Milana, si gadis berparas cantik dengan bibir plum itu mampu membuat Rayn jatuh cinta pada pandangan pertama pada saat masa kuliah. Namun, tak cukup berani menyatakan perasaannya karena sebuah alasan. Hanya diam-diam perhatian dan peduli. Hingga suatu hari tersebar kabar bahwa Milana resmi menjadi kekasih dari teman dekat Rayn. Erik.
Setelah hampir dua tahun Rayn tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar Milana, tiba-tiba gadis itu muncul. Melamar pekerjaan di restoran miliknya.
Masa lalu yang datang mengetuk kembali, membuat Rayn yang selama ini yakin sudah melupakan sang gadis, kini mulai bimbang. Sisi egois dalam dirinya muncul. Ia masih peduli. Namun, situasi menjadi rumit saat Erik mencoba meraih hati Milana lagi.
Di antara rasa lama yang kembali tumbuh dan pertemanan yang mulai diuji. Bagaimana Rayn akan bersikap? Apakah ia akan mengikuti sisi dirinya yang egois? Atau harus kembali menyerah seperti dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meridian Barat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28 (Kecewa)
.
SELAMAT MEMBACA
.
.
Rintik gerimis sore itu masih belum pergi. Bahkan turun semakin lebat.
Rayn dan Milana masih duduk di kursi teras kos Milana. Pemuda itu masih berusaha agar Milana memikirkan kembali untuk resign dari restoran.
"Milan ... aku tahu kamu pasti masih kesal soal kemarin, tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan lagi untuk tetap bekerja di restoran." Rayn bicara dengan nada pelan dan lembut.
Milana menyimpan ponsel yang sedari tadi ia pegang, ke dalam saku celana. “Kesal bukan kata yang tepat, Mas. Aku lebih ke … kecewa.”
Rayn menunduk. “Aku ... minta maaf. Aku tidak memberimu kesempatan menjelaskan semuanya, tapi aku benar-benar tidak menganggapmu sebagai pembuat masalah. Saat itu aku hanya ingin kamu bertanggung jawab dengan pekerjaanmu."
Milana menghela napas. "Tapi harusnya, Mas Rayn memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Lagian ... aku juga pasti minta maaf sebelum disuruh. Ya ... Meski seperti yang, Mas ketahui, itu bukan kesalahanku."
"Aku tahu, Milan. Aku sudah liat cctv dan–"
Rayn belum menyelesaikan ucapannya, Milana menyahut cepat, "Pada dasarnya, Mas Rayn memang tidak mempercayaiku." Milana menyandarkan tubuh pada sandaran kursi yang ia duduki. Sorot matanya menatap Rayn dengan dingin. "Mas, baru percaya setelah lihat rekaman cctv," katanya lagi dengan nada datar. "Bukan setelah dengar aku ... Bahkan memberiku kesempatan menjelaskan saja, tidak."
Rayn tersenyum getir. Sadar ia sudah membuat gadis itu kecewa. "Sekali lagi ... Aku minta maaf, Milan ... Aku tahu kamu kecewa, tapi ... bisakah kau jangan resign? Tetaplah bekerja di restoran." Matanya menatap Milana dengan penuh harap.
"Aku memang sudah memaafkan, Mas Rayn, tapi aku tidak akan kembali bekerja di sana," katanya dengan tegas, tanpa emosi.
Rayn menghela napas berat. "Atau ... Kau mau pindah ke dapur lagi?"
Milana berdecak. "Aku tidak bisa bekerja di dapur, Mas ... Aku akui saat di dapur, masalah yang timbul memang salahku. Intinya ... Aku tidak bisa bekerja di bagian dapur. Bukannya beres, malah jadi nyusahin orang lain kalau aku di bagian dapur." Gadis itu sadar akan kesalahannya saat bekerja di bagian dapur. Jadi, ia tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan kembali bekerja di bagian dapur. "Dari awal aku memang salah saat memutuskan mengambil posisi asisten koki itu."
"Bagaimana kalau pekerjaan lain? Aku bisa membantu mencarikan di beberapa tempat temanku ... Ada temanku yang punya toko baju, toko bunga juga ada. Aku bisa meminta mereka mencarikan posisi kosong untukmu." Rayn mencoba menawarkan pilihan lain. Sebenarnya ia ingin Milana tetap bekerja di restoran agar gadis itu tetap dalam jangkauannya, tetapi ia tahu bahwa itu tidak mungkin.
Milana menatap datar Rayn dan berkata, "Nggak usah, Mas. Aku nggak mau merepotkan orang lain lagi. Sudah cukup aku merepotkan Mas Adit, Kak Firsha, dan ya ... Mas Rayn juga." Dengan suara lembut, tetapi tegas.
