NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Harapan dan Langkah Baru

Di Rumah Aluna

Aluna membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Ia melepas sepatunya di rak, lalu berjalan masuk dengan lesu. Meskipun lelah, ada beban di hatinya yang terasa lebih ringan. "Aku pulang," ucapnya pelan.

Tante Siti keluar dari dapur, menyambutnya dengan senyum hangat. "Selamat datang, Aluna," sapanya. "Bagaimana harimu?"

Aluna menghela napas panjang. Ia meletakkan tasnya di sofa dan duduk, menatap Tante Siti dengan senyum lelah. "Lumayan rumit, Tante," jawabnya, suaranya terdengar pelan. "Tadi di sekolah... aku ketemu Fara. Dia minta maaf."

Tante Siti terdiam, matanya membulat terkejut. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping Aluna. "Minta maaf? Beneran?" tanyanya, tidak percaya. "Kenapa dia tiba-tiba?"

"Iya, Tante. Dia kelihatan beda banget. Dia bilang dia menyesal dan berharap kita bisa berteman," jawab Aluna.

Tante Siti terdiam sejenak, memproses informasi itu. Senyum lega mengembang di wajahnya. "Jika seperti itu, Pak Bram pasti akan senang mendengarnya," ucapnya.

Aluna menatap Tante Siti dengan tatapan penuh kebingungan. "Maksud Tante? Kenapa Om Bram senang kalau aku sama Fara baikan?"

Tante Siti menghela napas. "Tante dengar dari om-mu, Fara sempat membuat masalah lagi di sekolah. Karena itu, Pak Bram sangat kecewa dan ingin Fara berubah."

"Jadi, Pak Bram berharap dengan Fara dekat dan berteman denganmu, Fara bisa menjadi lebih baik. Ia melihatmu sebagai pengaruh yang baik," lanjut Tante Siti, menjelaskan dengan hati-hati.

Aluna terdiam, mencerna setiap perkataan itu. Ia sekarang mengerti. Permintaan maaf Fara memang tulus, tapi di balik itu ada harapan besar dari ayahnya. Aluna tidak lagi hanya berdamai dengan sepupunya, ia juga menjadi bagian dari sebuah rencana.

Tante Siti menepuk tangannya, memecah keheningan. Senyumnya kembali hangat, mencoba mengembalikan suasana ke keadaan semula.

"Baiklah, Aluna. Waktunya kamu ganti seragam mu," kata Tante Siti. "Tante sudah masakin makan siang untuk kita makan."

Aluna mengangguk pelan. Ia bangkit dari sofa dan berjalan ke kamarnya. Ia tahu Tante Siti sengaja mengalihkan pembicaraan, memberinya ruang untuk mencerna semua informasi yang baru ia dapatkan.

Sementara itu, di rumah Fara, ia tiba di depan pintu. Ia menghela napas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian, sebelum akhirnya masuk. Ketika ia hendak menaiki tangga, Pak Bram, papanya, tiba-tiba masuk ke dalam rumah.

Fara yang melihat papanya, terkejut dan matanya langsung berkaca-kaca. Ia berlari kecil, lalu memeluk Pak Bram erat. Pelukannya penuh dengan rasa rindu dan penyesalan. Pak Bram membalas pelukan putrinya, bingung.

"Ada apa, Nak?" tanya Pak Bram. "Kamu kenapa?"

Fara membenamkan wajahnya di dada Pak Bram, isakannya terdengar. Ia memeluk papanya lebih erat, seolah tak ingin melepaskannya.

"Aku sudah minta maaf, Pa," bisik Fara, suaranya parau karena menangis. "Aku sudah minta maaf ke Aluna."

Pak Bram terkejut. Ia melepaskan pelukan putrinya, memegang bahunya, dan menatapnya lekat. "Benarkah?" tanyanya, suaranya penuh kelegaan.

Fara mengangguk, air mata masih mengalir. "Iya, Pa. Aku menyesal. Aku beneran menyesal. Aku janji, aku enggak akan kayak gitu lagi. Aku mau berubah."

Senyum bangga terukir di wajah Pak Bram. Ia kembali memeluk Fara. "Papa tahu kamu bisa, Nak. Papa bangga sama kamu," ucapnya.

Tepat saat itu, mama Fara berjalan dari dalam dapur menuju ruang makan untuk menaruh masakannya. Ia melihat suami dan putrinya sedang berpelukan. Ia terkejut, menghentikan langkahnya.

