Cha Yuri berkerja sebagai perkerja paruh waktu pada sebuah minimarket.
menjalani hidup yang rumit dan melelahkan membuatnya frustasi .
Namun Suatu Hari dia bertransmigrasi ke Dunia Isekai dengan bantuan sistem dia mencoba untuk menjalani setiap misi yang diberikan.
Sampai pada akhirnya dia tanpa sengaja mengubah plot nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir Kematian
Cahaya fajar mengintip malu-malu dari balik awan. Udara dingin mengusap ubin paviliun seperti peringatan halus: jangan pergi.
Liangyi berdiri sendiri di balkon barak tim ekspedisi. Rambutnya belum ia ikat, dan matanya... tidak setajam biasanya.
Ia menggigit apel tanpa selera.
Dari kejauhan, terdengar suara langkah ringan.
“Kamu selalu bangun lebih awal dari siapa pun,” suara itu milik Yu Zhan.
Liangyi menoleh, tapi tidak menjawab.
Yu Zhan berdiri di sampingnya, tangan menyodorkan kantung air kecil. “Buat nanti di hutan. Air suci, katanya bisa netralin gangguan sihir.”
“Kamu percaya itu?” tanya Liangyi datar.
“Aku percaya kamu lebih mungkin bertahan kalau kamu punya banyak cadangan akal.
Liangyi mengangkat alis. “Terdengar seperti kamu pikir aku payah.”
Yu Zhan tersenyum. “Justru sebaliknya. Kamu paling bisa hidup di tempat yang bahkan dewa pun ogah mampir.”
Mereka terdiam.
Di kejauhan, Xuanwei berjalan perlahan menuju titik kumpul. Di belakangnya, Lingyu sedang memeriksa ulang pelindung sihirnya.
Yu Zhan tiba-tiba berkata, pelan tapi jelas:
“Liangyi.”
“Hm?”
“Kalau aku... gak balik dari sana. Kau izinkan aku jadi bagian kecil dari ingatanmu?”
Liangyi diam.
“Bukan sebagai pahlawan,” lanjut Yu Zhan. “Tapi sebagai... orang bodoh yang pernah percaya kamu layak diselamatkan.”
Liangyi melirik, ekspresinya sulit ditebak.
“Kenapa kamu ngomong seolah kamu bakal mati?”
Yu Zhan tersenyum.
“Karena kamu tipe orang yang gak percaya pada orang yang hidup terlalu lama.”
Liangyi menatap mata Yu Zhan.
Seketika ia membenci senyum itu.
Karena sekarang ia tahu... ia tak akan bisa melupakannya.
Malam harinya didepan lokasi yang disebutkan misi.
Suara teriakan terdengar seperti gema yang tercecer di antara pohon-pohon besar Hutan Larangan.
Liangyi berlari. Nafasnya tersendat, dada terasa sesak. Kabut di sekitarnya tebal seperti daging putih yang belum matang, bernafas perlahan... seolah hidup.
“Yu Zhan! Di mana kau?!”
Tak ada jawaban. Hanya suara denting logam, dan bunyi sihir meledak di kejauhan. Cahaya biru kehijauan menyala sejenak di balik kabut—seperti nyala terakhir dari obor yang ditelan angin malam.
Xuanwei berteriak dari sisi lain hutan, “Liangyi, tetap di jalur! Dia—!”
Tapi Liangyi sudah berbelok.
Jalan di hadapannya berubah. Tanah merekah perlahan. Akar-akar pohon berdesir, berbisik seperti lidah mahluk yang melilit pikirannya.
Dan di sana, di tengah medan ilusi dan bayangan, Liangyi melihatnya.
Yu Zhan.
Terbaring di tanah. Tersenyum.
Satu tangan mencengkeram pedangnya yang telah patah, dan dada kirinya robek dari serangan taring yang bahkan sihir pelindung pun tak bisa cegah. Di sekitarnya, jejak sihir pelindung yang terbakar membentuk segel sementara.
Ia sudah melindungi yang lain—dengan mengorbankan dirinya sendiri.
“Kenapa kamu... kenapa kamu gak kabur?!” Liangyi mendekat, lututnya ambruk di tanah basah.
Yu Zhan tersenyum, meski wajahnya pucat.
“Kalau aku kabur... kamu gak akan percaya lagi... pada siapa pun.”
Liangyi menahan napas. Tangannya gemetar.
“Kamu bodoh... siapa yang suruh kamu jadi pahlawan?”
Yu Zhan terkekeh pelan, lalu batuk darah.
“Kalau kamu selamat, mungkin kamu bisa... jadi pahlawan pengganti.”
“Berhenti bicara! Aku bisa—aku bisa sembuhkan kamu. Aku punya... aku punya sihir cadangan!”
“Kamu tahu... itu gak cukup...”
“Aku gak mau dengar! Aku gak izinkan kamu—”
Yu Zhan mengangkat tangan terakhir kalinya. Jari-jarinya menyentuh pipi Liangyi. Hangat, lalu mulai dingin.
“Maaf... aku gak bisa ikut kamu sampai akhir.”
“...Dasar brengsek.”
Liangyi memeluknya. Dunia berhenti. Kabut mereda, seolah hutan pun berkabung.
Lalu suara langkah mendekat.
Xuanwei dan Lingyu muncul dari sela kabut. Mereka melihat tubuh Yu Zhan... dan Liangyi yang memeluknya dalam diam.
Xuanwei menunduk.
“Kita harus pergi. Makhluk itu belum benar-benar mati.”
Liangyi bangkit perlahan. Wajahnya datar, tapi mata merahnya mengabur.
“Kita bunuh itu,” bisiknya.
“Apapun itu. Kita hancurkan.”
Rasa amarah dan kecewa menggerogoti dirinya sendiri—ia gagal menyelamatkan Yu Zan dari takdir kematian, padahal akhir itu telah ia ketahui sebelumnya.
Yu Zan seharusnya meninggal di bab tiga puluh, dan penyebabnya adalah tuntutan fitnah yang membuatnya minum racun... bukan pertarungan dengan monster penjaga hutan ini.
Pikiran dan hatinya kalut. Batin dan kekuatan jiwanya berkecamuk tak beraturan.
Dengan gigih, ia terus menebas dan menusuk para monster, tanpa mengenal lelah atau gentar.
Tak ada ekspresi letih di wajahnya—hanya keringat yang mengalir deras, menjadi saksi bisu atas pertumpahan perang antara Liangyi dan gerombolan kegelapan yang tak berujung.