Axel sedang menata hidupnya usai patah hati karena wanita yang selama ini diam-diam ia cintai menikah dengan orang lain. Ia bahkan menolak dijodohkan oleh orang tuanya dan memilih hidup sendiri di apartemen.
Namun, semuanya berubah saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan Elsa, seorang gadis SMA yang salah paham dan menganggap dirinya hendak bunuh diri karena hutang.
Axel mulai tertarik dan menikmati kesalahpahaman itu agar bisa dekat dengan Elsa. Tapi, ia tahu perbedaan usia dan status mereka cukup jauh, belum lagi Elsa sudah memiliki kekasih. Tapi ada sesuatu dalam diri Elsa yang membuat Axel tidak bisa berpaling. Untuk pertama kalinya sejak patah hati, Axel merasakan debaran cinta lagi. Dan ia bertekad, selama janur belum melengkung, ia akan tetap mengejar cinta gadis SMA itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Keesokan paginya, dunia bisnis dihebohkan dengan kabar mengejutkan. Perusahaan Wang dinyatakan bangkrut.
Sejak semalam, harga saham perusahaan itu terus merosot perlahan namun pasti, sehingga menyentuh titik terendah dalam sejarah. Kejatuhan ini dipicu oleh munculnya kembali berita skandal lama yang melibatkan Tuan Wang, sang pemilik perusahaan.
Skandal yang sempat menggemparkan itu sebenarnya pernah mencuat ke publik, namun entah bagaimana, berita itu tiba-tiba menghilang sebelum sempat diklarifikasi. Banyak pihak menduga, media telah dibungkam oleh kekuatan uang dan koneksi. Tapi kini, berita itu kembali muncul di dunia maya dengan versi yang lebih gamblang dan sulit dibantah.
Akibatnya, sejumlah perusahaan besar segera mengambil tindakan. Mereka memutuskan kontrak kerja sama, satu per satu. Yang paling mengejutkan adalah keputusan AL'X Company, mitra strategis terbesar mereka, yang menjadi pihak pertama menarik diri secara resmi. Langkah ini pun segera diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain. Efek domino yang tidak terhindarkan.
Sementara itu, di dalam kantor pusat Perusahaan Wang, suasana terasa mencekam.
"Brengsek!" teriak Christian Wang sambil membanting dokumen ke meja. Wajahnya merah padam, matanya membelalak penuh amarah. "Bagaimana semua ini bisa terjadi? Siapa yang berani menyebarkan berita sialan itu?"
Bram, asistennya, berdiri gugup di hadapan bosnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
"S-saya juga tidak tahu, Tuan," sahut Bram terbata. "Tiba-tiba berita itu muncul lagi di dunia maya dan langsung viral. Rekan-rekan bisnis kita mengetahuinya, dan tanpa menunggu klarifikasi, mereka langsung menarik diri, mulai dari AL'X Company, lalu diikuti oleh mitra lainnya."
Christian menggeram, mengepalkan tangan. Dunia bisnis yang selama ini ia kuasai dengan cara licik, kini berbalik menggigitnya.
"Pasti ada yang ingin menjatuhkan aku dengan sengaja," gumamnya pelan, penuh dendam.
Glenzy tidak kalah gelisah. Untuk pertama kalinya, dunia bisnis yang selama ini terlihat kokoh di matanya mulai retak. Perusahaan suaminya, yang dulu dielu-elukan, kini diambang kehancuran. Ia duduk di sisi Christian yang tampak lesu, menatap layar ponsel penuh notifikasi kerugian dan pembatalan kerja sama.
"Aku akan membantumu, Chris," ucap Glenzy, berusaha terdengar tenang meski hatinya ikut panik. "Aku akan bicara dengan CEO AL'X Company. Aku kenal baik dengannya. Mungkin, mereka bisa menarik kembali keputusan itu."
Mendengar itu, Christian terlihat sedikit lega. Matanya yang merah karena kurang tidur memancarkan harapan.
"Benarkah? Kau mengenal CEO AL'X Company?" tanya Christian.
"Iya, dia adalah temanku Aku tidak akan membiarkanmu hancur seperti ini." Tanpa menunggu lebih lama, Glenzy bersiap. Ia mengenakan setelan elegan berwarna gelap dan segera meluncur ke kantor pusat AL'X Company.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, ia sampai di perusahaan AL'X Company dan langsung menuju resepsionis.
"Aku ingin bertemu Axel. Eh, maksud ku, CEO kalian," ucap Glenzy.
"Maaf, nona. Apa anda sudah membuat janji sebelum nya?" tanya resepsionis.
"Aku ... " belum selesai ia berucap, pandangannya tertuju pada sosok yang berjalan yang sangat ia kenal. "Martin!" panggilnya.