"Ada apa ini?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa penasaran.

Pak Bram melepaskan pelukan Fara dan menatap istrinya, senyum bangga masih terukir di wajahnya.

"Fara sudah minta maaf ke Aluna," jelasnya dengan suara tenang dan penuh kelegaan. "Dia bilang dia benar-benar menyesal dan mau berubah."

Mama Fara membelalakkan matanya, terkejut. Masakannya hampir terlepas dari tangannya. Ia meletakkannya dengan hati-hati di meja makan, lalu menghampiri suami dan putrinya.

"Ya Tuhan, Fara..." bisiknya. Ia memeluk putrinya, air matanya mulai mengalir. "Mama bangga sama kamu, Nak."

Fara menangis di pelukan kedua orang tuanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa beban yang selama ini ia pikul telah terangkat. Ia tidak lagi merasa sendirian.

Dina, mama Fara, memandang suaminya. "Bagaimana kalau kita mengundang Aluna dan Tante Siti untuk makan malam di sini?" usulnya.

Bram tersenyum. "Itu ide yang bagus, Ma."

Fara terkejut. "Tante Siti? Siapa Tante Siti?" tanyanya, tidak mengerti.

"Orang yang Papa utus untuk menemani dan membantu Aluna di rumahnya," jelas Bram.

Dina mengangguk. "Iya, Fara. Sebenarnya dia tadinya mau Mama pekerjakan di rumah ini untuk membantu Mama. Tapi menurut Mama, Aluna lebih membutuhkan. Kamu tahu sendiri, dia tinggal sendirian."

Bram mengambil ponselnya. "Baiklah, Papa akan menelepon Aluna sekarang. Nanti Papa suruh supir untuk menjemputnya."

Fara mengangguk, rasa haru masih terasa di hatinya. Ia tidak sabar menunggu Aluna datang. Sementara itu, Dina tersenyum, membayangkan keluarga mereka akan kembali berkumpul setelah sekian lama.

Bram mencari nama Aluna di kontak ponselnya. Jarinya menekan tombol panggil, lalu ia mendekatkan ponselnya ke telinga.

Di kamarnya, Aluna baru selesai mengganti pakaian. Ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba menyala, menunjukkan nama kontak yang tidak asing: Om Bram. Aluna mengerutkan dahi, merasa sedikit bingung. Sudah lama sekali ia tidak menerima telepon dari omnya.

Ia akhirnya mengangkat panggilan itu. "Halo, Om?" ucap Aluna pelan.

"Halo, Aluna? Om mengganggu, ya?" terdengar suara ramah dari seberang.

"Eh, enggak, Om. Ada apa, Om?" tanya Aluna, sedikit canggung.

"Fara cerita ke Om kalau kalian sudah berbaikan. Om senang sekali mendengarnya," kata Bram. "Untuk merayakannya, Om mau mengundang kamu dan Tante Siti untuk makan malam di rumah Om malam ini. Sekalian biar kita semua bisa akrab lagi."

Bram menunggu jawaban dari Aluna. "Kamu mau, kan, Aluna?" tanyanya lagi, penuh harap.

"Iya, Om," jawab Aluna, tulus.

"Baiklah, nanti sore supir Om akan menjemput kamu dan Tante Siti," kata Bram.

Panggilan pun berakhir. Aluna terdiam, menatap ponselnya. Pikirannya melayang, ia membayangkan bagaimana suasana makan malam nanti.

Aluna pun turun ke lantai bawah dan menuju meja makan. Di sana, Tante Siti sudah duduk, menunggunya. Aroma masakan yang harum memenuhi ruangan, memberikan suasana yang hangat dan nyaman.

"Sini, Aluna, makan dulu," ajak Tante Siti dengan senyum. "Kamu pasti lapar."

Aluna duduk di hadapan Tante Siti. Ia tersenyum tipis, masih memikirkan panggilan telepon dari Om Bram tadi. Ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakannya.

"Tante," panggil Aluna pelan.

"Ya," jawab Tante Siti.

"Om Bram mengundang kita makan malam di rumahnya," kata Aluna, nada suaranya dipenuhi rasa tak percaya yang bahagia. "Katanya nanti sore, supir Om akan menjemput kita."

Tante Siti tersenyum lebar. Ia menggenggam tangan Aluna, matanya berbinar bahagia.

