NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kolam darah

Angin sore membawa aroma dedaunan basah ketika pedang terbang Lianxue meluncur menembus kabut tipis yang menyelimuti Puncak gunung. Ujung pedang itu bergetar lembut, meninggalkan jejak cahaya perak samar di udara. Rambut hitam Lianxue berkibar, matanya yang jernih bagai kaca giok menatap tajam ke arah rumah kayu sederhana yang berdiri di tengah puncak.

Ketika pedang mendarat di halaman, derit halus terdengar, dan telapak kaki mungil Lianxue yang berbalut sepatu sutra putih segera menyentuh tanah. Ia menggenggam gagang pedangnya lalu menghela napas ringan.

“Xu Hao, aku pulang,” panggilnya dengan suara yang lembut namun jelas.

Namun, yang menjawab hanya desir angin yang menembus celah pepohonan pinus di sekeliling puncak. Tidak ada langkah kaki, tidak ada suara orang muda yang biasanya tergesa keluar menyambut. Alis tipis Lianxue berkerut. Ia berjalan mendekat ke depan pintu rumah kayu.

“Xu Hao?”

Masih hening. Ia lalu membuka pintu, melangkah masuk.

Di dalam rumah itu, suasana begitu sunyi. Ranjang sederhana tersusun rapi, selimut dilipat, dan meja kayu kecil masih menyimpan teko teh dingin yang belum disentuh. Tidak ada tanda kehidupan. Bahkan suara napas pun tak terdengar. Mata phoenix Lianxue berkilat, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

“Tidak ada di dalam...” bisiknya pelan. Ia keluar lagi, berdiri di halaman. Matanya menyapu sekeliling, menyusuri setiap sudut halaman dan jalur setapak yang biasa dilalui Xu Hao. Namun hasilnya tetap sama, kosong.

Lianxue menggigit bibir bawahnya, lalu dengan sigap melesat ke arah lereng mata air, tempat Xu Hao sering membersihkan diri. Batu-batu di sekitar mata air masih basah oleh percikan, dedaunan bergoyang seolah baru saja dilewati angin, tapi tidak ada sosok yang ia cari.

“Xu Hao... kau di mana?” seru Lianxue, namun hanya gema suaranya yang kembali dari tebing.

Ia kemudian bergerak ke arah hutan kecil di belakang puncak. Cahaya matahari siang menembus celah dedaunan, menari di tanah yang lembab. Burung-burung beterbangan ketika ia melewati semak belukar, pedang peraknya bergetar ringan di tangannya, namun hutan itu sunyi tanpa tanda kehadiran Xu Hao.

“Tidak mungkin dia turun sendiri... bukankah pagi tadi aku sudah berpesan agar dia tetap di rumah...” gumam Lianxue.

Ia kemudian menuju tebing di sisi barat puncak. Dari tebing itu, lautan awan tampak bergulung-gulung, seakan menutupi dunia di bawah. Lianxue berdiri di pinggirannya, angin kencang menerpa pakaiannya yang putih bersulam awan perak. Rambut panjangnya berkibar, tapi matanya memandang kosong.

“Ke mana dia pergi... apa dia tersesat... atau...?”

Ia berhenti, mengguncang kepalanya, menepis pikiran buruk yang mencoba merambati benaknya. Tangannya mengepal di dada.

“Tidak. Xu Hao bukan tipe yang akan pergi tanpa izin. Sesuatu terjadi padanya... aku harus menemukannya...”

Ia melesat lagi, berkeliling, mencari jejak sekecil apa pun. Namun waktu terus berjalan, dan puncak gunung itu tetap sunyi. Kekhawatiran semakin berat menggantung di hatinya.

Sementara itu, di tempat yang jauh dari jangkauan cahaya matahari, sebuah ruang bawah tanah yang menyerupai kuil tua terbentang. Batu-batu hitam yang retak membentuk dinding, sementara lentera merah kusam bergelantung di pilar-pilar, memancarkan cahaya yang bergetar samar. Aroma darah pekat memenuhi udara, menusuk hidung dan membuat dada terasa sesak.

Di tengah kuil itu terdapat sebuah kolam aneh. Bukan kolam air biasa, melainkan kolam darah. Cairan merah tua itu beriak pelan, seolah bernapas. Di dalamnya, terendam hampir sepenuhnya, adalah tubuh Xu Hao.

