“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 25
“Nona Arum, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda. Katanya, ada keperluan mendesak.” Suara Wagiman dari balik pintu terdengar sopan, tapi sarat kegelisahan.
Arum terdiam sejenak, mengernyit heran.
‘Tamu?’ batinnya heran. ‘Tumben?’
Arum segera berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Siapa tamunya, Pak Giman?” tanya Arum.
“Kedua orang tua Anda, Nona Arum,” jawab Wagiman.
Jawaban dari ajudan Juragan Karta sontak membuat dada Arum bergemuruh.
‘Kedua orang tuaku?’ Mereka masih ingat dengan diri ini?’ Arum membatin seraya mengepalkan kedua jemari.
Wajah Sarinem dan Pawiro langsung terbayang di pelupuk mata Arum. Wajah-wajah yang dulu ia panggil "Bapak" dan "Ibu", namun juga wajah-wajah yang menukar masa depannya dengan secarik kertas hutang dan segepok koin upah menjual anak kandung sendiri.
Arum menatap sekilas ke arah Juragan Karta yang masih terkulai tak sadarkan diri. Ia menarik napas panjang, berusaha menetralkan ekspresi wajah.
“Baik, Pak Giman,” sahut Arum pelan. “Suruh mereka tunggu di Paviliun. Saya akan datang ... sebentar lagi.”
Wagiman menundukkan kepala. “Baik, Nona.”
Langkah Wagiman perlahan mulai menjauh.
“Untuk apa mereka kemari? Apa kini mereka datang membawa penyesalan? Permintaan maaf?” gumam Arum pelan. “Atau ... meminta belas kasih?”
.
.
.
“Ckck, ayu tenan ya kamu sekarang, Rum. Sudah nggak keliatan kayak anak orang susah,” celetuk Pawiro, ayah kandung Arum, sambil menyipitkan mata menilai penampilan putrinya dari ujung kepala sampai kaki.
Arum tak menjawab, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sedangkan Sarinem, ibu kandungnya, hanya duduk diam di sampingnya, sesekali menyapu rambut kusutnya ke belakang telinga. Wajahnya tampak canggung, seperti ingin bicara namun tak tau harus mulai dari mana. Namun, Arum hafal betul gelagat sang ibu.
Gundik perawan itu menghela napas kasar. “Ada apa, Bu? Lagi perlu pakai uang?”
Sarinem tersentak mendengar pertanyaan frontal dari sang putri. Suaranya tercekat di tenggorokan. Matanya membelalak, tapi tak sanggup menatap balik mata putrinya yang kini begitu tajam—dingin seperti mata ular yang menunggu waktu menyergap.
“R-Rum ... kok kamu bertanya nya seperti itu? Jangan bicara begitu, Nak. Kami itu datang karena ... karena rindu. Bapakmu ini udah lama nggak lihat kamu,” ujar Sarinem gugup, mencoba meredakan ketegangan, walau nadanya terdengar tak meyakinkan.
Pawiro justru tertawa kecil, menyikut lengan istrinya. “Sudah lah, Nem. Nggak usah sok-sokan rindu-rindu segala. Kita jauh-jauh datang kemari, ya karena emang butuh bantuannya. Lah wong sekarang anak kita ini sudah jadi orang penting. Punya kuasa, punya Juragan Karta di tangannya, dan pastinya—sekarang punya banyak duit.”
Pawiro menoleh ke Arum dan tersenyum lebar—kemudian lanjut berbicara. “Iya, to, Rum? Sekali-sekali bantu dong, Bapak sama Ibumu ini. Wong kita ini orang tuamu.”
Arum memutar bola matanya malas. Ia lalu berdiri, berjalan ke arah jendela dan membuka tirainya. Sinar matahari pagi menyapu wajahnya, membuat sorot matanya makin terlihat tajam dan penuh perhitungan.
“Orang tua?” gumamnya lirih. “Maksudnya ... orang tua yang tega menjual anaknya sendiri, ‘kan?”
Ia menoleh perlahan ke arah keduanya. Senyumnya begitu samar, nyaris tak terbaca.
Pawiro mengerutkan kening sambil mengibaskan ujung jari. “Halah, Rum, jangan bawa-bawa masa lalu lah. Itu kan udah lewat. Toh sekarang kamu—”
“Masa lalu, ya?” potong Arum cepat, napasnya berat. “Bahkan kejadian itu belum genap satu bulan, dan aku harus menganggap malapetaka yang aku alami itu hanya sekedar masa lalu yang sudah lewat? Tidakkah ucapan Bapak barusan terlalu kejam, Pak?”
“Tapi sekarang, kamu kan udah hidup enak. Berkat aku juga toh?” Telunjuk Pawiro mengacung ke arah Arum.
“Enak?” Arum terkekeh pelan—tapi bukan karena lucu. Lebih terdengar seperti suara retakan hati yang dipaksakan untuk tetap tenang.