"Itu berita yang sangat bagus, Aluna," katanya dengan tulus. "Dan itu akan menjadi awal yang baik bagi kamu dan juga Fara."

Aluna mengangguk, merasa lega dan hangat. Senyum Tante Siti membuatnya merasa yakin bahwa ia telah membuat keputusan yang benar. Mereka berdua melanjutkan makan siang sambil sesekali membicarakan persiapan untuk nanti sore.

Di Rumah Valeria

Valeria, Tante Kiara, dan mamanya, Diandra, sedang makan siang bersama. Suasana terasa tegang.

"Besok kamu tidak lupa, kan, jadwal kamu? Walaupun kamu libur sekolah, kamu harus tetap belajar. Mama sudah atur, guru les kamu akan datang setelah jam makan siang," ucap Diandra dengan nada tegas.

Tante Kiara mencoba mengintervensi. "Kalau begitu, bagaimana kalau besok pagi kita jalan-jalan bersama, Mbak?" tanyanya kepada Diandra.

Diandra menggeleng. "Tidak, besok Mbak harus ke kantor, ada urusan mendesak," jawabnya dingin.

Tante Kiara menoleh ke arah Valeria. "Kalau begitu, aku sama Valeria boleh pergi, kan?"

Diandra menatap Valeria, menghela napasnya. "Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Siangnya dia ada les. Jam 12 dia sudah harus di rumah."

"Siap, Mbak," jawab Tante Kiara dengan senyum.

Diandra meletakkan sendoknya. "Ya sudah, Mbak mau ke kamar," katanya, lalu bangkit dan pergi.

Setelah Diandra pergi, keheningan canggung mengisi ruangan. Tante Kiara menoleh ke arah Valeria, senyum lebar terukir di wajahnya.

"Tos!" ajak Tante Kiara, mengangkat tangannya.

Valeria tersenyum, menyambut ajakan tantenya. Suara tepukan tangan itu memecah ketegangan, menandakan sebuah kemenangan kecil yang mereka raih.

Di Rumah Fara

Di dapur, Fara dan mamanya, Dina, sedang menyiapkan masakan untuk makan malam. Suasana dapur terasa hangat dan penuh tawa. Fara membantu dengan semangat, sesekali mengintip ke luar jendela, menunggu kedatangan Aluna dan Tante Siti.

Ia tidak sabar. Ini akan menjadi makan malam yang sangat spesial, dan Fara merasa bahagia karena keluarganya akan kembali berkumpul dengan orang yang sangat penting dalam hidupnya.

akhirnya Fara dan mamanya telah selesai menyiapkan masakan. Fara mondar-mandir di ruang tamu, sesekali mengintip ke luar jendela, menunggu kedatangan Aluna. Di dapur, mamanya, Dina, tersenyum melihat putrinya yang tampak begitu bersemangat.

Sementara itu, supir yang diutus Bram sudah berangkat menuju rumah Aluna untuk menjemputnya.

Aluna dan Tante Siti sudah selesai bersiap. Aluna mengenakan gaun yang sederhana namun elegan, sementara Tante Siti memakai kebaya yang rapi. Keduanya terlihat anggun.

Tak lama, suara klakson mobil terdengar dari luar. " Itu pasti supir yang diutus oleh Om Bram." Kata Aluna.

Aluna menoleh ke arah Tante Siti, rasa gugup mulai menjalar. Tante Siti mengerti tanpa kata. Ia tersenyum dan menggenggam tangan Aluna.

"Ayo," bisik Tante Siti, suaranya menenangkan.

Di dalam mobil, suasana terasa hening. Aluna duduk di samping Tante Siti, menatap ke luar jendela. Jalanan kota yang ramai di sore hari seolah-olah mengaburkan pikirannya. Ia merasakan gugup, namun juga ada sedikit kebahagiaan. Ia akan bertemu lagi dengan Fara, dan kali ini, bukan di sekolah, melainkan di rumahnya.

Tante Siti menggenggam tangan Aluna. "Jangan khawatir," bisiknya. "Semua akan baik-baik saja."

Aluna tersenyum, mengangguk. Ia membalas genggaman tangan Tante Siti, merasakan kehangatan yang menenangkan. Perjalanan itu terasa singkat, dan tak lama kemudian, mobil mulai memasuki sebuah kompleks perumahan besar. Jantung Aluna berdetak lebih kencang.

