NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4. Pramudya

"Mari Ndoro, saya pijit biar hilang sakit kepalanya."

Soedarsono duduk di kursi hanya mengenakan celana panjang hitam. Dadanya yang bidang mengkilat disorot cahaya lampu minyak. Ada beberapa uban baru pada rambut lurusnya yang disisir klimis ke belakang, tanda usia yang mulai menua.

Pariyem berdiri di belakangnya, tangan dibalur minyak harum menenangkan. Ia mulai memijat bahu dan leher dengan gerakan yang sudah hafal, menekan titik-titik yang tepat, memutar dengan tekanan pas. Soedarsono mulai rileks, bahunya yang tegang perlahan mengendur.

Kaki Soedarsono terbuka lebar, isyarat mengundang. Pariyem berpindah ke depan, berdiri di antara kedua kaki itu untuk memijat bahu dan leher belakang. Soedarsono membenamkan wajah di dada yang penuh. Harum minyak melati dari tubuh Pariyem, membuat pria itu semakin rileks.

Tangannya mulai memeluk pinggul Pariyem, menariknya mendekat. Kepalanya semakin terbenam di dada yang penuh. Napasnya hangat di kulit yang terbuka di atas kebaya. Mata terpejam, menikmati pijatan di leher belakang.

"Kamu semakin kurus, Yem." Soedarsono menyusurkan tangannya dengan lembut ke punggung, merasakan kebaya bagian belakang yang longgar.

“Nanti kukirim penjahit kebaya ke sini, menjahitkanmu baju-baju yang bagus, tidak kebesaran seperti ini.”

Perlahan ia mengangkat wajah, dengan lembut mendorong mundur sang istri, mengamati dari atas ke bawah, dan berhenti di lekuk yang padat menyembul.

"Tapi pas," jakunnya naik turun dengan berat. "Kamu subur, Yem. Berikan aku anak lagi. Biar Ibu semakin senang. Sekarang Ibu sibuk dengan cucunya, tidak banyak mengatur aku. Aku agak bebas."

Tangannya dengan lembut menyusuri pinggul, menarik perempuan itu lagi dalam pelukan. Pariyem hanya tersenyum, tangannya kembali sibuk memijat, tapi dadanya berdetak kencang.

"Pram sekarang bertambah lucu.” Suara Soedarsono kembali teredam di dada yang penuh. “Ibu menghabiskan sebagian besar waktu dengan dia, bahkan terkadang malas pergi ke undangan pesta, lebih memilih menimang cucunya."

Pram. Jadi nama putranya Pramudya. Nama yang bagus. Nama ningrat.

Pariyem menekan titik-titik tegang di punggung Soedarsono dengan lebih kuat, menyalurkan emosinya lewat pijatan. Sang suami semakin tenggelam ke dadanya, napasnya mulai memburu, erangan puas sesekali terdengar.

Pariyem memberanikan diri. "Dek Kulsum apa belum isi, Ndoro?"

"Belum." Suara Soedarsono parau, napasnya panas menyapu. "Kulsum itu lebih kurus dari Lastri dulu. Rajin sekali berpuasa. Masih terlalu muda, baru empat belas tahun. Sepertinya dia juga tidak subur. Padahal Ibu sudah berharap, ingin memperkuat hubungan dengan pesantren. Kalau kamu bisa memberi cucu lagi, mungkin hati Ibu akan sedikit melunak padamu."

Ada harapan kecil dalam hati Pariyem. Tapi dia tahu itu tak akan berhasil. Dia kenal betul ibu mertuanya. Perempuan tua itu sangat kaku soal darah ningrat. Baginya, Pariyem hanya alat produksi cucu, tidak lebih karena tak punya fungsi politik seperti Kulsum.

Tapi Pariyem tak terlalu peduli tentang sang mertua. Harapan satu-satunya adalah Soedarsono yang mungkin bisa memberinya kesempatan bertemu putranya. Tapi dia tak langsung meminta. Dia tahu diri. Dia harus menyenangkan majikannya dulu sebelum mendapat upah.

Tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Soedarsono, padahal ia ingin tahu lebih tentang putranya. Hanya suara napas memburu di dadanya. Tubuhnya semakin erat didekap.

"Mari Ndoro, saya pijat di ranjang," bisik Pariyem ke telinga suaminya dengan suara yang dibuat selembut mungkin.

Soedarsono dengan enggan mengangkat wajah, mendongak dengan senyum puas, bibirnya basah, sudut bibirnya yang melengkung sedikit menggenang warna putih susu.

