Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Keesokan sore, Rada sedang menunggu kedua orang tuanya datang. Ia sudah menyiapkan teh dan beberapa kudapan kecil di meja ruang tamu, tapi tangannya sedikit gemetar sejak pagi. Setiap kali jarum jam berdetak, dadanya terasa makin sesak.
Tepat pukul lima sore, suara bel pintu terdengar. Rada menarik napas panjang, merapikan rambut, dan membuka pintu.
Ayah dan ibunya berdiri di sana, tampak rapi meski wajah mereka menunjukkan lelah perjalanan panjang dari New York.
"Rada…” suara lembut ibunya memecah keheningan, diikuti senyum hangat. “Kamu kelihatan kurusan, Nak. Makanmu masih berantakan, ya?”
Rada berusaha tersenyum. “Iya, Bun… masuk dulu.”
Mereka duduk di ruang tamu. Ayahnya, Edwin Argaya, duduk tegak di sofa, pandangan matanya tajam tapi tenang, seperti biasa. Ia menatap putri bungsunya sejenak sebelum akhirnya berkata,
"Rada, Ayah mau bicara serius.”
Rada menelan ludah.
“Tentang… keluarga Agler?”
Edwin mengangguk pelan.
“Iya. Juan sudah menelpon Ayah kemarin. Kami berbicara cukup lama. Awalnya Ayah pikir ini hanya kesalahpahaman kecil… tapi setelah mendengar bagaimana Gavin memperlakukanmu dengan penuh tanggung jawab, Ayah pikir… tidak ada salahnya mempertimbangkan.”
Rada menatapnya tak percaya.
"Ayah serius?”
“Sangat serius,” jawabnya tenang. “sejak pernikahan kakakmu, ayah berusaha mencari pasangan yang tepat untukmu. Dan kalau boleh jujur, Gavin itu pria dengan reputasi luar biasa. Disiplin, cerdas, tidak suka bermain-main. Bahkan di dunia bisnis, namanya sangat dihormati.”
Bunda yang sedari tadi diam menambahkan dengan suara lembut, “Kami tahu kamu baru saja melewati masa yang berat, Sayang. Tapi mungkin… Tuhan memang sedang menunjukkan arah yang baru lewat kejadian ini.”
Rada meremas jari-jarinya sendiri. Ia tahu kedua orang tuanya tak pernah main-main dalam hal ini.
“Tapi, Yah…” suaranya sedikit bergetar. “Aku bahkan baru kenal dia. Dan semua ini terlalu cepat.”
Edwin menatap putrinya dengan pandangan yang hangat tapi tegas.
“Kadang sesuatu yang baik memang datang tanpa perencanaan, Rada. Ayah tidak memaksamu sekarang, tapi Ayah ingin kamu tahu bahwa Ayah sudah memberikan kata setuju pada keluarga Agler.”
“Jadi… kalian sudah bicara tentang pernikahan?” tanya Rada memastikan.
"Sudah,” jawab Edwin dengan nada mantap. “Dua hari lagi, keluarga Agler mengundang kita ke rumah mereka. Untuk makan malam sekaligus membicarakan langkah selanjutnya.”
Bunda tersenyum lembut sambil menyentuh tangan Rada.
"Anggap saja makan malam itu sebagai pertemuan keluarga, Nak. Tidak ada yang perlu ditakuti.”
Namun Rada tahu, jika pertemuan keluarga sudah direncanakan, maka segalanya sudah bergerak terlalu jauh untuk dihentikan. Ia hanya bisa tersenyum samar sambil berkata pelan,
“Baik, Yah… Bunda.”
Tapi di dalam hatinya, badai mulai bergemuruh. Ia tahu dua hari ke depan akan menentukan segalanya, apakah ia benar-benar akan menjalani pernikahan dengan pria yang hampir tak ia kenal, atau justru menemukan jalan untuk membalik keadaan sesuai rencananya sendiri.
Setelah kedua orang tuanya pamit, Rada berdiri di depan jendela lagi, menatap senja Jakarta yang mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi.
"Dua hari lagi…” gumamnya. “Dua hari sebelum semuanya berubah.”
Malam hari turun dengan tenang di Jakarta. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, memantul di jendela besar apartemen Rada. Di meja kerjanya, berkas-berkas berserakan, surat mutasi kerja, kontrak baru dari kantor pusat yang ada di Indonesia, dan sejumlah dokumen perpindahan yang harus ia tandatangani sebelum pagi.
Ia menghela napas panjang, matanya terasa berat karena sejak siang belum benar-benar beristirahat. Di meja makan, cangkir kopinya sudah dingin, tapi ia tetap menyesap sedikit hanya untuk melawan rasa kantuk.
Suara bel pintu tiba-tiba memecah kesunyian. Rada mendongak, mengerutkan kening.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” gumamnya.
Ia melangkah pelan ke pintu, mengintip lewat lubang intip dan langsung mengembuskan napas dengan malas. Gavin berdiri di sana, dengan wajah tenang khasnya, mengenakan kaus hitam polos dan jaket abu-abu. Di tangannya, dua kantong kertas besar dari restoran mewah tampak penuh makanan.
Rada membuka pintu separuh.
“Kamu ngapain di sini?” tanyanya dingin.
