Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Cantika?
Tok tok tok.
Ketukan pintu itu membangunkan Cantika dari tidurnya. Ia mengerjap, menoleh ke jam di dinding lalu mengernyit. Terlalu pagi untuk siapa pun datang bertamu. Dengan langkah yang masih limbung, Cantika mengucek matanya dan membuka pintu.
Bruk!
Sebuah tubuh berat ambruk tepat di ambang pintu.
“Astaga, Pak Ethan!” jeritnya histeris.
Ethan Montgomery terkulai, napasnya cepat dan tidak beraturan. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, kemejanya berlumur darah.
“Bapak kenapa?” suara Cantika gemetar.
Ia berjongkok panik, menopang tubuh Ethan yang nyaris tak sadarkan diri.
“Tolong aku…” bisik Ethan lemah.
Dengan tenaga seadanya, Cantika membantu Ethan berdiri dan membawanya ke sofa. Jantungnya berdegup keras melihat luka dan darah segar di lengan pria itu. Aura rapuh yang tak pernah ia bayangkan ada pada Ethan Montgomery.
Cantika berlari ke kamar, mengambil kotak P3K. Tangannya bergetar saat membersihkan luka Ethan, mengompres, lalu membalutnya dengan hati-hati seolah satu tekanan saja bisa menyakitinya.
Ethan menatapnya dalam. Pandangan itu begitu hangat dan menyentuh.
“Terima kasih, Cantika,” bisiknya. “Hanya namamu yang kupikirkan saat aku terluka.”
Hati Cantika mencelos melihat Ethan kesakitan. Namun tidak bisa dipungkiri dadanya menghangat.
“Pak Ethan…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Kenapa Bapak bisa seperti ini?”
Ethan memegangi kepalanya, meringis kesakitan.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba sekelompok orang menyerangku. Aku… sempat melihat logo Barlex di tangan mereka.”
Cantika menegang, wajahnya kehilangan warna. “Barlex?” ulangnya pelan.
Ethan mengangguk. “Aku baru akan mengurus perceraianku dengan Celine… lalu mereka menghadangku.”
“Bercerai?” Cantika tercekat. “Bapak… bercerai dengan Bu Celine?”
“Iya.” Nada Ethan berat. “Celine terlalu kekanakan, manja dan bertindak sesuka hati.” Ia terdiam sejenak, lalu menatap Cantika lebih dalam. “Aku tidak tahu apakah keputusanku benar. Tapi… aku tidak bisa menghilangkanmu dari pikiranku.”
Cantika terpaku, dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar. Air matanya hampir jatuh.
“Tapi aku tidak bisa melanjutkan semua ini,” lanjut Ethan.
Wajah Cantika runtuh. “Kenapa, Pak? Apa karena saya tidak pantas?”
Ethan menggeleng pelan. “Barlex mengambil dokumen rahasia perusahaan dari mobilku. Setelah ini mereka akan menghancurkanku, Cantika.”
Cantika terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Ia menatap wajah Ethan yang tampan, lalu menghembuskan napas seakan mengumpulkan keyakinan.
Gadis itu menggenggam tangan Ethan, mengelusnya penuh empati. “Bapak jangan khawatir.” ucapnya lembut.
“Bagaimana aku tidak khawatir?” Ethan membalas menggenggam tangannya. Genggaman itu terasa erat, menenangkan.
Cantika tersedot lebih dalam, dadanya semakin bergemuruh.
“Aku… aku sebenarnya tahu rahasia Barlex,” ucapnya terbata.
Ethan melepas genggamannya, tatapannya meneliti seakan tidak percaya.
Cantika menggenggam tangan Ethan penuh keyakinan. “Aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku punya sesuatu di balik telingaku.”
“Benarkah?” kata Ethan lembut.
Cantika mengangguk kuat, menatapnya penuh cinta.
“Cantika,” bisiknya, mendekatkan wajah. “Aku percaya padamu.”
Cantika memejamkan mata. Napasnya tertahan, bersiap menyambut kehangatan cinta Ethan.
“Sssshhh…”
Cantika meringis tiba-tiba. Ia mencoba membuka mata, namun pandangannya terasa kabur. “Ethaann…” gumamnya sebelum tubuhnya limbung.
Ethan menangkapnya tepat sebelum jatuh pingsan. Wajah Ethan berubah seketika mejadi datar, dingin, tanpa sisa emosi. Ia menarik jarum suntik kecil dari balik telapak tangannya, menutupnya dengan tenang, lalu memasukkannya ke saku.
Dengan cekatan, Ethan mengangkat tubuh Cantika dan melangkah keluar. Jerry sudah menunggu di mobil dengan pintu belakang terbuka.
Ethan memasukkan Cantika ke kursi, memastikan sabuk pengaman terpasang, lalu menutup pintu.
“Semua aman?” katanya singkat sambil duduk dan memasang sabuknya sendiri.
Jerry mengangguk. “Aman, Tuan.”
“Minta seseorang mengurus adiknya,” perintah Ethan tanpa menoleh.
“Dilaksanakan, Tuan.”