Mobil berhenti dengan mulus di depan sebuah rumah besar yang elegan. Supir membukakan pintu untuk Aluna dan Tante Siti. Mereka turun, mata Aluna langsung terpaku pada arsitektur rumah yang megah di hadapannya.

Tepat pada saat itu, sebuah mobil lain memasuki halaman rumah. Pintu pengemudi terbuka, dan Bram keluar. Ia tampak lelah setelah seharian bekerja di kantor. Namun, begitu matanya menangkap Aluna dan Tante Siti, wajahnya langsung berseri-seri.

Aluna dan Tante Siti tersenyum. "Selamat malam, Om," sapa Aluna.

"Selamat malam, Pak Bram," timpal Tante Siti.

Bram berjalan mendekat, senyum lebar di wajahnya. "Selamat malam. Ayo, mari masuk," ajaknya dengan ramah, mempersilakan mereka.

Bram mempersilakan Aluna dan Tante Siti masuk. Saat mereka melangkah ke ruang tamu, Fara yang sudah menunggu di sana langsung melihat kedatangan mereka. Senyum lebar langsung merekah di wajahnya. Tanpa ragu, ia segera berjalan cepat menghampiri Aluna.

Fara menatap Aluna, matanya berbinar bahagia. "Aluna!" panggilnya, suaranya dipenuhi rasa lega dan gembira.

Aluna tersenyum tulus. Ia tidak menyangka Fara akan menyambutnya sehangat ini. "Halo, Fara," jawabnya, suaranya dipenuhi kehangatan. Ia membuka tangannya, dan Fara langsung memeluknya erat.

Pelukan itu terasa seperti sebuah janji, bahwa semua yang telah terjadi di masa lalu akan ditinggalkan. Pak Bram dan Tante Siti tersenyum melihat mereka berdua. Dina, mama Fara, keluar dari dapur, senyum cerah di wajahnya.

"Selamat datang, Tante Siti, Aluna," sapa Dina dengan ramah. "Mari masuk, makanannya sudah siap."

Mereka semua berjalan menuju ruang makan. Suasana terasa sangat nyaman dan penuh kelegaan.

Mereka semua duduk di meja makan yang besar. Aroma masakan yang lezat memenuhi ruangan. Fara duduk di seberang Aluna, sesekali tersenyum. Tante Siti dan Dina duduk bersebelahan, sementara Bram mengambil tempat di kepala meja.

Suasana makan malam itu terasa hangat, berbeda dengan ketegangan yang selama ini menyelimuti hubungan mereka. Percakapan dimulai dengan topik ringan, seperti masakan yang disajikan. Semua orang mencoba untuk bersikap santai, menikmati hidangan lezat dan kehadiran satu sama lain.

Dina tersenyum melihat semua orang menikmati masakannya. "Semoga enak, ya," ucapnya ramah.

Tante Siti mengangguk. "Enak sekali, Bu Dina. Sudah lama sekali saya tidak makan masakan seenak ini."

"Terima kasih, Tante Siti," balas Dina, tersipu malu.

Setelah keheningan sejenak, Bram meletakkan sendoknya. Ia menatap Aluna dan Fara bergantian. "Om senang sekali kalian akhirnya bisa baikan," kata Bram tulus. "Rasanya seperti beban besar di keluarga ini terangkat."

Fara menunduk, matanya berkaca-kaca. "Maafkan Fara, Pa. Fara sudah mengecewakan Papa dan juga Mama."

"Tidak apa-apa, Nak," kata Bram, suaranya melembut. Ia kemudian menatap Aluna. "Aluna, terima kasih sudah mau memaafkan Fara dan memberi kesempatan kedua. Kami sangat menghargai itu."

Aluna tersenyum. "Sama-sama, Om. Aku juga senang bisa berteman lagi dengan Fara."

Di rumahnya, Damian duduk di meja makan bersama papanya, Danu. Suasana makan malam seharusnya hangat, tetapi Damian terlihat gelisah. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Valeria yang menangis. Ia hanya mengaduk-aduk makanannya, tidak berselera.

Danu menatap putranya. "Damian, kamu kenapa?" tanyanya. "Dari tadi kamu cuma mengaduk makananmu saja."

Damian menghela napas, meletakkan sendoknya. Ia menatap papanya, merasa bahwa ia tidak bisa memendam ini sendirian.

"Aku lagi mikirin Valeria, Pa," jawab Damian, jujur. "Ada masalah di keluarganya, dan aku khawatir banget sama dia."

