“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Fio tertawa keras, menepuk meja. “Dasar kamu, Tuan Dingin yang sok nggak romantis!”
Darrel menggeleng pelan, tapi kali ini senyumnya benar-benar terlihat. “Kalau terus mengganggu saya, nanti kamu saya ceburin ke danau.”
“Berani?!” tantang Fio sambil mencondongkan tubuh ke depan.
Darrel menatapnya tajam. “Mau saya buktikan?”
Fio spontan mundur, lalu menutupi wajahnya dengan tawa. “Ampun, ampun! Aku belum siap nyemplung bareng kamu!”
Darrel akhirnya terkekeh kecil—suara tawa yang jarang keluar darinya.
Sore ini, di tepi danau yang sederhana, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka benar-benar menikmati kebersamaan tanpa kebekuan.
***
Hujan turun tiba-tiba—rintik kecil yang awalnya tidak berarti kini berubah menjadi deras, membasahi permukaan danau yang tenang. Air memercik dari dedaunan di atas mereka, dan Fio spontan berlari kecil ke bawah pohon besar sambil menjerit kecil, “Ya ampun! Baru aja makan, langsung uji coba mandi hujan!”
Darrel masih duduk tenang di tempatnya, hanya menatap langit yang mendadak kelabu. Tapi begitu melihat Fio basah kuyup, ia berdiri cepat, melepaskan jasnya tanpa pikir panjang, lalu menghampiri Fio.
“Diam dulu,” katanya datar namun tegas.
Sebelum Fio sempat bicara, Darrel sudah menurunkan jas hitamnya, menutupi kepala Fio. Uap hangat dari tubuhnya terasa begitu dekat. Jas itu berbau lembut—campuran hujan, parfum kayu, dan aroma khas Darrel yang menenangkan.
“Darrel… kamu nggak kehujanan?” tanya Fio, mendongak sedikit, suaranya nyaris tertelan hujan.
“Biarin. Saya masih kuat.”
“Lho, tapi—”
“Diam. Nanti kamu tambah basah.”
Fio menatap wajahnya dari jarak begitu dekat. Hujan membasahi rambut Darrel, menetes di rahangnya, menuruni lehernya yang tegang menahan dingin. Tapi ekspresinya tetap tenang, meski matanya… tampak hangat.
“Kenapa kamu selalu begini, sih?” gumam Fio pelan.
“Begini gimana?”
“Dingin… tapi bikin aku nggak bisa jauh.”
Darrel menatapnya sejenak, lalu menunduk, menarik jas itu lebih rapat ke kepala Fio agar tak kena air. “Kamu nggak perlu jauh. Cukup diam di sini.”
“Di sini tuh… di mana?” tanya Fio dengan senyum menggoda, setengah berbisik.
Darrel menjawab tanpa ragu, “Di tempat saya bisa jagain kamu.”
Deg.
Fio menatap Darrel, matanya membulat, sementara hujan semakin deras. Ia nyaris lupa menggoda, lupa tertawa, lupa segalanya—kecuali tatapan lelaki di depannya yang kini tak lagi sedingin beberapa hari lalu.
“Kalau terus begini,” bisik Fio, “aku bisa beneran jatuh cinta, lho.”
Darrel menatapnya dalam, lalu menjawab pelan, “Nggak apa-apa. Saya yang tangkap.”
Hujan semakin deras, tapi anehnya, suasana terasa hangat—bukan karena jas Darrel, melainkan karena jarak mereka yang hampir tak bersisa.
Fio akhirnya tersenyum kecil, lalu berusaha memecah ketegangan.
“Tapi… jas kamu berat banget, tau. Aku jadi kayak kurcaci.”
Darrel menahan senyum. “Makanya jangan kecilin badan terus.”
Fio melotot. “Heh! Jadi maksud kamu aku pendek?!”
Darrel menatap tenang. “Saya nggak bilang pendek.”
“Tapi maksudnya itu, kan?”
“Interpretasimu saja.”
Fio mendengus, “Dasar Tuan Dingin nyebelin!”
“Daripada Tuan Duda?”
“Eh, iya juga.”
Darrel akhirnya tertawa kecil, kali ini lebih lepas—dan tawa itu, di bawah hujan sore yang basah, membuat Fio tak tahu mana yang lebih berbahaya: derasnya hujan, atau derasnya degup jantungnya sendiri.
***
Hujan belum juga reda. Fio dan Darrel akhirnya berlari kecil menuju sebuah warung kecil di tepi danau. Baju mereka sudah lembap, rambut Fio menempel di pipinya, tapi matanya masih berkilat ceria.
“Wah, romantis juga ya, hujan-hujanan bareng bos galak,” goda Fio sambil mengibaskan rambutnya.
Darrel menoleh datar. “Kalau kamu nggak ngomong, suasananya udah romantis dari tadi.”
Fio terdiam sebentar, lalu nyengir. “Wah, mulai bisa bercanda nih, Tuan—eh, Mas Darrel.”
“Jangan ‘Mas’, nanti saya nggak tega marahin kamu.”
