"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Lamaran Cakra
Pagi masih gelap saat mobil berwarna hitam meluncur keluar dari halaman rumah Gahar. Udara dingin dini hari menambah suasana syahdu dalam perjalanan panjang itu. Rama duduk di kursi kemudi, santai dengan lengan kanan menggenggam stir dan tangan kiri bersandar di jendela yang sedikit terbuka. Di kursi penumpang depan, Gahar duduk sambil memejamkan mata, mencoba tidur meski jalanan kadang bergelombang. Di baris belakang, Dita duduk di sisi kiri, sementara Cakra duduk di sebelahnya mematung.
Rama melirik ke kaca spion, lalu berseru dengan nada menggoda, “Bang Cakra, deg-degan ya? Nih wajahnya kayak orang mau ujian nasonal.” Cakra mendengus pelan. “Biasa aja.” Rama tertawa, “Iya sih, biasa... buat orang yang bentar lagi resmi jadi tunangan orang. Tapi muka lo itu lho, kayak anak kecil lagi nahan buang air.” Cakra hanya menghela napas panjang. Di genggaman tangannya, telapak sedikit berkeringat. Dita yang melihat gelagat putranya hanya tersenyum lembut, lalu menepuk tangan Cakra perlahan.
“Tenang, Nak. Ibu di sini kok. Semua akan baik-baik saja.” Beberapa jam kemudian, mobil mereka akhirnya tiba di sebuah rumah bergaya klasik di Bandung. Udara pagi yang sejuk menyambut mereka saat pintu mobil dibuka. Cakra menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba menenangkan diri. Pintu rumah terbuka perlahan. Di ambang pintu, Shifa berdiri mengenakan kebaya sederhana berwarna pastel yang membuat wajahnya terlihat semakin bersinar. Rambutnya disanggul rapi, dan senyum kecil terukir di wajahnya, meski sorot matanya menunjukkan kegugupan.
Dita langsung menghampiri dan memeluk Shifa erat. “Cantik banget kamu hari ini, Nak,” bisiknya hangat. Shifa tersenyum malu. “Terima kasih, Bu…” Gahar turun terakhir dari mobil, lalu menepuk punggung Cakra yang berdiri kaku seperti patung di depan pagar. “Tenang, Nak. Ini cuma lamaran, bukan mau perang.” Cakra nyengir kaku, menatap ke arah rumah dan ke Shifa yang kini berdiri menantinya. “Justru ini lebih deg-degan, Om…” Mereka pun melangkah masuk ke dalam rumah.
Ruang tamu rumah keluarga Shifa terasa hangat pagi itu, meskipun hawa Bandung masih menyisakan kesejukan. Dua keluarga duduk berhadapan. Di satu sisi, duduk Cakra bersama ibunya, Dita, dan pamannya sekaligus walinya, Gahar. Di sisi lain, ayah dan ibu Shifa duduk dengan wajah serius, namun tetap sopan dan terbuka. Meja kecil di antara mereka sudah tertata rapi dengan teh hangat dan kue-kue tradisional. Namun, bukan suguhan yang jadi pusat perhatian saat itu—melainkan momen penting yang akan mengubah hidup dua insan. Gahar duduk tegap, mengangguk sopan sebelum akhirnya membuka percakapan dengan suara tenang namun penuh keyakinan.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih sebelumnya kami sudah disambut dengan hangat di sini. Perkenalkan, saya Gahar, paman dari Cakra yang juga bertindak sebagai walinya. Maksud kedatangan kami hari ini... adalah untuk melamar putri Bapak dan Ibu, Shifa, secara resmi.”
Ia melirik Cakra sejenak, lalu kembali memandang ke arah orangtua Shifa.
“Cakra dan Shifa sudah melewati banyak hal bersama. Kami melihat kesungguhan dan ketulusan mereka, dan karena itu kami ingin menyampaikan niat baik keluarga kami untuk mengikat mereka dalam hubungan yang lebih resmi.”
Ruangan hening sejenak. Ayah Shifa—yang sejak tadi duduk dengan tangan disilangkan di pangkuan mengangkat wajah, menatap Gahar, lalu mengarahkan pandangannya ke Cakra yang duduk tegak namun jelas gugup.
Ayah Shifa tersenyum tipis, kemudian menoleh pada putrinya yang duduk menunduk malu di samping ibunya. “Saya terima dengan bahagia,” ucapnya akhirnya, dengan nada tulus. “Lamaran Nak Cakra saya terima. Tapi saya juga ingin berpesan…” “Shifa adalah anak perempuan saya satu-satunya. Ia tumbuh dalam cinta, dalam perlindungan dan doa-doa kami. Sekarang, tanggung jawab itu akan segera berpindah ke Nak Cakra.”
“Sanggup?”
Suara itu tidak keras, tapi mengandung bobot yang dalam. Dita sempat menyentuh tangan Cakra lembut dari samping, memberi dorongan. Cakra mengangguk, menatap lurus ke mata ayah Shifa. “Insyaallah, Pak. Saya sanggup. Saya akan jaga Shifa sepenuh hati. Tidak hanya sebagai pasangan hidup… tapi juga sebagai teman, dan keluarga.” Shifa menunduk lebih dalam. Matanya berkaca-kaca. Senyum haru tergambar di wajahnya. Suasana berubah menjadi syahdu. Ibunya mengusap punggung Shifa pelan, menenangkan.