“Ya, sangat enak hidupku sekarang ini, Pak. Setiap hari bangun pagi dengan napas tertahan, tidur malam sambil berharap tak dibangunkan oleh mimpi buruk yang membuat tubuh ini gemetar. Dari pagi membuka mata, sampai memejamkan mata di malam hari—nyawa ini selalu jadi taruhan!”
Ia menatap Pawiro tajam. “Kalian pikir aku hidup di istana megah? Aku hidup di Neraka, Pak! Dan kalian lah yang mengirimku kemari!”
Arum mendekat perlahan. Wajahnya nyaris sejajar dengan sang ayah.
“Aku sampai nggak ingat, kapan terakhir kalinya aku tertidur nyenyak!” suara Arum mulai bergetar, napasnya naik turun.
Pawiro kembali membuka mulut, hendak menjawab. Namun, Sarinem buru-buru menyikutnya lengannya.
“Rum, sudah, Rum. Tenang dulu,” kata Sarinem lirih.
Arum mendongakkan kepalanya, menatap lurus ke langit-langit. Kemudian, ia menatap lekat manik sang ibu yang bergetar.
“Aku sedang sibuk. Lebih baik, katakan saja—ada keperluan apa sebenarnya kalian kemari?” Arum meluruhkan bokongnya di atas kursi jati ukir, melipat kedua tangan di depan dada—sambil menatap jengah.
Sarinem mulai meneteskan air mata. “Kami ... kami cuma ingin bicara baik-baik, Nak. Kami sedang ... membutuhkan uang untuk adik-adikmu makan—sebenarnya sejak minggu lalu. Tapi, kebetulan minggu kemarin, tetangga sudi meminjamkan. Dan hari ini ... sudah waktunya mengembalikan—dua kali lipat.”
“Dua kali lipat?” kening Arum berkerut.
Sarinem mengangguk gugup. “Mereka tau kalau kamu terpilih menjadi gundik Juragan, makanya—mereka sudi meminjamkan dengan cara ... ya—itu, mengambil sedikit keuntungan.”
Arum mendengus. “Berapa totalnya?”
“Yang dipinjam sepuluh Rupiah, yang harus dikembalikan—jadinya dua puluh Rupiah,” jawab Sarinem.
“Dua puluh Rupiah?” Arum memijit keningnya sendiri.
“Itu yang harus dikembalikan,” sela Pawiro. “Lalu, tambahkan lagi dua puluh Rupiah untuk biaya makan adik-adikmu selama seminggu.”
Arum tertawa kecil. Tawa muak yang terdengar semakin menjadi-jadi. “Jadi totalnya empat puluh Rupiah, ya?”
Pawiro mengangguk mantap. “Iya. Cuma empat puluh, Rum. Kecil lah buat orang sepertimu sekarang. Ya, kalau memang nggak punya uang—cincin di jarimu itu juga ndakpapa. Sepertinya mahal.”
Tatapannya menancap tajam pada cincin kuno berhias batu kecubung ungu yang melingkar manis di jari manis Arum—pemberian dari Juragan Karta.
“Cincin ini?” Arum memamerkan jemarinya, lalu bergumam, “semakin hari, Bapak semakin serakah dan terlihat sangat tidak berguna, ya?”
“Apa katamu?!” Pawiro menggeram, memandangi Arum dengan sangat tajam. Namun, putrinya tampak enggan meladeni.
Arum lekas berdiri, membuka lemari kecil di sudut ruangan. Mengambil beberapa uang koin—lalu meletakkan dengan kasar di atas meja.
“Itu empat puluh Rupiah, seperti yang kalian mau. Tapi dengar baik-baik, ini terakhir kalinya aku menjadi sapi perah kalian. Kalau kalian berani datang lagi ke rumah ini—aku akan memastikan, kalian tak akan bisa keluar dalam keadaan utuh.”
“ARUM!” bentak Sarinem. “Tega sekali kamu berbicara seperti itu kepada kedua orang tuamu, Nak!”
Pawiro sudah berkacak pinggang. “Dasar anak tak tau diuntung. Sudah dirawat hingga besar, malah hendak mengikuti jejak si Durhaka Sampuraga! Kau itu masih ada hutang bakti dengan kami! Sudah kewajiban mu untuk membayarnya—dengan menanggung biaya hidup kami, terutama biaya hidup semua adik-adikmu!”
“Kalian yang terus mendesah setiap malam sampai terus-terusan beranak pinak, kenapa pula aku yang harus menanggung semuanya?!” sinis Arum.
PLAK!
*
*
*
siapa pula yg menapar ya
yaaa blm 1 bulan udh di bilang masa llu enak aja. g tau arum mau mati kannn
klo arum amti kalian mau apa coba
sakita apa kk mertua kk ini
yg sabar kk
semoga di lancarkan operasi nya dan sehat slalu🤲
ditunggu saja jawabannya di update berikut nya😁
love author😘