“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Gara-gara Obat Si4lan
Alex ingin mencarinya, namun sekujur tubuhnya terasa panas, meremang, dan menggigil aneh. Nafasnya mulai berat, dadanya seperti terbakar dari dalam. Dia tahu betul apa yang sedang terjadi—dan dia tahu siapa dalangnya.
“Sial! Kenapa dia tak pernah berhenti mencampuri urusanku?” geramnya sembari mengepal setir.
Tanpa pikir panjang, kakinya menginjak pedal gas dalam-dalam. Dia tidak bisa kembali ke rumah, tidak dalam keadaan seperti ini, dan terlebih lagi, Eve menghilang. Satu-satunya tempat yang terpikir olehnya—apartemen Rayyan.
Alex menghentakkan tangannya ke pintu dengan keras. Nafasnya terengah, tubuhnya berkeringat deras, dan hasrat yang mengamuk dalam dirinya sudah mencapai ambang batas. Untungnya Rayyan segera membuka pintu sebelum Alex benar-benar menerobos.
“Tuan?!” Rayyan terbelalak melihat penampilan Alex yang kusut, tubuhnya basah oleh keringat, matanya merah menyala.
Alex langsung menerobos masuk tanpa permisi, menjatuhkan jasnya, lalu melempar kemejanya ke lantai hingga kini ia hanya mengenakan celana panjang—dada bidangnya naik-turun karena menahan desakan panas yang tidak normal.
“Ibuku ... dia mencampur sesuatu ke dalam sup. Obat—obat per4ngsang. Tapi itu urusan nanti. Yang lebih penting sekarang, apa Edgar masih mengikuti Eve?”
“Anda yang memintanya berhenti kemarin.”
“Telepon dia. Suruh dia cari Eve. Wanita itu menghilang sejak sore!”
Rayyan langsung bergerak tanpa banyak tanya. Tangannya sigap menekan nomor Edgar dan memberi perintah dengan cepat dan tegas, suaranya nyaris tak terdengar karena terdampingi oleh kepanikan Alex yang terus melangkah mondar-mandir seperti hewan buas yang dikurung.
Sambil menunggu kabar, Rayyan menyiapkan bak mandi besar dan mengisinya dengan air sedingin mungkin. Ini cara tercepat untuk meredakan efek obat—setidaknya menenangkan gejalanya.
“Baknya sudah siap, Tuan. Anda bisa berendam sekarang,” ujar Rayyan, kembali ke ruang tengah.
Alex hanya mengangguk sekali, kasar, lalu melangkah menuju kamar mandi dengan gontai namun gelisah. “Temukan Eve. Segera. Dan kabari aku saat kau menemukannya. Jika dia benar-benar kabur dariku … aku bersumpah, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi.”
“Baik, Tuan,” jawab Rayyan, mengiyakan dengan tenang meski tekanan dalam ruangan terasa seperti akan meledak kapan saja.
Begitu Alex menghilang ke dalam kamar mandi, Rayyan kembali menghubungi anak buah Alex dan memperluas pencarian ke seluruh tempat yang mungkin Eve kunjungi—bar, toko roti, bahkan rumah keluarga Geraldine. Tapi sejauh ini, nihil.
Edgar datang hanya beberapa menit kemudian. Rayyan langsung menyuruhnya masuk, sementara Alex masih terkunci dalam kamar mandi, berulang kali membasuh wajahnya dan berendam, tapi tidak ada yang cukup untuk meredam gejolak yang mengamuk dalam darahnya.
“Laureen …,” gumamnya di antara desah napas, “...apa yang sebenarnya kau pikirkan?”
Laureen memang mencampurkan obat itu ke dalam sup dengan harapan menciptakan momen intim antara anak dan menantunya. Dia hanya ingin cucu. Tapi yang dia tidak tahu—sisi gelap Alex.
Alex keluar dari kamar mandi, matanya lebih gelap dari sebelumnya, wajahnya tegang, bahkan suhu tubuhnya masih belum turun.
“Sialan! Ini tidak membantu sama sekali!”
