan koridor yang sepi sambil mencari-cari keberadaan Rexton.
Tepat di salah satu ruangan gedung yang terletak berhadapan dengan jendela besar, Maria mencoba mencari Rexton di ruangan itu.
"Rexton, kau didalam ?" tanya Maria sembari mendorong pintu ruangan di depannya.
Pintu kayu antik itu terbuka cepat, dia segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu.
Namun dia tidak melihat siapa-siapa diruangan ini, kosong dan sunyi, Maria segera melangkah keluar ruangan dengan langkah cepat, tapi dia mendengar seseorang menyapanya dari belakang.
"Maria...", ucap suara yang tak asing ditelinganya kini.
Maria segera memalingkan muka ke arah suara yang berasal dari arah belakangnya, dia tersentak kaget ketika melihat siapa orang yang bersama dengannya.
"Rexton...", ucapnya tertegun.
Maria semakin tak mengerti sebab dia tidak melihat Rexton disini, dan tidak mungkin laki-laki itu tiba-tiba hadir dengan sendirinya sedangkan letak ruangan ini sangat lapang, tidak ada tempat lainnya.
"Ba-gaimana kau tiba-tiba hadir disini ? Tidak mungkin kan kalau kau muncul secara tiba-tiba ?" tanya Maria tergagap.
Rexton mengerutkan keningnya, seperti memikirkan sesuatu yang sangat serius dengan ucapan Maria lalu menjawab.
"Aku dari ruangan disana !" jawabnya.
Rexton mengarahkan padangannya ke arah ruangan lain yang ada disini.
Maria menengok ke arah ruangan yang ditunjuk oleh Rexton dan dia memang melihat ada ruangan lainnya, dia menarik nafas lega karena berpikir kalau kali ini, dia masih normal.
"Yah, syukurlah, kukira aku tidak normal lagi...", ucapnya.
"Apa ?" tanya Rexton.
"Tidak apa-apa, bukan masalah penting, dan ini baik-baik saja, normal", sahut Maria.
"Maria, kau baik-baik saja atau kau merasa sedikit lelah karena perjalanan ke kota", kata Rexton.
"Ya, aku baik baik saja, dan aku tidak lelah", kata Maria.
"Kenapa kau ada disini ?" tanya Rexton.
"Oh, yah...", sahut Maria agak canggung lalu menundukkan pandangannya. "Aku mencarimu..."
"Mencariku, bukannya aku sudah katakan bahwa aku akan segera kembali padamu dan tunggu lah aku sebentar saja", sahut Rexton.
Maria mengadahkan pandangannya ke arah Rexton lalu menatapnya lama.
Rexton hanya bereaksi dengan menaikkan dua alisnya ke atas dan memilih diam, menunggu kelanjutan ucapan Maria.
Maria memalingkan muka ke arah lainnya, diam sembari berpikir serius.
"Aku butuh seorang psikiater...", ucapnya lalu menatap ke arah Rexton, dengan tatapan tegas.
Sejenak suasana diruangan itu terasa dingin, timbul ketegangan diantara mereka berdua karena sama-sama terdiam.
Rexton bahkan hampir tak berkedip sedikitpun dan tertegun lalu tersentak sadar.
"Mmm..., tunggu sebentar, Maria... !" ucapnya. "Sebaiknya kita diskusikan hal ini lebih bijaksana sebab aku tidak bisa tiba-tiba memutuskan sesuatu dengan terburu-buru."
Rexton melangkahkan kakinya ke arah meja bundar dari marmer asli, dengan hiasan kaki antik dari kayu ulin yang diletakkan di area tengah-tengah ruangan.
Diletakkannya lembaran kertas yang dia pegang ke atas meja marmer, berdiri diam sembari berpikir serius.
Maria tidak sabaran sehingga dia menghampiri Rexton.
"Tolong lah aku, bantu aku ke psikiater, aku butuh membuatku tetap waras, Rexton", ucapnya.
Rexton memalingkan muka, dipandanginya Maria yang berdiri disampingnya.
"Psikiater ?" tanya Rexton sembari mengernyitkan dahinya.
Maria mengangguk pelan sembari menatap Rexton.
"Apa yang kau rasakan sebenarnya pada dirimu ?" tanya Rexton.
"Aku merasa kalau aku sudah tak normal lagi, dan semestinya aku harus menyembuhkan kewarasanku ini", sahut Maria.
"Waras ?!" Rexton ternganga kebingungan, membisu seribu bahasa namun pandangannya sangat cemas.
"Sepertinya aku sudah tidak normal lagi, dan aku membutuhkan jasa seorang psikiater", kata Maria.
Rexton menundukkan pandangannya, diperhatikannya lembaran kertas yang ada di atas meja.