Gavin menatapnya sejenak sebelum menjawab datar,
“Ngantar makan malam.”
“Aku nggak pesan apa-apa.”
“Aku tahu. Ini dari Mamaku.”
Nada suara Gavin tetap tenang, nyaris tanpa ekspresi. Ia mengangkat sedikit kantong kertas itu seolah membuktikan ucapannya.
“Katanya kamu belum makan sejak pagi. Mama nitip lewat aku.”
Rada memutar bola matanya, setengah tidak percaya. “Jadi ibumu tahu aku belum makan?”
“Mama selalu tahu hal-hal aneh semacam itu,” jawab Gavin pendek, masih dengan wajah datar.
Ia meletakkan kantong itu di depan pintu tanpa menunggu izin masuk.
“Kamu nggak harus makan sekarang. Tapi kalau besok pagi perutmu sakit gara-gara kopi dingin itu,” katanya sambil melirik cangkir di tangan Rada, “jangan salahin siapa-siapa.”
Rada mendesah, menatapnya tajam.
"Aku bisa urus diriku sendiri.”
Gavin hanya mengangguk sedikit.
“Aku tahu.”
Lalu ia berbalik hendak pergi.
Tapi sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Rada terdiam sesaat. Ia menatap punggung pria itu, lalu berbisik pelan sebelum sempat menahan diri,
"Gavin,"
Gavin berhenti, tapi tidak menoleh. “Hm?”
“Kenapa kamu ngelakuin semua ini?”
Gavin terdiam sebentar, lalu menjawab pelan tanpa menatapnya. “Karena aku nggak suka lihat seseorang kelaparan saat dia punya tetangga yang bisa bantu.”
Jawaban yang membuat Rada seketika melebarkan matanya, lalu mendengus. "Kalau kamu nggak suka lihat orang kelaparan, kenapa nggak kamu kasih aja makan gelandangan di jalanan? Lagipula aku masih mampu beli makan kok."
Gavin tidak menjawab, ia mengangkat bahunya lalu melangkah pergi ke unit sebelah, meninggalkan aroma lembut makanan yang tiba-tiba membuat perut Rada ikut berontak. Ia menatap kantong kertas itu lama, sebelum akhirnya menghela napas pasrah.
“Dasar aneh…” gumamnya.
Rada berjalan menuju meja makan sambil membawa dua kantong kertas besar itu dengan wajah masam. Setiap langkahnya diiringi gumaman pelan penuh kekesalan.
“Ngapain sih ngirim makanan segala… kayak aku nggak bisa pesan sendiri.”
“Dan alasannya dari Mama. Ya ampun, alasan klasik banget.”
Ia meletakkan kantong itu di meja, membuka satu per satu isinya. Aroma hangat salmon panggang madu dan sup krim jagung langsung menyebar memenuhi ruangan. Perutnya yang sejak siang belum diisi langsung bereaksi, bergemuruh pelan.
“Huh… bagus, sekarang malah lapar beneran,” gumamnya dengan nada pasrah.
Rada melipat lengan bajunya, mengambil sendok, lalu duduk. Wajahnya masih setengah jengkel, tapi matanya mulai melunak saat melihat cara makanan itu dikemas, rapi, bersih, dengan porsi yang pas. Ia bahkan memperhatikan ada potongan lemon di sisi salmon dan secangkir kecil teh herbal yang masih hangat di dalam wadah kaca.
“Mama Gavin sepertinya benar-benar orang yang perhatian,” katanya lirih, meski nada sinisnya belum hilang sepenuhnya. “Tapi anaknya… duh.”
Ia menyendok satu potong kecil salmon, meniupnya perlahan, lalu memasukkan ke mulut.
Hening sejenak.
Wajahnya berubah dari cemberut menjadi terpaksa mengakui sesuatu.
“Enak banget,” bisiknya pelan, hampir tidak rela.
Ia memakan lagi, kali ini dengan tempo lebih cepat. Suasana terasa lebih hangat; rasa gurih lembut makanan itu sedikit menghapus letihnya. Di sela kunyahan, Rada masih saja menggerutu kecil:
“Dasar Gavin… sok perhatian, tapi wajahnya datar kayak robot.”
“Ya udah sih, kalau mau bantu, bantu aja, nggak perlu ngasih tatapan dingin segala.”
Namun, di balik omelannya, ada sesuatu yang berbeda di hatinya malam itu, sejenis rasa hangat yang tidak mau ia akui. Mungkin karena makanan itu benar-benar enak.
Setelah piringnya kosong, Rada menatap wadah makan itu lama, lalu berdecak pelan.
“Oke, Mama Gavin… kali ini aku kalah. Tapi jangan harap anakmu dapat ucapan terima kasih.”
Ia membereskan sisa makanan, lalu duduk di sofa sambil menatap layar laptop yang masih menampilkan berkas mutasi kerjanya. Tapi fokusnya buyar, pikirannya entah kenapa justru melayang ke wajah Gavin yang datar namun anehnya menenangkan.
Ia menggeleng cepat, mencoba menghapus bayangan itu.
“Jangan mulai, Rada. Jangan.”
Namun bibirnya justru tersenyum kecil tanpa sadar. "Tapi benar kata Alia, dia tampan, hanya saja pendiam membuatnya tampak dingin."
... ...