Danu berhenti makan. Ia menatap putranya dengan serius. "Masalah apa, Nak? Kamu bisa cerita sama Papa."

Damian ragu sejenak, tapi ia tahu papanya bisa dipercaya. Ia mulai menjelaskan. "Mamanya Val, dia... dia terlalu mengontrol. Dia ngatur semua hal, Pa. Sampai-sampai, Valeria enggak punya waktu buat dirinya sendiri. Bahkan pas liburan pun dia harus les seharian."

Ia lalu menceritakan bagaimana Valeria merasa tertekan dan ingin kabur. Danu mendengarkan dengan saksama, ekspresinya berubah menjadi prihatin.

Danu mengangguk. Ia menggeser piringnya ke samping dan meraih tangan Damian.

"Nak, kamu sudah melakukan hal yang benar dengan menceritakannya ke Papa," ucap Danu dengan nada tenang. "Kamu tidak bisa menyelesaikan masalahnya, tapi kamu bisa jadi sandaran untuk dia."

"Kadang, saat seseorang merasa ingin kabur, itu bukan karena mereka ingin lari dari masalah, tapi karena mereka merasa tidak punya tempat lain untuk pulang. Kamu bisa jadi 'tempat pulang' itu, Damian."

Danu mengusap pundak putranya. "Kamu tidak perlu menekan dia atau mencoba mengubah mamanya. Cukup pastikan dia tahu kalau dia punya kamu, dan kalian bisa melalui ini bersama."

Damian mengangguk. "Iya, Pa, makasih. Kalau begitu, Damian permisi. Selamat malam," ucapnya, suaranya dipenuhi tekad.

Tanpa menunggu balasan, Damian segera bangkit dari duduknya. Papanya, Danu, terkejut. "Eh, Damian, kamu mau ke mana? Makanannya?" tanyanya.

"Nanti di jalan!" teriak Damian sambil berlari. Ia tidak ingin membuang waktu.

Danu hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. "Aduh, anak itu," gumamnya, meskipun senyum bangga terukir di wajahnya.

Damian berjalan cepat menuju motornya yang terparkir. Ia segera menyalakan mesin, menaiki motornya, lalu meninggalkan rumah. Malam sudah menjelang, tetapi ia tidak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang.

Ia berpikir untuk pergi ke rumah Valeria. Ia perlu menemuinya. Nasihat ayahnya tadi memberikan sebuah tujuan: ia harus memastikan Valeria tahu kalau ia tidak sendirian.

Setibanya di rumah Valeria, Damian turun dari motornya dan berjalan ke pintu. Ia menarik napas dalam, mengatur degup jantungnya, lalu mengetuk pintu.

Di dalam, Tante Kiara mendengar ketukan itu. Ia berjalan ke depan dan membukanya. Damian tersenyum, Senyumnya langsung merekah saat melihat Tante Kiara membukakan pintu untuknya.

"Hai, Tante," sapa Damian ramah. "Valeria ada?"

"Ada, sebentar ya, Damian," jawab Tante Kiara. Ia bergegas masuk ke dalam, menemui Valeria yang sedang berada di kamarnya.

"Val," panggilnya. "Ada Damian."

"Hah? Ngapain?" tanya Valeria, terkejut.

"Tante enggak tahu. Ayo, turun," ajak Tante Kiara, sedikit mendesak.

Valeria berjalan menuruni tangga dengan hati-hati. Jantungnya berdebar kencang. Ia melihat Damian berdiri di ruang tamu, di samping Tante Kiara. Damian menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran yang tulus.

Saat mata mereka bertemu, Valeria berhenti di anak tangga terakhir. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Damian, kenapa kamu di sini?" tanya Valeria, suaranya pelan dan penuh kebingungan.

Damian melangkah maju. "Gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja," jawabnya, suaranya lembut. "Gue khawatir sama lo."

Valeria menatap Damian, senyum tipis terukir di wajahnya. "Ah, iya. Makasih, Damian," ucapnya, merasa sedikit lega.

Damian tersenyum. Ia menoleh ke arah Tante Kiara. "Oh, iya, Tante, boleh saya ajak Valeria jalan-jalan malam ini?" tanyanya, memberanikan diri.

Valeria langsung menatap Tante Kiara, sorot matanya memohon. Tante Kiara terlihat ragu. "Aduh, gimana ya," gumamnya, sambil melirik ke atas, ke arah kamar Diandra, mamanya Valeria.