Tubuh anak muda itu begitu mengenaskan. Kulitnya pucat bagai giok yang retak. Otot-ototnya sobek, tulang-tulangnya patah, seolah ia baru saja dihancurkan berkali-kali. Sesekali, darah dari tubuhnya merembes dan larut ke dalam kolam, lalu terserap kembali, seakan kolam itu meminum dirinya.

Di tepi kolam, seorang pria tua duduk bersila. Jubah hitam compang-camping menutupi tubuh kurusnya. Rambutnya kusut, sebagian memutih, sebagian lagi berwarna abu pekat. Wajahnya tertutup bayangan, hanya terlihat sepasang mata yang memejam rapat. Aura aneh keluar darinya, sunyi namun menekan, seperti jurang tanpa dasar yang mengintai di tengah kegelapan.

Ia bermeditasi dengan tenang, napasnya teratur, seakan seluruh dunia di sekitarnya tidak ada artinya. Namun setiap kali ia menarik napas, darah di kolam itu beriak lebih kuat, dan tubuh Xu Hao sedikit bergetar, seakan ada sesuatu yang sedang ditarik keluar dari dirinya.

Entah roh, entah Qi, atau entah nyawanya sendiri.

Langit di atas kuil tua bawah tanah itu tampak gelap gulita. Malam menurunkan tabirnya, menelan cahaya bintang hingga dunia terasa sunyi. Kuil yang sudah lama ditinggalkan manusia tampak seperti reruntuhan, dindingnya dipenuhi lumut, dan atapnya ditutupi retakan serta akar liar yang menjuntai seperti tangan arwah. Namun, di dalamnya, justru bergolak sesuatu yang menentang hukum alam.

Pria tua itu duduk bersila di atas lantai batu yang retak. Jubah hitamnya lusuh, kainnya robek di banyak tempat, tetapi hawa yang dipancarkannya tidak bisa diabaikan. Pupil matanya merah menyala, seperti bara yang disembunyikan ribuan tahun di dasar bumi. Setiap kali ia membuka mata, udara di sekitarnya bergetar tipis, seperti merespons aura iblis yang samar.

Perlahan ia bangkit, langkah kakinya menyeret pelan. Setiap hentakan sandal jeraminya menimbulkan gema rendah di ruangan yang sunyi itu. Ia berjalan mendekat ke tepi kolam darah, bayangannya terpantul di permukaan merah yang beriak, seolah ribuan wajah di dalam cairan merah itu menatap balik padanya.

Dari cincin penyimpanan di jarinya, ia mengeluarkan sebuah botol giok kuno. Botol itu kecil, tetapi auranya begitu berat, seperti menyimpan rahasia kelam ribuan tahun. Ia membuka tutupnya perlahan. Seketika, ruangan dipenuhi aroma pahit dan berat, seperti bau logam bercampur racun kuno yang bisa membuat manusia biasa pingsan hanya dengan sekali hirup. Cairan hitam di dalam botol itu berkilau dengan sinar pekat, seakan ia adalah ekstrak dari ribuan nyawa yang telah lama musnah.

Pria tua itu mengangkat botol itu tinggi-tinggi, lalu memiringkannya.

Tetes pertama jatuh.

"Tsiiii…" suara mendidih terdengar. Air darah di kolam itu bergejolak, seperti ribuan ular merah yang berusaha melarikan diri. Tubuh Xu Hao, yang sudah hancur dan penuh luka, tersentak keras. Daging dan tulangnya bergetar seolah ingin tercerai-berai, namun di saat yang sama, sesuatu yang tak terlihat menyeret esensi darah itu masuk ke dalam dirinya. Seperti tanah kering yang menyedot hujan pertama, tubuh Xu Hao menelan darah itu dengan rakus.

Pria tua itu hanya menatap, senyumnya tipis, dingin.

Tetes kedua jatuh.

Suara jeritan melolong meledak dari kolam darah. Jeritan itu bukan dari manusia, melainkan teriakan ribuan jiwa yang terperangkap dalam cairan hitam itu. Tangisan, ratapan, dan amukan bercampur menjadi satu, seperti iblis yang berteriak dari neraka terdalam. Bahkan bagi seorang kultivator dengan Dao Heart yang tidak murni, suara itu bisa mengguncang jiwa, memutus benang pikiran, bahkan menjerumuskan ke dalam kegilaan.