Merasa di panggil, pria itu segera menghentikan langkahnya. "Glenzy?"
"Martin, kau pasti tahu kenapa aku datang. Tolong, aku ingin bicara dengan Axel," ucap Glenzy.
Martin mengubah ekspresinya, datar. "Maaf, Glenzy. Axel sedang tidak bisa ditemui."
Glenzy mengerutkan kening. "Jangan bercanda, Martin. Aku tahu, dia ada di sini. Aku teman kalian, jadi, tolong bantu aku bicara dengannya, walau hanya sebentar saja."
Martin menarik napas panjang. Sorot matanya tajam namun tetap tenang.
"Glenzy, ini bukan soal pertemanan. Ini soal bisnis. Keputusan perusahaan sudah final, dan kami tidak ingin nama perusahaan kami ikut tercemar karena skandal yang melibatkan suamimu."
"Tidak!" Glenzy menggelengkan kepalanya cepat. "Itu semua tidak benar, Martin! Tidak ada bukti kuat! Itu hanya fitnah!" seru Glenzy, suaranya mulai meninggi. "Kau tahu, suamiku tidak seperti itu!"
Martin tersenyum miring, langkahnya mundur perlahan. "Percaya atau tidak, bukan aku yang menentukan, tapi pasar dan opini publik. Kau tahu sendiri, dalam dunia bisnis, persepsi adalah segalanya."
Glenzy tampak terpukul. Ia ingin berteriak, membela diri, membela suaminya, membela rumah tangganya, tapi semua itu sia-sia. Martin berbalik, memberi isyarat agar resepsionis tidak membiarkan Glenzy masuk lebih jauh.
"Maaf, Glenzy," ucap Martin sekali lagi sebelum melangkah pergi. "Tapi, ini bukan lagi urusan pribadi. Ini adalah harga mati," lanjutnya sambil berlalu.
Glenzy berdiri terpaku. Untuk pertama kalinya, status sosial dan relasi bisnisnya tidak bisa menyelamatkannya. Yang tersisa hanyalah kekacauan dan rasa takut akan masa depan yang kini terlihat begitu buram.
Di sisi lain, tidak hanya Glenzy yang diliputi kekacauan, Irfan pun mengalami hal serupa. Ia berdiri kaku di ruang kepala sekolah, tepat di hadapan Axel yang duduk di balik meja dengan sikap angkuh dan pandangan tajam menusuk.
"Kau pasti tahu untuk apa dipanggil kemari, bukan?” suara Axel terdengar tenang, tapi tajam bagai sembilu.
Irfan menunduk. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan emosi yang berkecamuk.
"Aku tahu," lirihnya.
Axel menyilangkan kaki, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Jadi, mana uangku?"
Irfan menelan ludah dengan napas yang tidak stabil. "A-aku belum mendapatkan uangnya. Beri aku waktu beberapa hari lagi."
"Memberimu waktu?" Axel tertawa keras, dingin dan sarkastik. "Lucu sekali. Bukankah kau dari keluarga kaya? Seharusnya uang segitu bukan masalah besar, bukan?"
Irfan menahan amarah dalam diam. Benar apa yang dikatakan Axel. Dia memang berasal dari keluarga berada. Tapi kenyataannya, uang sakunya dibatasi, dan saat ini kondisi keluarga mereka sedang goyah akibat skandal bisnis kakak iparnya. Meminta uang sebanyak itu di tengah kekacauan ini, hanya akan membuatnya menjadi samsak kemarahan ayahnya.
Axel memperhatikan raut wajah Irfan yang berubah semakin gelisah. "Kenapa kau diam?" sindir Axel. "Apa jangan-jangan … kau tidak bisa membayarnya?"
"Aku ... "
"Sudahlah!" potong Axel cepat. Ia menyandarkan punggung dan menatap Irfan dengan senyum tipis. "Tidak masalah jika kau tidak bisa membayar nya. Tapi, aku mempunyai cara lain. Dan, jika kau bersedia melakukannya, aku akan menganggap hutangmu lunas. Bagaimana?"
Irfan memandang Axel dengan kening berkerut tajam. Ada rasa ragu, namun juga penasaran. Tapi, untuk saat ini, bukankah menerima tawaran Axel adalah jalan yang baik?
Irfan menarik nafas dalam, menatap langsung ke mata Axel yang tidak berkedip menatapnya. "Baiklah, apa yang harus aku lakukan?"
tapi bagaimana jika elsa sampai tahu 🤔🤔
👍🙏🌹❤
🤔
🙏👍🌹❤
axel martin panik bgt tkut kebongkar
hayolah ngumpet duluu sana 🤭🤣👍🙏❤🌹