NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Langkah Apollo terhenti di depan lift. Suara gemuruh kota di luar gedung seolah lenyap, digantikan oleh detak jantungnya sendiri yang berdentum keras di dada.

“R…” gumamnya lirih, menatap tulisan di belakang foto yang kini tergenggam di tangannya. Tinta hitam itu bergetar di mata nya, seperti hidup. Ia mengucapkannya sekali lagi, dengan suara yang nyaris seperti helaan napas .

“Rena…”

Nama itu. Nama yang seharusnya sudah terkubur bersama masa lalu, bersama semua alasan kenapa ia memilih membenci cinta dan menutup dirinya dari dunia.

Lift terbuka, namun Apollo tidak langsung masuk. Pandangannya kosong, menembus dinding metal di depannya, menembus waktu.

Gambaran itu datang begitu saja , potongan memori yang selama ini berusaha ia kubur.

 Rena, dengan rambut cokelat bergelombang, tertawa di bawah hujan. Rena, yang menatap nya dari balik kaca laboratorium dengan mata yang tak lagi hangat. Rena, yang berdiri di antara kobaran api, sambil menodongkan senjata ke arahnya. “Aku menyesal tidak mengenalmu lebih cepat. Harusnya kau ku lenyapkan ”

Apollo mengepalkan tangan. Foto itu hampir remuk di genggamannya.“Tidak mungkin…” desisnya lirih. “Rena sudah pergi dari kehidupan ku. ”

Namun bayangan wajah Lyora melintas di pikirannya, senyum lembut yang sama, tatapan mata yang terasa akrab, kalimat yang menusuk mirip seperti dulu. Keduanya terasa berbeda, tapi juga terlalu mirip untuk disebut kebetulan.

Lift berbunyi ting, pintu menutup otomatis, membuat Apollo tersadar. Ia segera melangkah masuk, menekan tombol menuju basement tempat mobilnya menunggu.

Sementara pintu lift menutup perlahan, ia masih menggenggam foto itu erat di tangan.

Di bawah cahaya temaram, satu kalimat meluncur dari bibirnya dengan nada getir

 “Jika kau masih hidup, Rena… maka Lyora bukan sekadar penggantimu.”

Dan di kejauhan, di atas gedung yang sama, sosok bertopeng rubah perak berdiri di tepi atap. Cahaya bulan menyoroti senyum samar di balik topengnya.“Akhirnya, kau mengingatku, Apollo.”

...****************...

Mobil hitam Apollo melaju di jalanan kota yang mulai diselimuti kabut malam. Lampu- lampu jalan menembus kaca depan, berganti- ganti seperti kilasan memori yang menolak padam. Di kursi kemudi, pria itu menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras , pikiran nya berputar di antara masa lalu dan kenyata an yang kian kabur.

Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam.

Rasa waspada bercampur dengan sesuatu yang lebih rumit: ketakutan. Bukan ketakutan fisik, melainkan rasa takut menemukan kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk diakui.

Ketika mobilnya memasuki gerbang mansion Dragunov, langit sudah sepenuhnya gelap. Salju tipis turun, menyelimuti halaman depan. Lampu-lampu di lantai bawah masih menyala, memberikan kesan hangat yang anehnya membuat dadanya justru terasa sesak.

Apollo turun dari mobil, membuka mantel panjangnya, dan berjalan masuk.Langkah nya bergema di lantai marmer yang dingin.

Begitu pintu ruang tamu terbuka, aroma balsem dan salep menyambutnya. Di sana , di bawah cahaya lembut lampu gantung , Lyora duduk di sofa abu-abu. mengenakan piyama satin biru muda dengan renda putih. Rambut nya masih setengah terurai, meneteskan sisa air dari ujungnya.

Di tangannya, sebuah salep kecil terbuka. Jari-jarinya tampak memerah, luka ringan yang jelas bukan dari kerja kasar, melainkan akibat air yang terlalu panas.Ia mengoles kannya dengan hati-hati, seolah menyembuh kan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kulit melepuh.

Namun yang membuat Apollo menghentikan langkahnya bukan itu. Di samping Lyora, sebuah boneka teddy cokelat besar sedang duduk manis, mengenakan pita di lehernya.

Boneka itu bersandar pada bahu Lyora , dan Lyora, entah kenapa menatapnya seolah boneka itu bisa mendengarkan.

Apollo mendengus pelan, suara penuh muak.

“Setiap kali aku melihatmu dengan benda konyol itu…” ujarnya datar, berjalan mendekat. “…aku merasa seperti hidupku sedang dijadikan sandiwara anak-anak.”

Lyora mengangkat wajahnya. Tatapannya terasa polos untuk seseorang yang mungkin sedang menyembunyikan sesuatu.

“Dia tidak konyol,” jawabnya lembut. “Aku membawanya waktu kecil. Boneka ini... satu-satunya hal yang tidak berubah meskipun dunia terus memaksaku berubah.”

Apollo menatapnya lama, rahangnya menegang.“Berhenti bicara seperti itu.”

“Seperti apa?”

“Seperti kau pernah kehilangan sesuatu.”

Hening.Lyora tersenyum samar, menunduk kembali, mengoleskan salep pada jari-jarinya.

“Kalau begitu… mungkin aku memang kehilangan sesuatu, Apollo.” Ia menatap boneka itu sejenak, lalu menambahkan lirih, “Atau seseorang.”

Pandangan Apollo mengeras.Suara napasnya nyaris berubah menjadi desis saat ia berkata pelan, “Dari mana kau dapat boneka itu?”

Lyora menoleh. Senyum tipisnya tak berubah, tapi matanya kini tampak… terlalu tenang.

“Dari seseorang yang sudah lama tiada.”