Tepat saat itu, Diandra keluar kamar dengan pakaian rapi, siap untuk pergi. Ia terhenti di ambang pintu, menatap heran ke arah ruang tamu. "Kiara, ada siapa ? Sepertinya Mbak mendengar suara orang. Apa ada tamu?" tanya Diandra, tatapannya tajam.

Valeria panik. Ia menatap Tante Kiara, matanya memohon. "Tante..." bisiknya, berharap Tante Kiara bisa membantunya.

"Ah, ini Mbak," jawab Tante Kiara, mencoba bersikap santai. "Ada tamu, teman Valeria."

Diandra mengerutkan dahi. Tatapannya kini beralih kepada Damian. "Teman Valeria? Malam begini? Ngapain?" tanyanya, suaranya dipenuhi kecurigaan. Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah menuruni tangga dan menghampiri mereka.

Valeria semakin panik, tubuhnya menegang. Damian berdiri tegak, mencoba mempertahankan ketenangannya.

Diandra berhenti tepat di depan Damian. Ia menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wajahnya dingin dan tanpa ekspresi. "Kamu siapa?" tanyanya dengan tajam. "Ngapain kamu malam-malam begini ke rumah saya?"

Damian mengulurkan tangannya untuk salim, sebuah isyarat rasa hormat. Namun, Diandra tidak membalasnya. Tangannya tetap berada di sisi tubuhnya, matanya menatap tajam ke arah Damian, tanpa ekspresi. Tangan Damian yang terulur menggantung di udara, menciptakan keheningan yang canggung dan menusuk.

Valeria semakin panik. Tante Kiara terlihat tidak nyaman, mencoba mencari cara untuk memecah suasana.

Damian menurunkan tangannya dengan perlahan. Meskipun rasa canggung menyelimutinya, ia tetap berdiri tegak. Ia menatap lurus ke mata Diandra, tidak gentar.

"Nama saya Damian, Tante," ucapnya dengan suara tenang dan jelas. "Saya teman sekelas Valeria. Saya datang karena khawatir dan ingin memastikan dia baik-baik saja."

Diandra tidak bergeming. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, tatapannya semakin tajam, seolah sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulut Damian.

Diandra terus menatap Damian dengan tajam. Ada kilatan kecurigaan di matanya. "Baik-baik saja? Memangnya Valeria kenapa? Dia baik-baik saja, kok," ucapnya dingin. "Kamu sebenarnya ada apa datang kemari? Seperti bukan hanya memastikan keadaan Valeria saja."

Suasana semakin tegang. Pertanyaan Diandra menusuk langsung ke inti masalah, mengikis pertahanan yang dibangun Damian. Valeria menahan napas, takut ibunya akan mengetahui yang sebenarnya.

Damian menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia menatap lurus ke mata Diandra.

"Saya... saya mau mengajak Valeria keluar jalan-jalan, Tante," jawabnya dengan suara tenang, meskipun sedikit ragu.

Diandra tertawa sinis, tanpa senyum. "Jalan-jalan malam begini tidak boleh," katanya dingin. "Valeria dilarang untuk keluar malam. Lebih baik kamu pulang sana."

Valeria menunduk, merasa sangat malu dan kecewa. Ia melirik Tante Kiara, tatapannya memohon bantuan. Tante Kiara mengerti.

Ia tersenyum ke arah Diandra. "Mbak sepertinya mau pergi. Mbak mau ke mana?" tanya Tante Kiara, mencoba mengalihkan perhatian.

Diandra menatap adiknya. "Saya ada urusan. Ada undangan."

Kemudian, Diandra kembali menatap Damian, tatapannya penuh peringatan. "Kamu mau sampai kapan berdiri di sini? Kamu enggak dengar saya bilang apa? Lebih baik kamu pulang!"

Tante Kiara tidak menunggu lagi. Ia mendekati Damian. "Damian, kamu lebih baik pulang ya. Ayo," bisiknya, lalu menarik lengan Damian ke luar.

Di teras, sambil berpura-pura mengantar Damian, Tante Kiara berbisik pelan. "Damian, kamu pergi saja dari sini, terus kamu pergi sedikit menjauh dari rumah ini. Nanti setelah mama Valeria pergi, kamu baru ke sini lagi ya."

Damian mengangguk, mengerti. "Baik, Tante. Kalau begitu Damian pergi. Salam buat Valeria dan mamanya," ucapnya.

