Enam bulan pernikahan yang terlihat bahagia ternyata tak menjamin kebahagiaan itu abadi. Anya merasa sudah memenangkan hati Adipati sepenuhnya, namun satu kiriman video menghancurkan semua kepercayaannya. Tanpa memberi ruang penjelasan, Anya memilih pergi... menghilang dari dunia Adipati, membawa serta rahasia besar dalam kandungannya.
Lima tahun berlalu. Anya kini hidup sebagai single mom di desa kecil, membesarkan putranya dan menjalankan usaha kue sederhana. Namun takdir membawanya kembali ke kota, menghadapi masa lalu yang belum selesai. Dalam sebuah acara penghargaan bergengsi, dia kembali bertemu Adipati—pria yang masih menyimpan luka dan tanya.
Adipati tak pernah menikah lagi, dan pertemuan itu membuatnya yakin: Anya adalah bagian dari hidup yang ingin ia perjuangkan kembali. Namun Anya tak ingin kembali terjebak dalam luka lama, apalagi jika Adipati masih menyimpan rahasia yang belum terjawab.
Akankah cinta mereka menemukan jalannya kembali? Atau justru masa lalu kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juwita Simangunsong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Halaman depan rumah yang tidak semegah rumah orang tua Adipati itu dipenuhi cahaya matahari pagi. Anya berdiri di ambang pintu dengan gaun rumah berwarna pastel, wajahnya sedikit lelah tapi tetap tersenyum menyambut kedatangan mobil hitam mengilap yang baru saja berhenti di depan pagar.
Pintu mobil terbuka. Adipati turun dengan kemeja polos lengan digulung, tampak gagah dan tenang. Wajahnya tetap datar, tidak memperlihatkan emosi. Begitu matanya bertemu mata Anya, Anya langsung tersenyum, kecil namun tulus.
Namun Adipati hanya membalas dengan tatapan kosong, tanpa sepatah kata pun. Ia segera beralih membuka pintu belakang mobil.
Alvino berlari kecil keluar dari rumah dan langsung memeluk kaki Adipati. "Papa! Aku sudah siap!" kata Alvino dengan suara penuh semangat.
Adipati mengangguk pelan, sambil mengusap kepala Alvino dengan lembut) "Ayo."
Anya melangkah turun dari teras, mendekati mereka.
Anya berusaha tetap ceria karena pada akhirnya dia bisa melihat wajah Adipati setelah beberapa minggu ini dia tidak melihat nya "Mama kira hari ini Mama yang akan bawa kamu jalan - jalan, Al..."
Alvino menoleh dengan polos "Mama, kenapa baru bilang sekarang Al? Kan hari ini Papa yang mau ajak Al jalan-jalan. Karena kami mau pergi bareng. Iya kan, Papa?"
Adipati tidak menjawab, hanya memberi anggukan kecil lagi.
Anya berusaha tersenyum walau terasa getir "Mama nggak boleh ikut?"
Alvino langsung memotong, suaranya agak keras, seperti ingin menegaskan "Kata Papa, ini urusan laki-laki, Mama."
Anya terdiam sejenak. Bibirnya tertutup rapat. Matanya melirik ke arah Adipati, berharap mendapat penjelasan, tapi pria itu tetap memasang wajah dingin. Di dalam hatinya, Adipati ingin sekali berkata, "Ayo ikut," tapi tatapan tajam penuh makna dari Alvino tadi membuatnya menahan diri.
Anya sedikit kesal, mencoba tetap tenang "Emang kalian mau ke mana sih, sayang?"
Alvino dengan mata berbinar berkata "Kami mau main golf, terus berenang, habis itu main bola juga! Seharian penuh, seru banget, kan Ma?"
Anya menatap putranya, lalu kembali melihat Adipati. Kali ini ia bicara dengan suara yang lebih lembut, tapi dalam "Apa... aku benar-benar nggak boleh ikut, Mas?"