Xu Hao bergetar hebat. Tubuhnya seakan dililit rantai besi panas, tulangnya retak, namun di dalam tubuhnya, sesuatu yang tersembunyi terus menyerap esensi itu. Darahnya mendidih, nadinya berdenyut gila, seakan ia bukan lagi manusia, melainkan tungku yang ditempa ribuan pedang.

Pria tua itu terkekeh pelan. "Anak ini… menarik sekali."

Tetes ketiga jatuh.

Seakan seluruh dunia berhenti bernafas. Kolam darah meledak dalam pusaran merah gelap, lalu dalam sekejap berubah menjadi kabut pekat. Kabut itu berputar, menyelimuti tubuh Xu Hao sepenuhnya. Perlahan, darah itu menjerat, melilit, dan akhirnya membungkus tubuh Xu Hao seperti kepompong merah kehitaman. Uap darah meresap ke dinding kuil, menggoreskan bayangan aneh, seakan lukisan iblis purba tengah menari.

Kepompong itu melayang perlahan dari permukaan kolam, seolah ditopang oleh kekuatan yang tidak berasal dari dunia fana. Tubuh Xu Hao lenyap di dalamnya, hanya suara detak jantung yang terdengar samar, berat, dan kuat.

Pria tua itu menghela napas panjang. Senyumnya berubah lembut, namun tetap mengandung rasa dingin yang menusuk. "Mari kita lihat sejauh mana tubuhmu mampu menahan esensi darah ini. Sepuluh tahun… mungkin itulah waktu yang kau butuhkan. Jika bertahan, kau akan terlahir kembali. Jika gagal, kau akan menjadi pupuk bagi darah yang tak terhitung ini."

Setelah berkata demikian, pria tua itu memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke tempat semula. Ia menurunkan tubuhnya perlahan, duduk bersila di atas lantai batu yang retak, lalu menutup matanya. Seperti seorang penjaga makam, ia menunggu, bukan sehari, bukan sebulan, melainkan satu putaran penuh zaman kecil.

Di dunia luar, waktu berjalan tanpa belas kasihan.

He Cuyo dan putrinya, He Lianxue, mencari Xu Hao bagai orang gila.

Di kaki Gunung Tianhe, mereka berdua menyisir jalan setapak. Lianxue membawa pedang terbangnya, matanya tajam menyapu setiap jengkal tanah, rambut panjangnya berkibar tertiup angin malam. Cuyo berdiri di atas pedangnya sendiri, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kegelisahan. Setiap kali ia mengerahkan auranya, pepohonan di sekitarnya bergetar hebat, dedaunan berguguran seperti hujan hijau.

Mereka memasuki kota Tianhe, mencari di pasar, di rumah-rumah penginapan, bahkan di gang-gang kecil yang bau dan kotor. Tidak ada tanda Xu Hao.

Cuyo akhirnya membuat keputusan besar. Dengan jarinya, ia melukis wajah Xu Hao di atas gulungan kertas menggunakan Qi petir. Wajah itu begitu hidup, seakan Xu Hao berdiri di hadapan orang-orang. Ia mengumumkan dengan suara yang bergema, mengguncang seluruh kota, "Barang siapa menemukan bocah ini, akan menerima hadiah seratus ribu batu roh!"

Kabar itu menyebar cepat, bagaikan api yang membakar hutan kering. Para pemburu, pedagang, bahkan pengemis pun ikut mencari. Namun tetap saja, jejak Xu Hao hilang bagai ditelan bumi.

Sementara itu, di dalam kuil sunyi, kepompong darah melayang pelan, semakin pekat. Aura Xu Hao di dalamnya menghilang, seakan ia benar-benar mati, namun di kedalaman kepompong itu, sebutir cahaya mungil berdenyut pelan, menolak padam.

Pria tua itu membuka matanya sedikit, pupil merahnya berkilat. Ia menatap kepompong itu, lalu bergumam lirih, "Sudah dimulai kah? Baiklah… sampai jumpa sepuluh tahun lagi, bocah."

Ia kembali memejamkan matanya, membiarkan waktu mengalir. Di luar, dunia bergerak. Namun di dalam kuil itu, rahasia besar sedang ditempa, sebuah kelahiran ulang yang akan mengubah takdir.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!