Mobil melaju meninggalkan rumah kecil itu.
Anggota Amox sudah bersiap ketika mobil Ethan berhenti tepat di depan markas. Pintu dibuka, Cantika digotong masuk. Mereka melewati lorong beton panjang, lampu putih menyala stabil di langit-langit. Semakin ke dalam, udara terasa berubah lebih berat dan lebih rapat. Pintu baja terbuka dengan pemindaian ganda, lalu menutup kembali dengan bunyi desis mekanis.
Ruang tertutup bersuhu stabil sekitar dua puluh derajat. Lembap, steril, dengan sistem tekanan positif yang membuat udara di dalam selalu terdorong keluar sehingga bisa dipastikan tak ada kontaminasi yang masuk. Hanya satu ranjang medis di tengah ruangan, dan lampu sorot tepat di atasnya. Cantika dibaringkan perlahan di sana.
Tanpa perlu diperintah, satu per satu anggota Amox keluar menyisakan Ethan dan Jerry.
Langkah kaki lain terdengar. Pria dengan sarung tangan lateks masuk dari pintu penghubung. Wajahnya datar dan professional, tidak menatap Cantika lebih lama dari yang diperlukan.
“Di balik telinga, Mike.” perintah Ethan rendah.
Jerry menoleh sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. Ia tidak ikut campur tanpa perintah.
Mike mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
“Lakukan dengan hati-hati,” tambah Ethan, suaranya datar namun berlapis tekanan. “Aku tidak ingin kerusakan yang tidak perlu.”
Mike membuka kotak peralatannya. Bunyi logam kecil beradu terdengar jelas di ruangan sunyi itu. Ia menyesuaikan lampu, lalu menyingkap rambut Cantika perlahan, mengekspos area di belakang telinga kirinya.
Flashback_
“Tukar posisi.”
Jerry dan Hans yang berdiri di belakang ethan spontan mengangguk.
Hans mundur satu langkah tanpa komentar. Jerry langsung bergerak, membuka pintu kursi kemudi dan masuk dengan sigap. Mesin mobil menyala, suaranya rendah namun bertenaga, lalu kendaraan itu melaju keluar gerbang Mansion Montgomery.
Ethan duduk di sebelah Jerry, punggungnya tegak, tatapannya kosong namun tajam.
“Bagaimana ‘dia’?” tanyanya dingin.
“Di rumahnya, Tuan,” jawab Jerry tanpa menoleh, fokus pada jalan.
“Ke sana sekarang.”
Jerry mengangguk, menambah kecepatan.
Ethan membuka laci dashboard, mengambil earphone lalu memasangnya di telinga kirinya. Jemarinya bergerak cepat, lalu menekannya. Dentuman musik menghantam liar dari seberang sana.
Ethan menggeram tanpa suara.
“Ethan?” suara Sambo terdengar dari sambungan. “Ada apa?”
“Kembali ke Jakarta sekarang,” potong Ethan tajam. “Amox darurat.”
Tanpa menunggu jawaban, ia menutup panggilan.
“Percepat, Paman.”
Jerry tidak bertanya lebih jauh, tapi kakinya menginjak pedal lebih dalam. Mobil melesat, melampaui batas kecepatan normal, menelan jalanan subuh Jakarta yang basah dan lengang.
Ethan mengacak rambutnya kasar, menarik kemejanya lalu merobeknya tak beraturan. Tangannya membuka laci dashboard, mengambil pisau yang masih terbungkus plastik steril. Ethan membukanya tanpa ragu. Ia memejamkan mata sejenak, bukan untuk menenangkan diri melainkan untuk memastikan fokusnya utuh.
“Sssssh…” Ethan sedikit meringis saat pisau itu menggores lengannya sendiri. Darah langsung menetes membasahi lengannya. Tanpa ekspresi, Ethan menggosokkan lengannya yang terluka ke kemeja putihnya. Warna merah menyebar cepat, merusak kesempurnaan kain seperti noda yang tak bisa dihapus.
Jerry tak menoleh, ia tahu tuannya tak melakukan ini tanpa alasan.
Mobil berhenti di sebuah gang kecil yang sempit, gelap, jauh dari jalan utama. Bau tanah basah dan lumpur bercampur dengan udara menjelang pagi.
Ethan menoleh pada Jerry.
“Stand by dalam lima belas menit,” katanya dingin. “Siapkan ruang isolasi markas dan panggil inti Amox ke sana.”
Jerry mengangguk cepat. “Dilaksanakan, Tuan.”
Ethan membuka pintu dan turun. Sepatunya menginjak lumpur, dengan sengaja menyeret kotoran ke celana mahalnya. Ia melangkah masuk ke gang sempit itu, bayangannya memanjang di dinding yang lembap.
celine apapun yg terjadi jangan goyah.
tetap cuek,dingin dan jangan noleh² lagi kemasa lalu.
tak stabil suka naik turun tensi..
dokter bidan tak sanggup obati..
masalahnya cintaku yang kurang gizi..
💃💃💃💃💃 aseeek.. lanjutkan ethan..
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