Di dalam rumah, Diandra berjalan ke luar pintu, diikuti Valeria. Mereka melihat Damian pergi menjauh. Setelah motor Damian tak terlihat lagi, Diandra menatap putrinya.

"Ya sudah, Mama mau pergi, takut kemalaman. Dan ingat, Valeria, kamu harus tetap di rumah," perintahnya. Ia lalu menatap Kiara. "Kiara, jaga Valeria. Kalau laki-laki itu datang lagi, usir saja."

"Iya, Mbak," jawab Kiara, senyumnya tidak terlihat.

Tepat saat Diandra melangkah keluar, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan pintu. Supirnya segera turun dan membukakan pintu untuknya. Diandra langsung masuk dan mobil itu melaju.

Tidak jauh dari sana, Damian yang baru saja berbalik dan berjalan menjauh melihat mobil yang tadi masuk keluar lagi. Senyum lega merekah di wajahnya. "Itu pasti mama Valeria. Dia sudah pergi," gumamnya. Damian berbalik dan kembali menuju rumah Valeria.

Di dalam rumah, Tante Kiara menoleh ke arah Valeria, senyum usil terukir di wajahnya. "Val, kamu siap-siap, gih. Kamu mau jalan-jalan sama Damian kan? "

"Hah? Maksudnya?" tanya Valeria, bingung.

"Sudah, sana, cepetan!" kata Tante Kiara, sedikit mendesak sambil tersenyum.

Valeria merasa bingung, tetapi ia tetap menuruti perkataan tantenya. Ia berjalan cepat ke kamarnya untuk berganti pakaian. Sementara itu, Tante Kiara menunggu di ruang tamu, tersenyum penuh rahasia.

Tak lama kemudian, bel pintu berbunyi. Tante Kiara segera membukanya dan mendapati Damian berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit terengah.

"Tante!" panggil Damian, suaranya sedikit tergesa-gesa.

Tante Kiara tersenyum melihat Damian. "Tunggu sebentar ya, Damian. Ayo, silakan masuk dan duduk," katanya ramah.

Damian mengangguk, melangkah masuk, dan duduk di sofa ruang tamu. Tante Kiara meninggalkannya, lalu berjalan cepat menuju kamar Valeria.

Di dalam kamar, Valeria terlihat kebingungan. Pakaian-pakaiannya berserakan di tempat tidur, tetapi ia tidak tahu harus memakai yang mana. Tante Kiara tiba tepat waktu.

Valeria menatap tantenya dengan mata memohon. "Tante, aku harus pakai baju apa?" tanyanya.

Tante Kiara tersenyum melihat kebingungan Valeria. Ia mengambil jaket denim dan celana panjang dari tumpukan pakaian di tempat tidur.

"Kamu mau jalan-jalan malam dan naik motor sama Damian, kan?" katanya. "Jadi, kamu harus pakai jaket dan celana panjang. Biar hangat dan aman."

Valeria mengangguk, merasa lega karena tantenya sudah memberinya solusi. Dengan cepat, ia mengganti bajunya. Beberapa menit kemudian, Valeria sudah siap.

Tante Kiara menepuk bahu Valeria. "Ayo turun," katanya. "Damian pasti sudah lama nunggu."

"Iya, Tante," jawab Valeria, mengambil napas dalam.

Keduanya berjalan menuju ruang tamu, di mana Damian sedang menunggu. Jantung Valeria berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan, tetapi ia merasa siap.

Tante Kiara melihat Valeria dan Damian yang sudah siap. Ia berjalan mendekati mereka.

"Damian," panggilnya. "Tante minta nomor telepon kamu. Kalau Valeria tidak bisa Tante hubungi, Tante akan hubungi kamu."

Damian dengan senang hati memberikan nomornya.

Tante Kiara menatap mereka berdua, wajahnya serius. "Kalian bisa pergi," ucapnya. "Tapi ingat, jangan sampai malam. Jam 10 sudah harus ada di rumah."

"Siap, Tante," jawab Damian dan Valeria serempak.

Mereka pun berpamitan, lalu keluar rumah. Damian membantu Valeria naik ke motornya, dan mereka pun melaju, meninggalkan pekarangan rumah Diandra.

Tante Kiara tersenyum lega, lalu menutup pintu rumah. Di luar, mesin motor Damian bergemuruh, memecah keheningan malam. Valeria duduk di belakangnya, memeluknya dengan erat.