Edgar berdiri tegak. “Tuan, saya sudah periksa semua tempat. Tidak ada jejak Nyonya. Termasuk rumahnya.”
Alex menggeram, tangannya mencengkeram keningnya yang berdenyut. “Lacak plat mobilnya. Aku sudah coba telepon dia berkali-kali, tapi ponselnya mati.”
Edgar segera menuruti perintah itu, jari-jarinya lincah di atas laptop. Sementara itu, Alex kembali berjalan mondar-mandir, seperti menahan letusan dari dalam tubuhnya. Dia berkali-kali mencuci wajah, berulang kali memijat pelipis, tapi hasrat itu semakin liar, membakar, menyiksa.
“Saya menemukannya!”
Rayyan dan Alex serentak menoleh. Alex langsung menyambar laptop dari tangan Edgar dan menatap layar dengan sorot tajam.
“Kafe Monalisa?” dahinya mengernyit. “Dia tidak pernah ke tempat itu.”
Rasa gelisahnya berubah menjadi bara. Dia tahu ini tidak biasa. Alex berbalik, meraih jas hitamnya, dan langsung menuju pintu. “Rayyan, bawa dia pulang sekarang juga. Aku tidak bisa menahannya lagi.”
Rayyan berdiri menghalangi pintu. “Saya ikut dengan Anda.”
Alex menghentikan langkahnya sejenak. “Tidak. Kau urus dia. Aku akan pulang pagi nanti.”
“Tidak bisa. Saya tidak akan membiarkan Anda keluar dalam keadaan seperti ini.”
Alex hanya menatapnya dingin. Tapi Rayyan tak bergeming. Keduanya saling bertatapan, dua pria keras kepala dengan niat yang berbeda.
Akhirnya, Alex menghela napas keras. “Baik. Tapi jangan halangi aku kalau nanti aku—”
“Kalau Anda kehilangan kendali, saya yang akan menghentikan Anda sendiri,” potong Rayyan tegas.
Mungkin niat Laureen sebenarnya baik—dia hanya ingin Alex dan Eve menjalin hubungan lebih serius. Namun, sayangnya, dia sama sekali tidak memahami anaknya. Dan itu ... adalah kesalahan yang fatal.
Rayyan menghentikan mobil di depan sebuah bar yang dulu sempat menjadi rumah kedua bagi Alex. Tempat itu menyimpan banyak kenangan liar dan kelam, yang selama ini berusaha dia kubur sejak Nic membantunya melepaskan diri dari dunia gelap tersebut.
Tapi malam ini, gara-gara obat sialan itu, Alex kembali menginjakkan kaki di sana—bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk meredam sesuatu yang mengamuk dari dalam.
Rayyan mengikuti dari belakang, tetap menjaga jarak namun cukup dekat untuk berjaga. Alex terus melangkah dengan langkah panjang dan tergesa, melewati para pelanggan yang menoleh karena auranya yang begitu menyala malam itu.
Tak butuh waktu lama hingga dia sampai di meja bar—di mana Paula tengah tertawa kecil di antara beberapa lelaki yang langsung terdiam begitu melihat kedatangan Alex.
Paula mematikan rokoknya dengan gerakan anggun lalu berdiri. “Merindukan tempat ini?” tanyanya dengan senyum nakal.
Alex tidak menjawab. Dia hanya menarik napas berat, menyisir rambutnya ke belakang dengan gelisah. Tubuhnya masih dipenuhi sisa gejolak yang belum tersalurkan. Paula cukup peka untuk memahami.
“Masuklah. Aku tahu kau tidak ke sini untuk bersenang-senang,” ucap Paula, lalu membawanya ke lorong remang yang menuju salah satu ruangan pribadi.
Mereka tiba di sebuah kamar yang dipenuhi wanita-wanita muda dengan penampilan minim. Mereka berdiri sejajar, menatap Alex dengan tatapan haus perhatian. Semuanya cantik, tubuh sempurna, dan jelas ... tersedia.
“Sejak kau pergi, mereka yang terbaik di sini. Belum ada yang memiliki mereka.” Paula bicara lembut, membiarkan Alex menilai.