Hening menyusup di antara mereka. Rayn menatap lantai. Menyesal karena dia sudah membuat gadis itu kecewa. Ada sesak yang tak bisa dijelaskan.
Matanya beralih menatap tangan Milana yang masih sedikit tampak bekas merah akibat tersiram kuah kari kemarin.
"Tanganmu tidak diobati?"
Milana melirik tangannya sendiri. Refleks menarik lengan bajunya menutupi bekas luka. Ia tersenyum sekilas. "Ini tidak terlalu sakit, kok. Kemarin sudah aku kompres dengan air dingin."
"Tetap saja harus diobati. Itu merah karena tersiram kuah panas. Aku akan ambil salep untuk luka bakar di mobil."
Rayn baru saja berdiri dan akan melangkah menuju mobilnya, tetapi urung saat Milana berujar, "Nggak usah ... Kuahnya tidak terlalu panas. Aku nggak apa-apa ... Dan sudah aku obati sendiri kemarin." Ia menolak secara halus.
Jawaban itu membuat Rayn diam. Tangannya mengepal samar.
Setelah hening untuk beberapa detik. Milana melirik Rayn. "Mas Rayn, nggak mau pulang? Ini sudah hampir malam, ngomong-ngomong," celetuknya.
Rayn mendongak cepat. Matanya mencoba mengamati ekspresi wajah Milana. "Kau mengusirku?"
Milana menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. Senyum yang menunjukkan ia lelah sebagai respon. "Bukan begitu maksudku," katanya pelan.
'Ya ... memang itu sih sebenarnya maksudku,' katanya dalam hati. Dia Memang ingin pemuda itu segera pulang, bukan karena benci. Hanya saja, ia masih kecewa.
Rayn menghela napas pelan, seolah menahan sesuatu yang ingin diucapkan. Wajahnya datar, tetapi sorot matanya jelas terlihat ada kekecewaan.
Rayn melirik gadis itu sebentar. 'Mungkin sebaiknya aku pulang saja, daripada Milana semakin sebal padaku.' Kemudian perlahan melangkah pergi dari teras kos Milana.
Baru beberapa langkah, Rayn menoleh kembali ke arah Milana seraya berujar, "Kalau suatu saat kamu berubah pikiran dan ingin kembali … Restoran itu tetap terbuka untukmu." Kemudian melangkah pergi menuju mobilnya ditengah rintik gerimis dan langit kelabu ketika hari merayap malam.
Setelah mobil Rayn pergi, Milana berdiri. Melirik salep yang ditinggalkan Rayn untuk beberapa detik. Membawa pandangan ke arah jalanan depan kos yang tampak basah. Memantulkan cahaya redup dari lampu-lampu jalan yang mulai menyala satu per satu. Aroma tanah basah dan daun yang terkena hujan.
Milana memejamkan mata sebentar. Merasa ada sesuatu yang hilang. Bukan barang. Seperti perasaan yang menggantung dan mengganjal. Namun, ia juga tidak tahu apa alasannya.
'Kenapa rasanya aku seperti baru kehilangan sesuatu?'
...****************...
Gerimis belum juga reda saat mobil Rayn melaju pelan di jalanan kota yang mulai lengang. Seolah ikut menyelaraskan pikirannya yang kusut. Lampu jalan memantul di aspal yang basah karena hujan.
Rayn menepikan mobil ke sisi jalan. Mematikan mesin, lalu menyandarkan kepalanya pada kemudi mobil.
"Kenapa aku sebodoh itu ... Harusnya aku beri kesempatan Milana untuk menjelaskan dan mendengarnya lebih dulu ...." Rayn Mengusap wajahnya dengan kasar. Menahan perasaan yang sejak tadi menekan dadanya.
"Bagaimana bisa aku bersikap begitu padanya ... pada orang yang selalu aku perhatikan diam-diam sejak dulu ... Di saat dia sudah sering berada di sekitarku ... aku malah membuatnya menjauh lagi." Rayn tersenyum getir.
Rayn kembali menatap ke depan. Gerimis masih setia turun. Rintiknya lembut, tetapi terasa membawa nyeri yang tajam. Pemuda itu belum juga bisa menggerakkan mobilnya. Bukan karena jalanan macet, tetapi karena hatinya masih diselimuti oleh rasa bersalah yang belum tahu arah pulang.
'Kau pasti marah, Milan ... tapi lebih dari itu, kau kecewa padaku.'
.
.
.
.
Bersambung....
Milana. ,gadis SPG seperti diriku/Hey/