"Kita mau ke mana, Damian?" tanya Valeria penasaran, suaranya sedikit tertutup oleh deru angin.

Damian tersenyum. "Nanti lo juga tahu," jawabnya. "Pegangan yang erat, Val. Gue mau sedikit ngebut."

Valeria membenamkan wajahnya di punggung Damian, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa takut, namun rasa takut itu bercampur dengan kegembiraan yang luar biasa. Ia akhirnya merasa bebas.

Valeria menikmati setiap detik perjalanan itu. Angin malam menerpa wajahnya, membuat rambutnya berterbangan. Ia melihat sekelilingnya, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seperti bintang di bumi.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar hidup. Bebas. Jauh dari jadwal ketat, jauh dari tuntutan, jauh dari ibunya. Ia memeluk Damian lebih erat, menyandarkan kepalanya, dan memejamkan mata.

Damian sesekali melirik dari kaca spion motornya. Ia melihat Valeria bersandar di punggungnya, matanya terpejam dengan senyum tipis di wajahnya. Ia merasa senang melihat Valeria menikmati momen itu, terbebas dari semua tekanan. Di sisi lain, jantungnya berdebar kencang. Ia menyadari seberapa besar risiko yang ia ambil, tetapi ia tahu semua itu sepadan.

Setelah beberapa saat, motor Damian mulai melambat, menepi di sebuah tempat.

Motor Damian berhenti di sebuah tempat yang sangat ramai. Cahaya lampu dari berbagai stan - stan makanan dan permainan menerangi area tersebut, suara musik dari panggung band terdengar meriah. Keramaian orang membuat suasana terasa hidup.

Valeria menatap pemandangan itu, matanya berbinar. "Ini di mana? Sepertinya ramai banget," ucapnya penuh kagum.

Damian tersenyum. Ia menanggalkan helmnya dan menatap Valeria. "Iya, karena disini sedang ada festival. Gue dapat info, kalau di sini akan di adakan festival, jadi gue berpikir mau ngajak lo ke sini buat menghilangkan penat yang ada di otak lo," jawabnya.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Valeria tertawa lepas. Tawanya terdengar merdu di tengah keramaian. Damian merasa sangat senang mendengarnya. Ia mengulurkan tangannya. "Ayo," ajaknya.

Valeria membalas uluran tangan Damian, dan mereka berjalan bersama memasuki area festival.

"Di sini ada stand-stand jajanan, aksesoris, pernak-pernik, permainan, band, dan bakal ada kembang api juga," jelas Damian.

Damian tersenyum. Ia menoleh ke arah Valeria, matanya mencari persetujuan. "Lapar enggak? Kita cari makanan dulu, yuk."

Valeria mengangguk penuh semangat. Aroma makanan yang beragam langsung menusuk indra penciumannya. Damian menggenggam tangannya lebih erat, menuntunnya menembus kerumunan orang. Mereka berhenti di depan sebuah stan sate padang.

"Lo suka sate?" tanya Damian.

"Suka banget!" jawab Valeria, matanya berbinar.

Setelah memesan dua porsi sate, mereka duduk di bangku terdekat sambil menunggu pesanan mereka. Valeria memandang Damian. "Makasih ya," ucapnya, tulus. "Gue seneng banget bisa ke sini."

Damian tersenyum. "Sama-sama. Sekarang lo bisa lupain semua masalah lo dulu, oke?"

Valeria mengangguk. "Ya," ucapnya.

Mereka mulai makan, tetapi mata Valeria tidak bisa lepas dari keramaian di sekelilingnya. Lampu warna-warni dari setiap stan menerangi wajah orang-orang yang tertawa dan bersenang-senang.

"Hei," panggil Damian, menyadari tatapan Valeria. "Apa ini baru pertama kali lo ke sini?"

Valeria mengangguk. "Ya, mama larang gue," jawabnya pelan, seperti sebuah pengakuan.

"Revan, dia enggak pernah ngajak lo ke sini? Atau dia enggak pernah ngajak lo keluar?" tanya Damian.

"Pernah, tapi enggak pernah ke tempat seperti ini," jelas Valeria. "Paling kita main ke mal, tempat permainan gitu. Atau ketika dia mau tanding basket atau bola, kadang dia ngajak sih. Tapi dia enggak pernah ngajak ke tempat seperti ini, makan di tempat kayak gini. Paling, ya, ke restoran gitu, deh."

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!