Mata Alex menyapu mereka satu per satu. Tapi tak satu pun yang mampu menyalakan gairahnya. “Aku hanya butuh malam ini. Tanpa kontrak, tanpa ikatan.”
Paula mengangguk pelan. “Tentu. Pilih sesukamu.”
Namun Alex mendengus. “Kau tidak punya yang lebih baik?”
Paula terkekeh pelan, menggoda. “Selera lamamu ternyata belum berubah. Ikut aku—aku simpan sesuatu yang spesial.”
Ia membawanya menuju ruangan paling ujung, dijaga dua pria berbadan besar. Saat pintu dibuka, tiga wanita di dalam ruangan menoleh bersamaan. Namun, satu di antara mereka tampak terguncang. Gelas di tangannya jatuh dan pecah di lantai.
Alex menatapnya. Waktu seperti berhenti.
Pandangan mereka bertaut—panik, bingung, dan sesuatu yang lebih dalam.
Namun Alex segera memalingkan wajah, seolah menyangkal apa yang dilihatnya.
Paula melihat itu. “Bagaimana, Alex? Ada yang menarik perhatianmu?”
Alex masih diam, tapi Paula sudah tahu jawabannya. “Baiklah, sepertinya kau sudah menjatuhkan pilihan.”
Rayyan tidak ikut masuk. Ia memilih duduk di meja bar, menatap pintu ruangan yang kini tertutup. Tangannya menggenggam ponsel.
“Bagaimana?” tanyanya kepada Edgar.
“Masih belum, Pak. Saya sedang menyelidiki CCTV di sekitar tempat ini. Tapi tidak ada tanda-tanda Nyonya.”
“Kalau kau butuh bantuan, bawa pengawal bersamamu. Kabari aku jika kau menemukannya.”
“Baik.”
Rayyan memijat pelipisnya. Ada perasaan tak enak. Ini bukan sekadar Eve menghilang—ini seperti ada seseorang yang sengaja membawanya pergi. Satu nama muncul di pikirannya: Noah. Jika benar pria itu alasannya, maka Rayyan tidak akan membiarkan Noah lolos begitu saja.
Sementara itu, Alex kini berdiri sendirian di dalam kamar bersama wanita pesanannya. Wanita itu menunduk dengan patuh, tidak berkata sepatah kata pun. Alex menatapnya tajam, dari atas ke bawah. Dia masih berusaha menyulut sesuatu dalam dirinya.
“Kau tahu aturannya. Aku tidak akan mengulangnya,” ucapnya datar.
“Iya, Tuan,” jawab wanita itu.
“Buka bajumu. Berlutut di sana.”
Tanpa ragu, wanita itu menuruti. Dress-nya meluncur ke lantai. Kini hanya tersisa pakaian dalam yang tipis. Tapi Alex tak juga bereaksi. Bahkan saat wanita itu melepas semuanya dan berlutut seperti yang diperintahkan, gairah dalam dirinya justru memudar.
Alex hanya mengelilinginya pelan, matanya kosong, tubuhnya masih mendidih, tapi bukan karena wanita itu. Ada kekosongan yang tak bisa diisi.
“Persetan …!” desisnya. “Pakai bajumu lagi. Aku tidak tertarik. Tapi kau akan tetap kubayar penuh.”
Wanita itu menatapnya bingung, tapi segera menurut. Alex meraih kembali jasnya, memasangkannya dengan kasar lalu membuka pintu.
Paula yang mendengar suara langkahnya segera menyusul. “Alex? Ada yang salah? Apakah dia mengecewakanmu?”
“Tidak. Tapi aku tetap akan membayar penuh,” sahutnya pendek, tanpa berhenti berjalan.
Rayyan segera berdiri dan menyusul dari belakang.
“Kau sudah temukan dia?”
“Belum. Dan saya rasa Nyonya tidak kabur sendiri. Seseorang membawanya.”
Alex mengepalkan tangan. “Temukan dia malam ini juga. Kerahkan semua pengawal. Periksa setiap sudut kota kalau perlu. Aku tak peduli bagaimana caranya—bawa dia kembali padaku.”
***