Adipati menatapnya dalam beberapa detik. Hatinya sebenarnya ingin menarik tangan Anya dan berkata, “Kita pergi bertiga.” Tapi Alvino melarang nya entah kenapa aku tidak boleh mengajak Anya dan bersikap manis pada Anya. Kata Alvino aku harus melakukan itu. Jika aku benar - benar ingin kembali pada Anya.
Adipati berkata dengan nada datar, tapi suaranya dalam dan pelan)"Lain kali, Nya..."
Anya menunduk pelan, menyembunyikan kekecewaannya.
Anya tersenyum tipis "Ya sudah... jaga Alvino baik-baik, Mas."
Adipati mengangguk, dan membuka pintu untuk Alvino. Bocah itu melambaikan tangan pada Anya.
Alvino membuka kaca mobil seraya tersenyum "Dadah Mama! Nanti Al cerita semua, ya!"
Mobil kembali melaju menjauh. Di balik kaca spion, Adipati sempat melirik ke belakang. Dilihatnya Anya masih berdiri di tempat, memeluk dirinya sendiri.
Di dalam hati Adipati "Aku ingin kamu ikut, Anya... tapi Alvino tidak mengijinkan dan aku harus ikut kata Alvino , demi keluarga kecil kita katanya ..."
***
Suasana di dalam mobil terasa tenang. Hanya suara AC dan putaran ban yang terdengar di jalanan kompleks perumahan yang rindang. Alvino duduk dengan santai di kursi depan, memakai seatbelt, kedua kakinya menggantung karena belum cukup tinggi menyentuh lantai. Adipati mengemudi perlahan, sesekali melirik anaknya yang terlihat sangat santai.
Adipati melirik ke kiri, ke arah Alvino yang sedang memainkan jendela otomatis naik-turun. Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya bertanya "Al, Papa mau tanya... serius ya."
Alvino terus mainin jendela sambil nyengir "Iya, Papa. Tanya aja. Tapi jangan nanya matematika ya."
Adipati senyum tipis "Bukan. Tadi waktu Mama mau ikut, kenapa kamu tidak bolehin?"
Alvino menoleh, sedikit kaget, tapi tetap tenang "Karena... ini emang rencana Al sama Nenek."
Adipati berkerut dahi, kaget "Loh? Rencana apa maksudnya?"
Alvino menarik napas, ekspresi serius sok dewasa "Rencana biar Mama nyadar... kalo Mama tuh... kangen Papa sebenarnya selama ini."
Adipati melirik cepat "Hah?"
Alvino berkata lagi "Nenek bilang, kemarin-kemarin Mama tuh suka nyari-nyari Papa. Suka ngelamun di dapur, terus sering nanya, 'Dia nggak datang ya hari ini?' gitu."
Adipati mencuri pandang ke Alvino, tertegun. "Mama ngomong gitu?"
Alvino mengangguk mantap, bangga "Iya! Makanya, kita harus biarin Mama kangen dulu. Jangan sering-sering muncul. Biar dia sadar... hidupnya tuh kosong tanpa Papa."
Adipati menahan senyum, lalu menatap jalan lagi. "Aduh... kamu ini anak umur berapa sih? Kok kayak konsultan pernikahan aja."
Alvino angkat dagu, bangga "Al tuh dewasa, Pa. Mama cuma butuh waktu. Kalau Papa terus deketin, Mama malah gengsi ngakuin kalau dia masih sayang. Jadi... kita bikin strategi. Operasi Cinta Diam-diam."
Adipati tergelak pelan, akhirnya benar-benar tertawa "Wah, Papa kalah jauh. Dulu umur segitu Papa cuma bisa main gundu, nggak mikir strategi cinta segala."
Alvino merengut lucu "Main gundu udah jadul, Pa. Sekarang yang trending itu... bikin Mama baper."
Adipati tertawa lagi, dan kali ini matanya terasa hangat. "Ya udah, agen cinta. Kalau misi kamu berhasil, mau hadiah apa?"