"Cuma kamu yang paling mengerti aku, Yem."

Bukan mengerti. Tapi terpaksa memahami untuk bertahan hidup, batin Pariyem.

Pariyem tersenyum, senyum yang dipaksakan semenawan mungkin. Tangannya dengan lembut menyeka sudut bibir sang suami dengan gerakan lambat menggoda.

"Mari Ndoro, ke tempat tidur. Malam ini saya akan membuat Ndoro lupa sejenak semua masalah di kadipaten."

Pariyem mengulurkan tangan dengan gestur manja, menarik Soedarsono ke ranjang berukir naga. Kasur kapuk yang dihamparkan seprei putih sudah ditaburi bunga melati. Aromanya memenuhi ruangan, bercampur dengan asap dupa cendana.

Di atas ranjang itu, Pariyem melanjutkan tugasnya, memijat dengan tangan yang terampil, melayani dengan sebaik mungkin, memberikan apa yang diminta tanpa protes.

Dan ketika Soedarsono akhirnya tertidur pulas dengan napas teratur, Pariyem berbaring di sampingnya dengan mata terbuka lebar. Menatap langit-langit kamar yang gelap.

Tangannya meraba perutnya yang kosong, membayangkan putranya sedang tidur di ranjang mewah di kadipaten, disusui perempuan ningrat.

Air mata mengalir diam-diam di pipinya. Dia menangis tanpa suara, sudah terbiasa memendam luka dalam sunyi.

Di luar, burung hantu bersuara. Suara yang menyayat malam, seperti tangisan bayi yang terpisah dari ibunya. Pariyem menutup mata, mencoba tidur. Tapi yang terbayang hanya mata hijau Marius Vecht yang menatapnya dengan pengertian tadi sore.

"Di negeri saya, setiap ibu berhak melihat anaknya."

Kata-kata itu terus berputar di kepalanya hingga fajar menyingsing, memberikan secercah harapan yang berbahaya di tengah kegelapan hidupnya, tentang perjuangan seorang ibu untuk mendapatkan bayinya kembali.

Fajar mulai menyingsing ketika dia akhirnya menyerah mencari tidur. Dengan hati-hati agar tak membangunkan Soedarsono, dia turun dari ranjang. Kakinya yang telanjang menyentuh lantai kayu yang dingin.

Di kamar mandi, dia memandangi wajahnya di cermin kecil. Wajah yang dulu penuh semangat berjuang hidup, kini lesu. Wajah seorang perempuan yang kehilangan separuh jiwanya.

Dengan telaten dia mandi air dingin, menggosok tubuhnya hingga bersih. Bedak dioleskan ke wajah, menyembunyikan kelelahan. Pemerah bibir dari buah pinang membuat bibirnya tampak segar. Celak hitam di mata membuatnya terlihat lebih hidup.

Ketika dia kembali ke kamar, Soedarsono sudah bangun. Duduk di tepi ranjang dengan rambut acak-acakan, tampan seperti biasa.

"Ndoro mau mandi?" tanya Pariyem lembut, sudah kembali ke perannya.

Soedarsono mengangguk. “Ya, aku harus ke kantor residen pagi ini. Ada rapat.”

Pariyem menyiapkan air hangat di bak kayu, menuangkan minyak wangi beraroma cendana kesukaan sang suami. Dia membantu melepas celana tidur Soedarsono, menggosok punggungnya dengan sabun impor Eropa sambil memijat ringan.

"Kau tidak tidur?" tanya Soedarsono, mata terpejam, menikmati setiap pijatan.

"Tidur, Ndoro. Cuma terbangun lebih awal."

Soedarsono tidak berkomentar. Dia membiarkan Pariyem menggosok lengannya, dadanya, dengan gerakan memutar yang sudah hafal.

Setelah mandi, Pariyem membantu mengeringkan tubuh Soedarsono dengan kain halus. Menyiapkan pakaian—beskap hitam dengan sulaman emas, kain batik parang rusak, sabuk dengan keris pusaka. Setiap lipatan dia rapikan dengan teliti.

Usai sholat subuh, Soedarsono berdiri di depan Pariyem. Tangannya mengangkat dagu istrinya, menatap mata yang sembab meski sudah ditutupi celak.

Kemudian dia mengecup dahi Pariyem. Lama. Hangat. Hal yang jarang terjadi mengingat biasanya Soedarsono langsung terburu pergi begitu selesai meluapkan hasrat.

1
SENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
SENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
SENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!