Aluna Maharani dan Reza Mahesa sudah bersahabat sejak SMA. Mereka kuliah di jurusan yang sama, lalu bersama-sama bekerja di PT. Graha Pratama hingga hampir tujuh tahun lamanya.
Kedekatan yang terjalin membuat Aluna yakin, perhatian kecil yang Reza berikan selama ini adalah tanda cinta. Baginya, Reza adalah rumah.
Namun keyakinan itu mulai goyah saat Kezia Ayudira, pegawai kontrak baru, masuk ke kantor mereka. Sejak awal pertemuan, Aluna merasakan ada yang berbeda dari cara Reza memperlakukan Kezia.
Di tengah kegelisahannya, hadir sosok Revan Dirgantara. Seorang CEO muda yang berwibawa dari perusahaan sebelah, sekaligus sahabat Reza. Revan yang awalnya sekadar dikenalkan oleh Reza, justru membuka lembaran baru dalam hidup Aluna. Berbeda dengan Reza, perhatian Revan terasa nyata, matang, dan tidak membuatnya menebak-nebak.
Sebuah kisah tentang cinta yang salah tafsir, persahabatan yang diuji, dan keberanian untuk melepaskan demi menemukan arti kebahagiaan yang sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqueena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMBELA REZA
Siang hari di PT. Graha Pratama. Setelah makan siang, Aluna kembali duduk di meja kerjanya. Namun, ucapan Revan semalam masih terus berputar di kepalanya.
"Jadikan aku pelampiasan mu, Na."
Kalimat itu terlalu aneh baginya. Bagaimana mungkin seorang pria seperti Revan mengucapkan hal itu padanya? Bukankah seharusnya perempuan yang berharap dijadikan tempat berlabuh olehnya?
"Ada apa dengannya?" gumam Aluna pelan, alisnya berkerut.
Beberapa menit kemudian, ruangan mulai dipenuhi suara langkah dan obrolan para karyawan yang berdatangan dari kantin satu per satu.
Hari ini, giliran Yuna yang absen. Menurut kabar dari Andika, kekasihnya itu sedang kurang sehat. Alhasil, Aluna harus duduk sendiri di mejanya tanpa ditemani sahabatnya itu.
Jam kerja kembali berjalan, ruangan dipenuhi suara keyboard dan telepon yang bersahut-sahutan.
Sesekali beberapa karyawan keluar masuk pantry, kembali dengan secangkir kopi panas di tangan mereka.
Aluna menggigit bibir bawahnya. Ucapannya pada Reza untuk berhenti minum kopi kini terasa seperti hukuman. Aroma kopi yang beterbangan dari meja-meja sekitar begitu menyiksa indra penciumannya.
Ia hampir saja bangkit untuk membuat kopi diam-diam. Namun, ia urungkan niat itu saat telinganya menangkap suara bisik-bisik dari meja sebelah tepat di meja Reza.
"Za, emang bener kamu jadian sama salah satu karyawan di sini?" ucap Bima
"Iya, Za. Emang bener ya?" sahut yang lain.
Robin yang penasaran, ikut bergabung dalam lingkaran itu. Suara obrolan mereka semakin riuh, sampai menarik perhatian beberapa karyawan lain untuk menghampiri dan ikut menimpali.
Namun, Reza tetap duduk tenang, tidak memberikan jawaban apa pun. Hening dari sisinya justru semakin memancing rasa penasaran.
Hingga akhirnya, salah satu dari mereka spontan nyeletuk. Sebut saja namanya Maria.
Maria menurunkan suaranya, seolah sedang membagikan rahasia besar.
"Kata Mbak cleaning service yang bersih-bersih malam itu, pas dia naik ke rooftop, dia lihat ada kopi tumpah di lantai."
Robin langsung mencondongkan badan, matanya berbinar penuh penasaran.
"Oh ya? Terus terus?"
Maria mengangguk cepat, lalu menambahkan dengan nada penuh sensasi.
"Terus... katanya, dari celah pintu rooftop, dia sempat lihat ada seorang pria lagi ciuman sama perempuan."
Robin mengernyit, wajahnya penuh tanda tanya.
"Lalu? Apa hubungannya sama Reza?"
Maria tersenyum khas tukang gosip. "Kata Mbak itu, dia tau betul, kalau pria itu adalah Reza."
Namun, Reza tetap diam. Jarinya terus menekan-nekan keyboard, seolah sibuk tenggelam dalam pekerjaannya, padahal jelas arah pembicaraan mengarah padanya.
Aluna juga menatap lurus ke layar laptopnya. Dari luar tampak tenang, tapi telinganya tak bisa mengabaikan percakapan itu.
Setiap kata yang keluar dari mulut mereka menyeret pikirannya kembali pada malam di rooftop.
Luka di kakinya bekas tumpahan kopi panas masih merah dan melepuh. Itulah yang dijadikannya alasan mengapa kemarin ia tidak masuk kerja.
"Jadi, ada yang melihatnya juga malam itu? Tapi, kenapa sekarang Reza cuma diam?" batin Aluna.
Salah satu dari mereka akhirnya bersuara.
"Za, itu benar kamu, kan?" ucapnya penuh penasaran.
Yang lain ikut mendesak, namun Reza tetap diam, tak bergeming sedikit pun. Jarinya masih sibuk di atas keyboard, seolah percakapan itu sama sekali tak ada hubungannya dengannya.
Kezia yang memperhatikan dari mejanya, justru terlihat cemas, menunggu penjelasan yang tak kunjung keluar dari mulut Reza.
Aluna mendengar desakan demi desakan itu. Semakin lama, hatinya terasa panas. Ia menarik napas panjang, lalu berdiri dan menghentakkan tangannya ke meja. Suara keras itu membuat kerumunan langsung menoleh padanya.
