Misda terpaksa harus bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhan keluarga nya. Saat Dikota, mau tidak mau Misda menjadi LC di sebuah kafe. Singkat cerita karena godaan dari teman LC nya, Misda diajak ke orang pintar untuk memasang susuk untuk daya tarik dan pikat supaya Misda.
Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti cerita novelnya di SUSUK JALATUNDA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Murid-murid lain menundukkan kepala, mata mereka tertuju ke lantai, tapi kata-kata itu jelas tertuju pada Wono. Wono sendiri menunduk dalam-dalam, bibirnya rapat, wajahnya berubah menjadi muram penuh beban dan pertimbangan yang dalam. Ketika azan subuh berkumandang, mereka semua bergegas ke masjid kecil di padepokan.
Sunyi dan khidmat mengisi setiap sudut ruangan saat mereka sholat subuh berjamaah. Setelah salam terakhir, Wono melangkah pelan ke sebuah ruangan khusus yang tertutup rapat. Napasnya terdengar berat ketika ia bersujud di atas sajadah. Tangannya gemetar saat menyentuh kain itu, seolah beban dosanya terbenam semakin dalam ke dalam hati.
Wono mulai menunaikan sholat taubat seratus rekaat, raut wajahnya penuh penyesalan yang terpatri. Hari-hari berikutnya, ia hanya ditemani suara lirih bacaan dzikir yang mengalun dari bibirnya.
Setiap kali pintu terbuka untuk mengirim makanan, matanya tak pernah lepas dari kitab kecil yang ia genggam, menahan segala godaan untuk mengalihkan pandangannya. Perintah Ki Kusumo itu melekat keras dalam hatinya tanpa cela harus dijalankan.
Di ruangan lain yang remang-remang, Misda berbaring dengan tenang, tubuhnya terbungkus rapi dalam pakaian sholat yang menutupi auratnya. Beberapa anak muda, laki-laki dan perempuan, duduk mengelilinginya, suara mereka berirama membaca doa-doa ruqyah.
Udara terasa berat, dipenuhi harap dan kekhusyuan. Tali kasar melilit tubuh Misda, menekan perlahan tanpa melukai. Meski terasa sempit, wajahnya tetap tenang, matanya sesekali terpejam, seolah berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Di dalam diam, tekadnya membara ingin benar-benar membersihkan jiwa dari belenggu gaib yang selama ini mengurungnya. Saat seorang murid dari padepokan silat Ki Kusumo memberi arahan, Misda menuruti dengan penuh rasa percaya, walau perasaan gugup bercampur harap terus menghantui.
Di tengah lantunan ayat-ayat yang bergema, tubuh Misda tiba-tiba gemetar tak tertahankan. Kepalanya berputar, seolah dunia menjeratnya dalam pusaran yang kian mencekam. Ia ingin meronta, melepaskan diri dari tali tak kasat mata yang membelenggunya.
Amarahnya membakar dada, ingin sekali ia berteriak menghentikan semua doa dan bacaan yang menimpa dirinya. Namun suara itu tercekik dalam dada, tak satupun santri yang mengalihkan pandangannya. Tatapan mereka tetap terpaku, seolah kemarahan Misda hanyalah angin lalu yang tak perlu didengar.
Murid-murid lain menundukkan kepala, mata mereka tertuju ke lantai, tapi kata-kata itu jelas tertuju pada Wono. Wono sendiri menunduk dalam-dalam, bibirnya rapat, wajahnya berubah menjadi muram penuh beban dan pertimbangan yang dalam. Ketika azan subuh berkumandang, mereka semua bergegas ke masjid kecil di padepokan.
Sunyi dan khidmat mengisi setiap sudut ruangan saat mereka sholat subuh berjamaah. Setelah salam terakhir, Wono melangkah pelan ke sebuah ruangan khusus yang tertutup rapat. Napasnya terdengar berat ketika ia bersujud di atas sajadah. Tangannya gemetar saat menyentuh kain itu, seolah beban dosanya terbenam semakin dalam ke dalam hati.
Wono mulai menunaikan sholat taubat seratus rekaat, raut wajahnya penuh penyesalan yang terpatri. Hari-hari berikutnya, ia hanya ditemani suara lirih bacaan dzikir yang mengalun dari bibirnya.
Setiap kali pintu terbuka untuk mengirim makanan, matanya tak pernah lepas dari kitab kecil yang ia genggam, menahan segala godaan untuk mengalihkan pandangannya. Perintah Ki Kusumo itu melekat keras dalam hatinya tanpa cela harus dijalankan.
Di ruangan lain yang remang-remang, Misda berbaring dengan tenang, tubuhnya terbungkus rapi dalam pakaian sholat yang menutupi auratnya. Beberapa anak muda, laki-laki dan perempuan, duduk mengelilinginya, suara mereka berirama membaca doa-doa ruqyah.
Udara terasa berat, dipenuhi harap dan kekhusyuan. Tali kasar melilit tubuh Misda, menekan perlahan tanpa melukai. Meski terasa sempit, wajahnya tetap tenang, matanya sesekali terpejam, seolah berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Di dalam diam, tekadnya membara ingin benar-benar membersihkan jiwa dari belenggu gaib yang selama ini mengurungnya. Saat seorang murid dari padepokan silat Ki Kusumo memberi arahan, Misda menuruti dengan penuh rasa percaya, walau perasaan gugup bercampur harap terus menghantui.
Di tengah lantunan ayat-ayat yang bergema, tubuh Misda tiba-tiba gemetar tak tertahankan. Kepalanya berputar, seolah dunia menjeratnya dalam pusaran yang kian mencekam. Ia ingin meronta, melepaskan diri dari tali tak kasat mata yang membelenggunya.
Amarahnya membakar dada, ingin sekali ia berteriak menghentikan semua doa dan bacaan yang menimpa dirinya. Namun suara itu tercekik dalam dada, tak satupun santri yang mengalihkan pandangannya. Tatapan mereka tetap terpaku, seolah kemarahan Misda hanyalah angin lalu yang tak perlu didengar.