Lina dokter muda dari dunia modern, sang jenius harus meninggal karena kecelakaan tunggal, awalnya, tapi yang sebenarnya kecelakaan itu terjadi karena rem mobil milik Lina sudah di rusah oleh sang sahabat yang iri atas kesuksesan dan kepintaran Lina yang di angkat menjadi profesor muda.
Tapi bukanya kelahiran ia justru pergi kedunia lain menjadi putri kesayangan kaisar, dan menempati tubuh bayi putri mahkota.
jika ingin kau kelanjutannya ayo ikuti terus keseruan ceritanya, perjalan hidup sang putri mahkota
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Perjalanan ke wilayah timur memakan waktu lebih dari sepuluh hari. Mereka melewati padang ilalang luas, perbukitan berkabut, dan desa-desa yang sudah lama tak dikunjungi pengawal kekaisaran.
Namun semua berjalan tenang—hingga mereka memasuki gerbang Kota Langhyan, sebuah kota kuno yang pernah menjadi pusat perdagangan besar sebelum perlahan-lahan dilupakan oleh kekuasaan pusat.
Aura kota itu berbeda.
Bangunannya megah namun usang. Jalanannya bersih, tapi terlalu senyap. Dan yang paling aneh: tidak ada satu pun anak kecil terlihat.
Shuwan menatap sekeliling dengan curiga. “Kota ini terlalu tenang.”
Feng Aoren menunduk memeriksa tanah. “Tidak ada jejak baru selama berhari-hari. Seperti semua orang menahan napas.”
“Phoenix,” bisik Shuwan, “kalian merasakan itu?”
Phoenix Api menggeleng. “Cahaya tidak mengalir di sini.”
Phoenix Es menimpali, “Tapi ada sesuatu yang tersembunyi. Terikat. Terkunci.”
Malam Hari – Penginapan Langhyan
Malam itu, Shuwan memutuskan untuk menyamar dan keluar sendirian. Ia mengenakan jubah hitam dengan tudung, menyusuri gang-gang sempit. Bayangan seperti berbisik dari dinding, seolah kota itu mengawasi tiap langkahnya.
Ia akhirnya tiba di pelataran sebuah kuil tua yang tertutup semak. Di sana, seorang gadis kecil duduk sendiri, memeluk lutut. Matanya kosong, tapi tubuhnya mengeluarkan cahaya samar seperti kunang-kunang.
“Kau sendiri?” tanya Shuwan lembut.
Gadis itu mengangguk. “Mereka bilang aku pembawa sial. Karena aku bisa bicara pada suara-suara yang tak terlihat.”
Shuwan mendekat, perlahan. “Apa kau tahu tentang cahaya?”
Gadis itu menatapnya dengan tajam, dan mendadak tubuhnya memancar terang. Cahaya menyilaukan keluar dari dadanya, membentuk simbol kuno—sebuah pecahan terakhir dari Cahaya Suci.
Feng Aoren yang menyusul Shuwan tiba di tempat itu
“Ada apa?” tanyanya tajam, pedangnya terhunus.
Shuwan menunjuk ke gadis itu, yang kini pingsan di pelukannya. “Dia… adalah pecahan terakhir. Tapi dia juga kunci dari ilusi kota ini.”
Tiba-tiba seluruh kota bergetar. Rumah-rumah runtuh, dinding terbelah, dan dari langit turun kabut hitam. Sebuah suara menggelegar:
“Kau temukan dia. Tapi tidak akan membawanya keluar!”
Makhluk iblis bermata enam, tubuhnya terdiri dari bayangan kelam dan api, muncul dari menara kuil.
“Jaga dia,” ujar Shuwan cepat pada Aoren.
Feng Aoren mengangguk dan mundur dengan gadis itu di pelukannya.
Pertempuran Singkat
Shuwan melompat ke udara, Phoenix Api dan Es muncul bersamaan. Pedang Naga Cahaya menyala di tangannya. Dalam satu gerakan, ia membelah langit, dan sinar dari pedangnya menghantam makhluk itu tepat di dada.
Makhluk itu melolong, lalu mencair menjadi kabut.
Tapi sebelum menghilang sepenuhnya, ia berbisik:
“Cahaya telah lengkap... tapi bayangan belum selesai.”
Keesokan Harinya
Gadis itu terbangun dan berkata pelan, “Namaku Yun Xi. Terima kasih, Putri Cahaya…”
Feng Aoren menatap Shuwan. “Apa yang akan kau lakukan dengannya?”
Shuwan tersenyum. “Aku akan membawanya pulang. Karena cahaya tak pernah meninggalkan bagian terkecilnya.”
Setelah segel terakhir tertutup dan cahaya membasuh tanah negeri ilusi, Shuwan berdiri mematung di tengah padang rumput yang mulai menghijau kembali. Feng Aoren, berdiri di sisinya, memandangi horison yang kini bersih dari kabut kegelapan.
“Sudah saatnya kita pulang,” ucap Shuwan lirih.
Feng Aoren mengangguk. Ia mengangkat tangannya, menggambar simbol cahaya di udara. Gerbang kuno bercahaya perlahan terbuka di hadapan mereka—pintu menuju Kekaisaran Dawei.