Alvino sambil mikir keras "Hmmm... PlayStation lima... sama es krim tiap hari... dan Mama Papa pelukan di depan aku."
Adipati langsung tertawa keras hingga menepuk-nepuk setir "Yang terakhir itu PR paling berat, Vin!"
Alvino senyum lebar "Tapi paling bikin bahagia, kan?"
Adipati menoleh, mengusap rambut Alvino perlahan, penuh rasa bangga dan cinta. "Iya...itu paling bikin bahagia sih."
***
Sementara itu, di rumah keluarga Anya...
Anya sedang mondar-mandir di ruang tengah sambil memainkan ponselnya, wajahnya kesal. Mama Anya, duduk di sofa sambil merajut. Papa Anya, membaca koran tapi sesekali mencuri pandang ke arah anaknya.
Mama Anya berkata " Anya... kamu kenapa muter-muter kayak gasing? Listrik padam di kepala, ya?"
Anya berhenti berjalan "Nggak kok, Ma. Anya baik-baik aja."
Papa Anya tanpa menurunkan koran "Halah... itu ekspresi baik-baik aja apaan? Kayak orang abis gagal diet."
Anya mendesah, lalu duduk di kursi "Cuma... tadi niatnya mau ajak Alvino jalan, tapi dia malah pergi sama Papanya."
Mama Anya senyum licik "Oalahhh, jadi cemburu ya lihat Mas Pati ganteng cuek-cuek bebek itu datang, terus kamu cuma disenyumin angin?"
"Ih, Mamaaa..." kata Anya tidak terima dengan ucapan Mama nya.
Papa Anya menurunkan korannya, ikut nimbrung "Kemarin waktu Mas Adipati mu itu ngajak balikan kamu jual mahal. Sekarang waktu dia cuek, kamu uring-uringan. Jadi kamu ini mau gimana sih, nak?"
Mama Anya kembali berkata "Ya seperti yang aku bilang kemarin Pap persis kayak lagu dangdut tuh..."
Anya kesal "Lagu apa sih, Ma? Jangan goda Anya terus dong."
Mama Anya nyanyi pelan-pelan, nyengir 🎶 "Setelah tiada baru terasa... karena kehadirannya sungguh berarti..." 🎶
Papa Anya kembali menimpali, sambil mengangkat alis "Judulnya 'Setelah Tiada', cocok tuh sama kamu!"
Anya memutar mata, lalu berdiri "Duh! Aku mau ketemu Andre aja deh. Siapa tahu dia bisa bikin mood-ku lebih baik."
Mama Anya kembali meledek Anya "Tuh, Andre, penyegar jiwa kelas dua."
Anya menelepon, tapi wajahnya tambah kusut setelah bicara di telepon "Ishh! Andre nya nggak bisa ketemu. Lagi urus sesuatu katanya."
Papa dan Mama Anya saling melirik, lalu...
Papa Anya berkata "Yaaa ampun, sekarang yang satu cuek, yang satu sibuk. Kayaknya kamu mesti ke psikolog, Nya biar hatimu diurut, dibenerin tuh yang miring-miring."
Mama Anya nambah meledek "Atau sekalian aja kamu suruh Mas Pati ngasih jadwal, hari Senin cuek, Selasa romantis, Rabu tarik ulur... biar hatimu nggak bingung!"
Anya tertawa miris, lalu memeluk bantal di sofa "Aku tuh... aku tuh... sebel! Tapi sebel yang... ya gitu deh!"
Papa Anya "Sebelnya cinta. Nah itu, penyakit lama kambuh lagi."
Mama Anya "Ayo kita kasih obat warisan nenek..."
Anya yang penasaran bingung "Obat apa?"
Mama Anya senyum jenaka "Obatnya cuma satu , kembali ke Mas Pati mu itu, dan akui kalau kamu kangen!"
"MAAA!!" teriak Anya histeris.
Mama dan Papa Anya tertawa sambil saling tos. Anya menenggelamkan wajahnya di bantal, antara malu, kesal, dan... rindu.