Tampaknya dia mulai melamun, memikirkan setiap kata-kata Maria padanya.
Psikiater..., tidak waras..., tidak normal..., aku tidak sehat...
Rangkaian kata yang menghantam kepala Rexton bagaikan pukulan palu yang bertubi-tubi datangnya sehingga dia sendiri tak mengerti harus berbuat apa saat ini.
Rexton menoleh kembali ke arah Maria, dipandanginya perempuan cantik itu dengan seksama.
"Maria, apa kau benar-benar butuh psikiater, tapi terus terang saja aku tidak tahu dimana aku harus pergi mencarinya", kata Rexton.
"Tapi aku sangat membutuhkannya, seharusnya aku datang ke seorang psikiater bukan malah bercerita padamu", kata Maria.
"Jangan katakan bahwa aku tidak memperdulikanmu, aku sangat senang karena kau mau mencurahkan isi hatimu padaku", kata Rexton.
"Aku tahu itu, tapi aku datang ke orang yang salah dan seharusnya aku menemui psikiater yang bisa membantuku", sahut Maria.
"Kau tidak salah, dan kau sudah benar, yang kau lakukan ini sudah tepat, aku bisa menjadi tempatmu mencurahkan isi hatimu", kata Rexton.
"Tapi kau tidak mempercayaiku...", sahut Maria.
Keduanya saling menatap serius, terdiam tertegun lalu sama-sama membuang muka ke arah lainnya.
Rexton menghela nafas panjang dan begitu pula Maria.
"Namun...", keduanya sama-sama bicara lalu diam.
Pandangan mereka kembali beradu satu sama lainnya.
"Aku...", ucap mereka kompak.
Rexton tersenyum simpul saat dia dan Maria mendadak canggung.
"Baiklah...", sahutnya.
...***...
Rexton berdiri diam sembari menghadap lurus ke arah jendela di ruangan ini.
Raut wajahnya berubah murung karena kata-kata Maria kepadanya dan dia merasa bahwa ini suatu kekeliruan.
Terdengar suara pintu diketuk dari luar ruangan.
Rexton berpaling sebentar ke arah pintu yang tertutup itu lalu berkata dalam logat Inggrisnya yang kental.
"Masuklah !" perintahnya.
Pintu terbuka cepat lalu masuk Paul ke dalam ruangan dimana Rexton berada saat ini.
Paul memberi hormat pada Rexton kemudian dibalas oleh Rexton, dengan anggukkan kepala ringan.
"Ada apa mencariku ?" tanya Rexton.
"Ada dua orang ingin bertemu dengan anda, mereka ada diluar gedung", sahut Paul.
"Apa mereka yang kita temui di tengah perjalanan ?" tanya Rexton.
"Ya, benar...", sahut Paul sambil menganggukkan kepalanya.
"Aku sudah menyuruh Kai untuk mengurusnya, suruh dua orang itu segera menemui Kai", kata Rexton.
"Oh, baik, tuan", sahut Paul sambil bergegas pergi namun Rexton lantas memanggil Paul sehingga dia menghentikan langkah kakinya.
Paul menolehkan pandangannya ke arah Rexton yang masih berdiri di dekat jendela berlapis.
"Ya, tuan...", ucapnya sopan.
"Apakah tahu dimana aku harus menemui seorang psikiater ?" tanya Rexton.
Paul terdiam sembari berkedip pelan, tercengang dan tak tahu harus berkata apa namun pikirannya bekerja cepat.
"Setahu saya, ada orang pintar yang bisa melihat secara penerawangan, mungkin kita bisa menemuinya", kata Paul.
"Orang pintar ?'' tanya Rexton agak terkejut.
"Ya, benar, orang pintar yang bisa membaca pikiran dan meramalkan nasib, hanya itu yang saya ketahui", sahut Paul.
"Bukan, bukan seperti itu yang aku maksudkan, yang aku inginkan adalah orang pintar menangani kejiwaan", ucap Rexton.
"Kejiwaan ? Kalau begitu anda harus mengunjungi rumah sakit jiwa karena disana banyak ahli yang menangani orang-orang tidak waras, mungkin anda bisa bertanya kesana, tuan", sahut Paul.
Rexton tersentak kaget, semakin bingung harus mengambil pilihan tepat bagi Maria namun dia masih memikirkan hal ini dengan serius sebab baginya soal ini adalah masalah rumit.
"Baiklah, kita akan datangi rumah sakit jiwa untuk menanyakan psikiater disana'', ucapnya serius.
"Siap, tuan Rexton, kapanpun juga saya akan siap mengantarkan anda kemanapun anda pergi", sahut Paul.