NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:322
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langit Yang Terbelah

Suara guntur menggema di atas kota.

Langit tidak lagi terlihat seperti langit—warnanya campuran ungu tua dan hitam, dengan guratan cahaya hijau yang berlari cepat seperti urat nadi raksasa.

Dari halaman rumah, aku menatap ke atas.

Langit benar-benar terbelah.

Bukan peribahasa. Bukan bayangan.

Retakan besar membentang di udara, menganga seperti luka yang belum tertutup.

Dan dari celah itu, jatuh butiran cahaya kecil… lalu berubah menjadi bayangan.

Ryou berdiri di sampingku, matanya tajam menatap ke arah langit.

“Waktu mulai runtuh,” katanya datar.

Aku menggenggam liontin di leherku. “Kita harus menutup gerbang itu.”

“Tidak semudah itu,” jawabnya cepat. “Gerbang Kedua tidak bisa ditutup dari sini. Ia hanya bisa ditutup dari dalam.”

Aku menatapnya. “Maksudmu… kita harus masuk ke dalam gerbang itu?”

Dia menatapku balik. “Atau biarkan dunia ini tertulis ulang.”

Angin bertiup kencang, membawa aroma logam dan bunga plum yang samar.

Aku teringat malam ketika Akira terakhir memelukku di bawah hujan—aroma itu sama.

Jantungku terasa bergetar aneh.

Seakan waktu sendiri sedang memanggilku lagi.

Di dalam rumah, Aki terbangun karena suara gemuruh.

Dia keluar sambil mengucek mata. “Sensei… kenapa langitnya rusak?”

Aku berjongkok di hadapannya, menyentuh bahunya pelan.

“Dengar, Aki. Apa pun yang terjadi nanti, kau harus tetap di sini, ya?”

Dia menggeleng cepat. “Aku mau ikut!”

“Nggak bisa.”

“Tapi aku takut sendirian!”

Nada suaranya membuatku diam. Ada sesuatu di dalam matanya—cahaya samar yang sama seperti liontin di leherku.

Ryou menatapnya dari belakang, wajahnya tiba-tiba serius.

“Mika,” katanya pelan, “anak ini… bukan manusia biasa.”

Aku menoleh cepat. “Apa maksudmu?”

“Dia bagian dari inti waktu. Mungkin bahkan, potongan dari Akira sendiri.”

Aku memandang Aki yang kini menunduk.

“Sensei,” bisiknya, “aku sering dengar suara di kepala. Katanya aku harus jaga kau. Tapi aku nggak tahu kenapa.”

Hatiku bergetar. “Aki… suara itu milik siapa?”

Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Ayah.”

Udara di sekitar kami tiba-tiba bergetar. Liontin Aki dan milikku bersinar bersamaan.

Ryou langsung menarik pedang dari sarungnya. “Dia terhubung dengan gerbang. Kalau energi itu keluar tanpa kendali, langit bisa benar-benar runtuh!”

Aku menggenggam tangan Aki erat. “Lihat mataku, Aki! Fokus padaku!”

Dia mengangguk, tapi cahaya di tubuhnya makin kuat.

Suara guntur meledak di atas kepala kami—dan seketika seluruh langit memekik.

Cahaya putih memancar dari tubuh Aki, menembus atap rumah, menembus awan, lalu masuk ke retakan langit.

Angin berputar kencang, membuat dedaunan terangkat ke udara.

Ryou berteriak menahan keseimbangan. “Dia membuka jalur langsung ke gerbang!”

Aku mencoba menarik Aki ke pelukanku, tapi saat tanganku menyentuh bahunya, mataku langsung tertutup oleh cahaya.

Dalam sekejap, aku tidak lagi berdiri di rumah.

Aku berada di tengah langit.

Angin tidak terasa seperti udara.

Ia seperti arus waktu—hangat, tapi berat, mengalir di sekeliling tubuhku.

Di bawahku, dunia terlihat kecil dan hancur.

Di atas, aku melihat celah raksasa yang berputar pelan, membentuk spiral cahaya.

Di tengahnya, sosok-sosok hitam beterbangan seperti abu.

Aku mendengar suara Akira.

“Mika…”

Aku menatap ke arah cahaya. “Akira! Di mana kau?”

“Gerbang Kedua terbuka karena masih ada bagian dari waktu yang tidak menerima akhir.”

“Apa maksudmu?”

“Cinta kita melahirkan dunia baru. Tapi cinta juga meninggalkan jejak—dan jejak itu sekarang menuntut bentuknya kembali.”

Aku menatap ke bawah, tempat tubuh Aki yang kini melayang di udara, cahaya putih dari tubuhnya berdenyut kuat.

“Dia,” kata Akira lagi, “adalah bentuk waktu yang kau dan aku tinggalkan. Tanpa arah, tanpa masa, tapi penuh cinta.”