“Lho, jadi mau dimarahin dong aku?”
“Kalau kamu terus menggoda, iya.”
Fio menahan tawa, lalu menunjuk dua cangkir teh hangat yang disajikan ibu warung.
“Dua teh, Bu, yang satu tanpa gula. Soalnya yang manis udah di depan saya.”
Darrel hampir tersedak teh barunya. “Fio.”
“Kenapa? Salah ya? Kan fakta.”
Darrel hanya mendengus pelan, memalingkan wajahnya keluar warung. Tapi sudut bibirnya—nyaris tak terlihat—menarik sedikit ke atas. Fio menyipitkan mata, menangkap itu.
“Ha! Kamu senyum!” serunya pelan.
“Enggak.”
“Senyum!”
“Itu refleks otot wajah.”
“Refleks dari hati kali~”
Darrel menatapnya lama, lalu menunduk, mencoba menyembunyikan ekspresi yang entah kenapa kini sulit ia kendalikan. Di depan matanya, gadis itu tampak sederhana, polos, tapi selalu berhasil membuat dadanya terasa penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Jangan terlalu sering membuat saya senyum,” katanya akhirnya.
“Kenapa?”
“Soalnya saya takut, nanti saya lupa caranya berhenti.”
Hening sesaat. Fio terdiam. Hujan di luar terdengar makin lembut. Di antara uap teh dan bunyi rintik air, sesuatu yang hangat tumbuh di hati mereka—pelan, tapi nyata.
***
Setelah hujan sedikit reda, keduanya memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan yang berarti, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mobil mereka berhenti di depan rumah. Fio masih menggigil kecil, sementara rambutnya masih basah menetes di bahu. Saat mereka masuk, Bu Rania sudah menunggu di ruang tamu sambil membawa handuk.
“Ya Allah, kalian kehujanan?” serunya, setengah kaget, setengah heran karena wajah keduanya justru tampak cerah—dan dekat.
Fio langsung nyengir. “Hehe, hujannya datang tiba-tiba, Bu.”
Darrel mengambil handuk dari tangan ibunya, lalu tanpa banyak bicara, menutupkan handuk itu ke kepala Fio dengan lembut.
“Lain kali jangan lupa payung,” katanya pelan.
Bu Rania mengerjap. Ada sesuatu yang berbeda. Tatapan Darrel lembut, suaranya tidak sekeras biasanya, dan Fio… tampak nyaman sekali berada di sampingnya.
“Hmm,” gumam Bu Rania sambil berpura-pura sibuk. “Kayaknya hujan kali ini nggak cuma di luar, ya.”
Fio menatap bingung. “Maksudnya, Bu?”
“Tanya aja ke Darrel,” jawab Bu Rania sambil tersenyum kecil lalu berlalu ke dapur, meninggalkan mereka berdua yang sama-sama kikuk.
Darrel berdehem, lalu berjalan ke tangga. “Cepat ganti baju, nanti masuk angin.”
“Darrel…” panggil Fio pelan.
“Hm?”
“Terima kasih udah nolongin tadi.”
Darrel berhenti sebentar di tangga, menoleh dengan wajah datar tapi matanya hangat.
“Saya bukan nolongin. Saya jagain.”
Fio terdiam, pipinya memanas tanpa alasan. Saat Darrel naik ke lantai atas, dia hanya bisa menatap punggung lelaki itu sambil tersenyum kecil.
“Dingin tapi manis banget, sih,” bisiknya sendiri. “Bahaya nih, aku bisa beneran jatuh cinta…”
***
Fio menatap langit-langit kamar.
Matanya menolak terpejam meski jam sudah menunjukkan lewat tengah malam.
Yang terus berputar di kepalanya hanyalah satu adegan— bagaimana Darrel tadi sore memayunginya dengan jas, menatapnya lembut, lalu dia juga berkata “Saya jagain.”
Ia menutup wajahnya dengan bantal.
“Duh, kenapa sih deg-degan begini… Cuma jas, cuma kata-kata, tapi kenapa rasanya kayak—uh, Zhang Ling He, tolong aku!” gumamnya dengan wajah panas sendiri.
Fio terus bolak-balik di tempat tidur, tapi matanya sama sekali tidak mau terpejam.
Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Darrel saat menutupi kepalanya dengan jas di tepi danau kembali terputar. Tatapan dingin yang berubah lembut itu masih jelas di ingatannya.
“Ya ampun, Fio… ini bukan drama China, sadar dong. Dia cuma kasihan,” gumamnya sambil menepuk pipi sendiri pelan.
Ia berbalik. Darrel tidur di sisi kanan ranjang, membelakanginya. Suaranya tenang, tapi dari tadi napasnya terasa sedikit berat.
Fio mengernyit. Ia mendekat sedikit—dan terkejut.
“Waduh, panas banget!”
Bersambung
Selamat siang Readers....
Mohon maaf sedikit upnya, ya. Digangguin si Toddler HPnya.
ditunggu up nya
lira jg mencuri bhn skripsinya berarti mrk satu kampus dong ah bingung jg aku blom terlalu jelas masalahnya