"Apa yang kalian lakukan!?" suaranya tegas, penuh tekanan.
Maria mendecak kecil sebelum bersuara. "Aluna. Sudahlah, jangan tutupi lagi skandal sahabatmu ini seperti tahun lalu."
"Benar," timpal karyawan lain. "Meskipun waktu itu memang hanya rumor."
Aluna menyilangkan tangan di dada, lalu maju selangkah. Tatapannya menusuk.
"Aku tidak akan menutupi apa pun. Memang benar itu dia. Lalu kenapa? Ada yang keberatan?"
Ucapan itu membuat Reza akhirnya menoleh. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi Aluna buru-buru mengalihkan matanya.
Kezia yang semula duduk, kini berdiri dengan wajah gelisah.
Aluna menarik napas dalam-dalam. "Reza bukan anak kecil lagi. Wajar kalau dia mencium perempuan!"
Beberapa karyawan saling berpandangan, sebagian mengangguk kecil. Apa yang Aluna katakan terdengar masuk akal.
"Tapi, Na," sahut Maria lagi, "Kami cuma takut kalau dia nanti nggak fokus kerja. Imbasnya kan ke kita juga."
"Reza bukan orang yang seperti itu," jawab Aluna cepat, nada suaranya tegas. "Bukan tanpa alasan Pak Ardi memberinya posisi tinggi di divisi ini. Jadi, cukup sudah!"
Setelah itu, Aluna kembali duduk. Beberapa karyawan berangsur meninggalkan kerumunan, meski sebagian masih bertahan, terus mendesak agar Reza menjawab langsung.
Aluna mendengus keras. Kali ini ia bangkit lagi dengan emosi yang hampir meluap.
"Apa kalian nggak punya kerjaan? Sudah kubilang, CUKUP! KEMBALI KE MEJA MASING-MASING!"
Karyawan pun buru-buru bubar. Robin bergerak perlahan menuju mejanya, seperti maling yang hampir ketahuan.
"Sunbae!" tegur Aluna tajam.
Robin berhenti dan langsung menoleh.
"Ya, Aluna." jawabnya cepat sambil menunduk.
"Sunbae, sebagai senior di divisi ini, begitukah caramu menyikapi gosip murahan?"
Robin menelan ludah, wajahnya terlihat salah tingkah.
"A-aku… a… bukan, maksudku... Aku cuma penasaran aja, Na." jawabnya terbata-bata, jelas ketakutan dengan tatapan Aluna.
Aluna tidak menanggapi. Matanya dingin, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia hanya menatap Robin sebentar, lalu meraih ponselnya di meja dan melangkah pergi.
Suara langkahnya bergema, meninggalkan ruangan yang kini kembali sunyi. Semua karyawan yang sempat heboh tadi hanya bisa saling pandang, tak berani menahan kepergian Aluna.
****
Aluna kini berdiri di sisi dingin rooftop. Matahari siang itu tak begitu terik, tertutup oleh awan kelabu yang tebal.
Air matanya sudah lebih dulu membasahi wajahnya. Dada terasa sesak, seperti terhimpit beban yang ia paksakan sendiri. Mengingat kata-kata yang terucap tadi di depan rekan-rekan, hatinya makin perih.
"Bodoh… kenapa aku harus membelanya kali ini?" batinnya bergetar.
Sesekali ia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Angin yang berhembus di ketinggian menambah pilu yang sudah sulit ia bendung.
Tak lama kemudian, pintu rooftop berderit pelan. Suara itu membuat Aluna menoleh sekilas, dan cepat-cepat membuang pandangan. Reza muncul, melangkah pelan dengan dua botol air mineral di tangannya.
Aluna buru-buru mengusap sisa air mata ketika Reza mulai mendekat, lalu berdiri di sampingnya, tanpa banyak bicara.
Ia menyodorkan sebotol air, tapi Aluna tidak meraihnya. Pandangannya tetap terpaku pada hamparan gedung-gedung tinggi di depan mata.
"Terima kasih, Na," ucap Reza, suaranya dalam dan tulus.
Aluna menahan napas sejenak, lalu berkata lirih tanpa menoleh, "Orang yang kamu sukai… itu Kezia, kan?"
Reza terdiam beberapa detik. Tatapannya kosong ke depan, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Iya, Na. Maaf, aku nggak pernah cerita soal itu."
Aluna menoleh dengan mata yang sedikit sembab.
"Sejak kapan?"
"Sejak tahun lalu," jawab Reza pelan. "Sejak pertama kali aku bertemu dia."
Mendengar itu, hati Aluna seketika seperti disayat. Namun bibirnya masih memaksa bertanya.
"Lalu, kenapa kamu nggak cium dia di permainan waktu itu?"
Reza menghela napas panjang, lalu tersenyum getir. "Aku malu kalau harus melakukannya di depan orang lain."
Senyum miring muncul di bibir Aluna, pahit sekaligus getir. "Tapi kamu melakukannya di depan mataku."
DEG!
Reza sontak membeku. Tatapannya menoleh penuh pada Aluna. Wajahnya menegang, matanya menatap lurus ke mata Aluna.
✒️Bersambung.
...----------------...
Ada yang kesel sama Reza nggak di Bab ini? 🤭
Temani kisah Aluna sampai akhir yah 🥰
Gamsahamnida 🙏🏻🌹
kebanyakan nonton Drakor lu lun..
kali dia emang mau ngasih duit segepok,tapi nyuruh jgn ninggalin anaknya
abis....takut belok beneran
ini mumpung ada betina yg mau dan khilaf🤣🤣🤣