Tanpa menoleh lagi, mereka melangkah ke dalam cahaya, menyisakan hembusan angin yang membawa harum bunga dan debu pertempuran yang telah usai.
Kekaisaran Dawei menyambut kepulangan Putri Mahkota dalam sunyi yang penuh makna. Han Juan telah bersiap di balik altar rahasia yang tersembunyi di balik taman giok. Hanya dia dan Kaisar yang tahu kebenaran perjalanan Shuwan.
Saat cahaya gerbang kuno memudar, langkah kaki Shuwan terdengar menapaki lantai batu giok. Phoenix Api dan Es melayang rendah, menjaga sisi-sisinya. Di belakangnya, Feng Aoren berjalan tenang, matanya mengamati setiap lekuk istana seperti menghafal medan yang akan ia lindungi.
Kaisar berdiri di ujung aula rahasia, mengenakan jubah kebesaran, tapi mata tuanya berkaca-kaca saat melihat putri satu-satunya kembali dengan selamat—lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih bercahaya dari sebelumnya.
“Selamat datang kembali putri ku... Putri Cahaya,” bisiknya lirih.
Shuwan membungkuk dalam hormat. “Ayahanda, kekaisaran Dawei akan segera menghadapi badai. Tapi kali ini... kita sudah siap.”
"Ahhh.... Aku bebas, lelah sekali menjadi mainan yang tidak bisa keluar, siap sekali aku tidak bisa keluar" keluh Bo Zhi yang tiba tiba memecahkan keharuan.
Shuwan tersenyum lalu mengusap kepala Bo Zhi meminta maaf.
Aula utama Istana Dawei dibungkus ketegangan yang nyaris tak terlihat. Sejak kepulangan Putri Mahkota Shuwan bersama pria misterius bernama Feng Aoren, suasana di seantero istana seolah menahan napas. Pasukan istana diam-diam diperkuat, para penasehat militer dikumpulkan dalam ruang strategi, dan burung-burung utusan dikirim ke pelosok negeri.
Namun tak seorang pun tahu bahwa kegelapan telah menyusup lebih dalam dari yang mereka kira.
Di sebuah kamar rahasia di bawah tanah istana, Han Juan meletakkan gulungan peta yang baru saja dikirim dari perbatasan barat. "Pasukan bayangan menghilang dari wilayah utara-timur. Sepertinya mereka bergeser, tapi kita belum tahu ke mana."
Shuwan berdiri tegak di dekat meja batu, matanya menelusuri jalur merah pada peta. “Mereka tidak bergeser. Mereka mundur untuk mengumpulkan kekuatan. Gerbang Malam mungkin akan dibuka sepenuhnya.”
Feng Aoren bersandar di dinding, diam namun penuh kewaspadaan. “Kalau mereka membuka Gerbang Malam sepenuhnya, maka kita harus siap menyambut ribuan makhluk kegelapan. Dunia ini bisa berubah dalam semalam.”
Han Juan memutar tubuhnya, menatap Aoren tajam. “Dan kau? Siapa sebenarnya kau?”
Shuwan memotong cepat. “Dia... adalah cahaya yang tertinggal dari zaman sebelumnya. Sama seperti aku.”
Aoren menunduk sedikit sebagai tanda hormat. “Aku tidak punya niat mencampuri urusan istana. Tapi jika dunia ini jatuh dalam kegelapan, maka semua kekuasaan tidak ada artinya. Aku berdiri di pihak cahaya.”
Han Juan mengangguk pelan, menyimpan rasa curiganya, untuk saat ini.
Malam itu, Shuwan berdiri di balkon menara tertinggi istana. Dua Phoenix berputar di angkasa, mengirimkan nyala kecil ke langit seperti suar. Di kejauhan, awan hitam menggumpal, seolah menantikan aba-aba untuk menggulung dunia.
“Setelah ini, tidak ada jalan mundur,” gumamnya.
“Benar,” sahut suara yang kini sudah tak asing di telinganya.
Feng Aoren muncul di balik pintu kayu, mengenakan jubah perang warna perak gelap yang memantulkan cahaya bulan. “Kau sudah membawa cahaya sampai ke tanah ini. Tapi bayangan akan selalu mencari tempat untuk bersembunyi. Dan kali ini, mereka mencari tahta.”
Shuwan menoleh padanya, menatap dalam. “Maka kita harus menyinari tahta itu juga.”
Pagi harinya, Dewan Perang Kekaisaran dipanggil. Para jenderal dan penasihat berkumpul di Aula Langit Emas. Kaisar, dengan suara berat, berdiri di hadapan mereka.
“Putri Mahkota telah kembali dengan pengetahuan akan ancaman yang lebih besar dari perang saudara, lebih besar dari kudeta, bahkan lebih besar dari penjajahan. Dunia kita berada di ujung tanduk. Maka hari ini, aku mewariskan kuasa penuh pada Putri Shuwan sebagai pemimpin tertinggi dalam pertahanan Dawei.”
bersambung
selalu suka dengan kata² nya yang indah dan ceritanya yang menarik 😍