Setelah beberapa saat, pembicaraan berlanjut lebih santai. Kedua keluarga mulai menentukan tanggal pernikahan. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya disepakati: “Dua bulan dari sekarang,” ucap ibunda Shifa. “Insyaallah, bulan depan kita mulai persiapannya.” Wajah Cakra dan Shifa sama-sama lega. Mereka saling menatap singkat. Tidak perlu kata-kata senyuman mereka cukup mewakili betapa hari itu telah menjadi titik terang untuk masa depan mereka.
Langit sore Bandung menyuguhkan gradasi jingga yang lembut. Angin sepoi berhembus pelan, membelai dedaunan di halaman belakang rumah keluarga Shifa. Cakra dan Shifa duduk berdampingan di bangku taman kecil. Mereka masih mengenakan pakaian rapi dari acara lamaran, namun wajah mereka kini lebih santai. Tidak ada lagi ketegangan, hanya kelegaan dan senyum yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
Cakra mencuri pandang pada Shifa, lalu berkata pelan namun cukup jelas: “Kamu yakin? Masih bisa mundur sekarang, lho.” Shifa menoleh, menaikkan satu alis, lalu menjawab dengan gaya menggoda: “Kalau aku mundur... siapa lagi yang mau nyuapin kamu kalau lagi mogok makan, hmm?” Cakra terkekeh. Senyumnya melebar, dan matanya menatap Shifa dengan hangat. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Shifa perlahan
“Terima kasih udah bertahan, Fi.”
Shifa mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya tidak pudar. “Dan terima kasih udah pulang.” Mereka tidak perlu berkata banyak. Hening sesaat di antara mereka justru terasa penuh makna. Di tengah dunia yang terus bergerak, mereka menemukan titik diam—di mana hati bisa beristirahat. Sementara momen romantis terjadi di halaman, seseorang sedang menyaksikannya diam-diam dari balik jendela dapur.
Darma—yang ikut datang sebagai bagian dari keluarga Shifa berdiri dengan piring kecil berisi kue di tangannya. Ia mengunyah sambil menatap pemandangan di luar. “Astaga... romantis banget. Ini rumah orang tua, bukan lokasi syuting drama.” Ia menjauh dari jendela dan masuk lebih dalam ke dapur, mendekati Dita yang sedang membantu membereskan gelas-gelas tamu.
“Bu, saya bisa nggak sih... ditugasin ke luar negeri aja selama proses ini? Biar nggak kebanyakan nonton adegan cinta mereka.” Dita tertawa kecil, lalu menepuk lengannya. “Iya, iya... sabar, Darma. Nanti nyusul ya, biar lengkap dramanya.” Darma menghela napas panjang, lalu mengambil satu kue lagi. “Kalau saya nggak nyusul-nyusul, berarti belum ketemu naskah yang cocok, Bu.” Suasana dapur dipenuhi tawa ringan, sementara dari luar, cahaya senja terus mengalir lembut—menyempurnakan hari yang tak akan mereka lupakan.
Malam merambat perlahan. Suasana di rumah keluarga Shifa terasa jauh lebih santai dibanding siang tadi. Semua sudah berganti pakaian rumahan. Tawa dan obrolan ringan mengalir di antara dua keluarga yang kini mulai menyatu. Atas permintaan ayah Shifa, keluarga Cakra diminta menginap semalam. “Biar besok jalan pagi, nggak buru-buru,” katanya.
Cakra sedang membantu Gahar merapikan beberapa barang dan oleh-oleh kecil ke dalam tas. Di sisi lain ruang tamu, Dita dan ibu Shifa tampak asyik membicarakan menu katering dan konsep dekorasi sederhana yang cocok untuk pesta nanti. Shifa masuk dari dapur, membawa nampan berisi teh hangat. Ia meletakkannya perlahan di meja di tengah ruangan, lalu duduk di sebelah ibunya. Gahar menyerahkan tas pada Cakra “Besok kita balik pagi ya. Masih banyak yang harus disiapkan.”
Cakra mengangguk sambil menyampirkan tas itu di sisi sofa. Ia lalu diam sesaat, menatap sekeliling ruangan. Melihat ibunya tertawa bersama ibu Shifa. Melihat Gahar tersenyum puas sambil menyeruput teh. Dan Shifa—yang menatapnya dengan mata yang tak pernah berubah, hangat dan sabar. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, hati Cakra terasa utuh. “Mungkin inilah awal dari rumah yang sebenarnya...”
Bukan lagi sekadar tempat berteduh. Tapi tempat untuk tumbuh, berbagi, dan mencintai—dengan penuh kesadaran dan keberanian. Di luar, langit Bandung bertabur bintang. Malam ini mereka tidur dalam damai, karena esok... adalah langkah pertama menuju lembaran baru yang telah lama mereka nantikan.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf