NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 / THTM

Sudah beberapa hari ini Elara merasa ada yang berbeda dari Nayara.

Sahabatnya itu masih tersenyum seperti biasa, masih rajin membantu guru, masih duduk di kursi yang sama. Tapi ada sesuatu yang berubah di matanya — seperti ada jarak di sana, seperti senyum yang dipaksakan.

“Ra, aku duluan, ya.”

Nayara mengemasi buku-bukunya lebih cepat dari biasanya. Suaranya lembut, tapi terburu-buru.

Elara menatapnya, kening berkerut. “Kenapa gak bareng? Kita selalu—”

“Aku ada urusan dikit,” potong Nayara sambil memaksakan senyum, lalu berjalan keluar kelas tanpa menoleh lagi.

Elara hanya diam. Dadanya terasa aneh — seperti ada sesuatu yang sedang ditutupi oleh sahabatnya sendiri.

Sore itu, Nayara berjalan cepat di trotoar menuju rumah. Angin menyentuh pipinya lembut, tapi justru membuat dadanya makin sesak.

Sudah seminggu ia berusaha menghindari siapa pun yang mengingatkannya pada Alaric.

Tapi semakin keras ia mencoba melupakan, semakin kuat bayangan pria itu melekat di pikirannya.

Tiap langkah seperti membawa gema suara itu — suara berat yang menuntut, dingin, dan terlalu dalam untuk diabaikan.

“Kau pikir bisa sembunyi selamanya?”

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Nayara, bahkan saat yang ia dengar hanya suara lalu lintas sore hari.

Sebuah klakson pendek membuyarkan lamunannya.

Mobil hitam berhenti perlahan di sisi jalan.

Kaca jendela menurun.

Alaric.

Darahnya terasa berhenti mengalir sesaat.

Pria itu duduk santai di balik kemudi, mengenakan kemeja abu lembut yang kontras dengan tatapan matanya yang tajam.

“Naik,” katanya datar.

Nada suaranya tenang, tapi membuat tubuh Nayara menegang seketika.

“Aku cuma mau pulang,” bisiknya pelan.

“Ya, aku tahu,” jawab Alaric ringan. “Aku juga ke arah sana.”

Ada jeda panjang. Nayara menatap wajahnya sekilas—menilai, menimbang, lalu menyerah. Ia membuka pintu dan duduk di kursi penumpang.

Mobil melaju perlahan. Tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan detak jantung Nayara yang semakin cepat.

Sesekali ia mencuri pandang. Alaric tampak terlalu tenang untuk seseorang yang dulu membuat hidupnya berantakan.

“Sudah lama,” kata Alaric tiba-tiba.

Nayara menatap keluar jendela. “Aku gak kabur.”

“Oh?” senyum tipis muncul di sudut bibir pria itu.

“Aku cuma… mau tenang.”

“Tenang?” Alaric menatapnya sekilas, sorot matanya seperti bilah dingin. “Kau pikir aku bisa membiarkanmu tenang?”

Nayara mengepalkan tangannya di pangkuan. “Kamu udah dapetin semua yang kamu mau, kan? Kenapa masih ngikutin aku?”

“Karena belum selesai,” jawab Alaric pelan. “Aku gak suka sesuatu berhenti di tengah.”

Mobil berhenti di depan gang kecil menuju rumah Nayara.

Sebelum Nayara sempat turun, Alaric mencondongkan tubuh sedikit, suaranya turun jadi bisikan.

“Aku harap kamu gak berpura-pura melupakanku, Nayara. Karena aku gak akan membiarkanmu melupakanku.”

Nada suaranya begitu halus, tapi ancamannya terasa nyata.

Malamnya, Elara menelpon.

“Ra, aku tadi liat kamu pulang bareng kakakku.”

Nayara terdiam, suaranya serak. “Iya… dia kebetulan lewat.”

“Oh.” Elara menghela napas. “Aneh aja, Kak Alaric biasanya gak peduli sama orang luar.”

Nayara berusaha tertawa kecil. “Mungkin dia lagi bosan nyetir sendirian.”

“Hm…” Elara terdengar berpikir, tapi tidak melanjutkan.

“Aku cuma ngerasa kamu akhir-akhir ini beda. Ada apa, Nay?”

Pertanyaan itu membuat dada Nayara bergetar aneh. Ia ingin jujur. Ia ingin berkata segalanya. Tapi bibirnya kelu.

“Gak ada apa-apa, Ra. Aku cuma lagi capek.”

Elara menghela napas panjang, lalu menutup panggilan.

Namun perasaan aneh itu tidak hilang.

Ia tahu Nayara berbohong — dan kali ini, bukan kebohongan kecil.

Di tempat lain, Alaric berdiri di balkon kamarnya. Rokok di tangannya belum sempat dinyalakan.

Angin malam menyentuh wajahnya, tapi yang ada di pikirannya hanya satu hal:

tatapan Nayara di dalam mobil tadi — tatapan yang sama seperti dulu.

Takut, tapi tak sanggup membenci.

Ia tersenyum tipis, mengangkat teleponnya.

Di layar, satu pesan baru muncul dari nomor tak dikenal.

“Jangan ulangi kesalahanmu, Alaric.”

Pria itu mengetik balasan singkat.

“Kesalahan? Tidak. Ini baru permulaan.”

“Karna terkadang ketakutan lebih jujur daripada cinta,” gumamnya pelan, sebelum mematikan layar.

...----------------...

Beberapa hari kemudian, rasa curiga itu memuncak.

Elara mulai menyadari sesuatu yang aneh dari rutinitas Nayara.

Setiap kali bel akhir sekolah berbunyi, Nayara selalu terburu-buru merapikan buku, bahkan menolak ajakan Elara untuk pulang bersama.

“Ra, aku langsung balik duluan, ya,” ucapnya seperti biasa, tergesa memasukkan buku ke tas.

“Elah, baru juga bel, Nayara. Kita makan dulu yuk, kantin baru jual roti coklat favorit kamu tuh,” goda Elara.

Namun gadis itu hanya tersenyum kecil, matanya tidak berani menatap lama.

“Nanti aja, Ra. Aku harus ke tempat kerja dulu.”

“Elah, kamu kerja terus. Emangnya gak capek?”

“Lumayan, tapi aku senang kok. Lumayan buat bantu ibu,” jawab Nayara ringan, tapi suaranya terdengar dipaksakan.

Elara menatap punggung Nayara yang semakin menjauh.

Ada sesuatu dalam langkahnya — cepat, gelisah, seperti orang yang dikejar oleh bayangan yang tak terlihat.

Sore itu, tanpa tahu kenapa, Elara memutuskan untuk tidak langsung pulang.

Ia menunggu sebentar di depan gerbang, lalu mengikuti arah yang biasa Nayara lewati.

Langkahnya ragu, tapi rasa penasaran membuatnya terus berjalan.

Sekitar sepuluh menit kemudian, ia melihat Nayara di depan toko fotokopian di seberang jalan.

Gadis itu tampak sibuk menata kertas, mengenakan celemek abu yang sedikit kebesaran, rambutnya diikat seadanya. Wajahnya tampak lelah, tapi masih berusaha tersenyum pada pelanggan.

Elara berdiri cukup jauh, memperhatikan dari balik kaca toko.

Ada rasa bangga melihat sahabatnya bekerja keras, tapi juga rasa sesak yang ia tak mengerti — seolah ada beban berat yang Nayara sembunyikan di balik senyum itu.

 

Malam harinya, Elara tidak bisa berhenti memikirkan hal itu.

Ia berbaring di tempat tidur sambil memandangi langit-langit kamar.

Seharusnya ia lega karena tahu Nayara tidak berbuat aneh. Tapi… kenapa ada rasa janggal yang menempel begitu kuat?

Ia mengingat bagaimana mata Nayara tampak gugup setiap kali ia menyebut nama Alaric.

Selalu ada jeda, selalu ada senyum yang tiba-tiba hilang.

“Jangan-jangan…,” gumamnya pelan, tapi segera ia gelengkan kepala.

“Enggak mungkin. Kak Alaric gak mungkin kenal dekat sama Nayara.”

Namun begitu Elara turun ke dapur untuk mengambil air, ia berhenti di tangga.

Suara di ruang tamu terdengar samar — suara Alaric, berbicara lewat telepon.

Nada suaranya rendah, berat, seperti menahan sesuatu.

Elara tidak mengerti seluruh kalimatnya, tapi beberapa potong kata terdengar jelas.

... “...jangan buat dia takut dulu.”...

...“Aku tahu apa yang kulakukan.”...

Detik itu, bulu kuduk Elara berdiri.

Ia tak tahu siapa yang dimaksud dengan “dia”, tapi hati kecilnya langsung berbisik satu nama.

Nayara.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!