Aku menelan ludah, air mata jatuh tanpa kusadari. “Apa yang harus kulakukan?”

“Bantu dia menemukan wujudnya. Atau waktu akan mencari jalannya sendiri, dan dunia akan menulis ulang segalanya.”

Tiba-tiba, langit berguncang keras.

Cahaya hijau dari retakan berubah menjadi merah, seperti darah yang mengalir di udara.

Ryou muncul di sampingku—ya, di tengah langit, entah bagaimana.

“Mika! Aki kehilangan kendali! Kita harus hentikan!”

Aku menatap ke bawah, Aki mulai menangis, tubuhnya diselimuti pusaran energi.

“Ayah… sakit…” bisiknya.

Aku melayang turun, menembus arus waktu itu, memeluknya sekuat tenaga.

“Aki, dengarkan aku! Kau bukan alat waktu! Kau hidup karena cinta, bukan karena takdir!”

Dia menggenggam bajuku erat, tubuhnya gemetar. “Aku nggak mau hilang, Sensei…”

“Dan kau nggak akan hilang!”

Cahaya di sekeliling kami makin terang, lalu…

semua menjadi diam.

Ketika aku membuka mata lagi, aku berada di tempat yang sama sekali berbeda.

Tanah putih membentang tanpa ujung, langitnya seperti kaca retak.

Aki berdiri di sebelahku, matanya kini berwarna perak.

Ryou berdiri tak jauh, menatap sekeliling dengan pedang siap di tangan.

“Apa ini… dunia di dalam gerbang?” tanyaku pelan.

Ryou mengangguk. “Dunia di antara waktu. Tempat semua masa berkumpul sebelum ditulis ulang.”

Aku memandang sekeliling.

Di kejauhan, aku melihat bayangan bangunan—potongan kota modern, menara kaca, dan di sampingnya, istana Hayashida.

Semuanya tumpang tindih seperti dua foto yang dipaksa menjadi satu.

“Dunia mencoba menggabungkan semuanya,” bisikku. “Tapi itu mustahil…”

Ryou menatapku. “Tidak, Mika. Ini cara waktu menunjukkan, bahwa ia tidak lagi mau diatur oleh cinta atau takdir. Ia ingin menjadi dirinya sendiri.”

Sebelum aku sempat menjawab, tanah di bawah kami bergetar.

Dari celah di tanah, muncul sosok tinggi berselimut jubah hitam.

Wajahnya tertutup, tapi suaranya dalam dan berat.

“Akhirnya kau datang, Penjaga Waktu.”

Aku melangkah mundur. “Siapa kau?”

“Aku… yang dilupakan. Bayangan dari semua masa yang kau tolak.”

Ryou menatap tajam. “Kau bukan manusia.”

“Benar. Aku bukan siapa pun. Aku hanyalah bentuk dari keinginan waktu untuk bebas.”

Tanah retak makin lebar, dan dari dalamnya, ratusan bayangan keluar—setiap satu menyerupai seseorang yang kukenal: Riku, Permaisuri Mei, bahkan diriku sendiri.

Aki bersembunyi di belakangku. “Sensei…”

Aku menggenggam tangannya. “Jangan takut. Mereka hanya bayangan.”

“Tidak,” kata sosok itu, suaranya bergema di seluruh ruang. “Mereka adalah masa yang kau tolak untuk lupakan. Dan kali ini, masa itu akan mengambilmu.”

Dia mengangkat tangannya, dan bayangan-bayangan itu mulai bergerak maju.

Aku menatap Ryou cepat.

“Kita harus lindungi Aki.”

Dia mengangguk, lalu berlari ke depan, pedangnya bersinar biru, menebas gelombang pertama bayangan yang datang.

Aku memeluk Aki, menariknya mundur.

Cahaya dari liontin kami berdua mulai bergetar kuat.

“Mika!” teriak Ryou dari depan. “Gerbang akan menutup! Kalau kita tetap di sini, kita—”

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, cahaya besar meledak di atas kami.

Langit benar-benar pecah, dan dari dalam cahaya itu, aku mendengar suara Akira lagi.

“Mika… kali ini, jangan lawan waktu. Pimpin dia.”

Aku menatap ke atas, air mata bercampur dengan cahaya.

“Kalau begitu, bantu aku sekali lagi, Akira.”

Cahaya turun seperti hujan, menyelimuti dunia putih itu.

Bayangan-bayangan mulai meleleh, berubah jadi kabut.

Dan di tengah badai cahaya itu, aku menggenggam tangan Aki erat.

“Kita tidak akan biarkan waktu menulis ulang kita, Aki. Kali ini, kita yang menulis waktunya.”

Langit pecah sempurna, cahaya menyelimuti segalanya.

Dunia berguncang.

Dan sebelum semuanya hilang, aku mendengar suara Akira, lembut dan jauh:

“Selamat datang di ujung waktu, Mika.”

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!