Dan sebelum Apollo sempat bertanya lagi, suara denting jam di dinding memecah keheningan. Lyora menutup salep, berdiri perlahan, lalu berjalan melewatinya tanpa menatap.“Selamat malam, Axelio Dragunov .”

Apollo memandangi punggung Lyora sampai dia menghilang di balik tangga. Tangannya mengepal. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu ,apakah yang barusan berbicara padanya adalah Lyora… atau bayangan masa lalu yang kembali menghantuinya.

Apollo akhirnya berbalik, meninggalkan ruang tamu yang kini kembali sunyi.

Langkah sepatunya terdengar lembut namun berat, seperti setiap hentakan membawa beban yang tidak ingin diakui. Gema kecil itu berpantulan di dinding tinggi mansion, menambah kesan sepi yang menggantung di udara.

Ia berhenti sejenak di depan tangga besar, menatap ke arah lampu gantung kristal di atasnya. Cahaya kuning keemasan itu menyoroti wajahnya yang tegang , mata kelam, rahang mengeras, tapi ada kilatan rapuh di balik semua ketegasan itu.

Satu hembusan napas lolos dari bibirnya, samar, nyaris seperti desahan orang yang menahan sesuatu lebih dari sekadar kelelahan.

Begitu sampai di ruang kerjanya, Apollo membuka pintu perlahan. Ruangan itu sunyi dan gelap, hanya diterangi lampu meja yang menyorot tumpukan berkas dan segelas kopi yang sudah dingin.

Aroma pengharum ruangan masih menggantung di udara, bercampur dengan dingin khas ruangan berpanel kayu mahoni.

Ia menjatuhkan tubuh ke kursinya, membiar kan punggungnya tenggelam dalam sandaran kulit yang dingin. Tangan kirinya terangkat, memijit pelipis, sementara tangan kanan mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar, irama pendek, tak sabar, tapi juga ragu.

Bayangan Lyora kembali menari di pikirannya.

Cara gadis itu tertawa kecil sambil menunduk, cara matanya menyipit ketika sedang kesal, hingga momen tadi ketika ia dengan santai menjelaskan kenapa air mandinya terlalu dingin.

Semuanya terasa… alami. Terlalu tidak cocok untuk seseorang yang ia curigai menyembunyikan sesuatu.

Apollo menatap kosong ke arah meja, lalu menggeser gelas kopi ke tepi meja, nyaris menjatuhkannya.“Bahkan aku tak tahu sedang menghadapi siapa,” bisiknya rendah, hampir tak terdengar.

Ponselnya bergetar di sisi meja.

Satu pesan muncul di layar: “Konferensi asosiasi malam ini di Hotel Écarlate. Kami tunggu, Dragunov.”

Apollo menatap layar itu lama, tanpa ekspresi.Lalu pelan-pelan ia menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi, menatap langit- langit ruangan dengan pandangan berat.

“Rafael Arven…” gumamnya lirih.

Nama itu saja sudah cukup untuk mengubah tenang menjadi waspada.

Apollo menatap layar itu lama, sebelum akhirnya mendengus pelan. Dia tidak punya keinginan menghadiri pesta semacam itu, tempat di mana semua orang saling tersenyum palsu sambil menyembunyikan pisau di balik jas mereka.

Namun nama yang tertera di bawah pesan membuatnya berhenti berpikir.

Rafael....

Rekan bisnis lamanya… dan juga seseorang yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Apalagi setelah apa yang terjadi lima tahun lalu di proyek Chicago.

Ia berdiri, mengenakan jas hitamnya dengan gerakan perlahan, hampir ritualistik.Setiap kali menarik napas, dada terasa sesak. Entah karena lelah, atau karena sesuatu yang lain, sesuatu yang tak bisa ia beri nama.

Saat ia merapikan dasinya di depan cermin besar di sisi ruangan, pantulan dirinya terlihat begitu sempurna: rapi, berkuasa, dingin. Tapi matanya, mata itu menyimpan bayangan yang bahkan ia sendiri enggan menyelaminya.

Sebelum melangkah pergi, Apollo sempat menoleh ke jendela besar di belakang meja.

Dari sana, ia bisa melihat lantai dua mansionnya. Cahaya lembut dari kamar Lyora menembus tirai tipis. Sosok perempuan itu tampak duduk di kursi dekat jendela, membungkuk sedikit sambil memeluk boneka teddy berwarna krem.

Rambut panjangnya yang belum sepenuhnya kering meneteskan sedikit kilau di bawah cahaya lampu. Sebuah pemandangan sederhana. Tapi justru di situlah letak misterinya.

Perempuan itu terlihat begitu biasa… terlalu biasa untuk seseorang yang keberadaannya terus mengusik pikirannya hingga sekarang.

Apollo memalingkan wajah. Senyum sinis melintas sekilas di bibirnya,bukan karena geli, tapi karena muak dengan dirinya sendiri yang masih memperhatikan hal remeh semacam itu.

Tanpa banyak pikir, ia mengambil kunci mobil dari meja, menuruni tangga, dan berjalan keluar dari mansion. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menggigit.

Saat mesin mobil menyala, lampu-lampu halaman memantulkan siluetnya yang kaku di balik kaca. Matanya yang tajam menatap ke depan, tapi entah kenapa, di balik pantulan itu, seolah ada sesuatu yang lain menatap balik dirinya, seseorang yang tak ingin ia hadapi, tapi sudah lama menunggu di dasar pikirannya.

Malam itu, Apollo pergi. Dan tanpa ia sadari, langkahnya bukan hanya menuju konferensi bisnis biasa…melainkan ke arah jawaban yang perlahan mulai mengintai dari balik tirai bernama Lyora.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!