Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_27 Oleh-Oleh Untuk Hanina
Hanina menatap Xiao Mei yang kini menangis tersedu-sedu, bahunya berguncang naik turun. Hanina merapatkan tubuhnya pada sisi Xiao Mei memeluk wanita itu dengan lembut.
Hingga sebuah deru motor dari luar terdengar. Chen Jie memarkirkan sepeda motornya tepat di halaman rumah, sambil membawa kantong makanan yang dipesan Hanina.
Usai melepas helm dan turun, Chen Jie melangkah dan mengetuk pintu rumah. Hanina yang tengah menghibur Xiao Mei bangkit perlahan.
"Tunggu sebentar ya, habis ini kita sarapan bersama." ucap Hanina. Xiao Mei hanya mengangguk dengan masih terisak.
Gadis itu beranjak menuju pintu dengan langkah cepat lalu membuka pintu perlahan. Chen Jie sudah berdiri dengan wajah yang datar.
"Ini pesananmu, dan ini kembalianya." Chen Jie menyodorkan satu kantong makanan di tangan kananya dan beberapa lembar uang di tangan kirinya.
Kening Hanina mengernyit sambil menerima kantong itu, lalu melongok isinya.
"Kok cuma beli satu?" serunya, menatap Chen Jie dengan mata yang membulat.
Chen Jie mendengus."Terus berapa? Sepuluh? Kau mau mukbang pagi-pagi begini?"
"Astagfirullah hal adzim... "
"Kau bilang apa?" Chen Jie terhenyak dengan kalimat Hanina yang asing di telinganya.
Hanina mendecak, kesal. "Bagaimana dengan Xiao Mei, Kau tidak memikirkanya? sudah benar ku kasih uang besar biar kau membeli lebih banyak, malah di kasih kembalian."
"Bagaimana dengan dia? Apa urusanku denganya? Suruh dia beli makananya sendiri." Balas Chen Jie, enteng.
"Chen Jie—"
"Apa? " potong Chen Jie, cepat . "Sudah ku bilang aku tidak mau melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaanku, tanggung jawabku cuma kamu, bukan cewek jablay itu!"
"Chen Jie cukup!" Hanina mengangkat telapak tanganya. " Kau senang merendahkan perempuan, ya? Kau tidak sadar darimana kau dilahirkan?" ucapnya, suaranya cukup keras, hingga Xiao Mei yang sejak tadi memperhatikan langsung bangkit dan melangkah mendekati mereka.
"Ada apa ini Hanina, kenapa ribut-ribut?" tanyanya, begitu tiba di samping Hanina. Chen Jie menatap Wanita itu dengan rahang mengeras.
"Ibuku wanita baik-baik, bukan pelacur seperti dirinya!" seru pria itu, tajam.
"Chen Jie!" bentak Hanina. Di sisi lain, Xiao Mei hanya menunduk, menunjukan raut kesedihanya.
"Wang Lei juga pakai dia buat pelampiasan doang. Semua wanita diperlakukan seperti sampah. Baru kali ini dia mau repot-repot bayar orang buat jagain Cewek cerewet kaya kamu."
"Apa?" Hanina tertegun, tapi dia tak tahu harus melanjutkan kalimat apa, napasnya memburu dan sebelum dia sempat membalas, Chen Jie berbalik badan menuju kendaraan roda duanya.
"Kau keterlaluan! kau dan Wang Lei sama saja! Pria brengsek yang senang merendahkan perempuan tapi di sisi lain menikmati mereka juga!" Hanina melangkah maju, menatap dengan mata menyipit tajam saat Chen Jie menaiki motornya.
Pria itu menyeringai sinis ke arahnya.
"Kau hanya tahu sedikit tentang kami Hanina... Makanya sebelum dia membawamu lebih dalam kedunianya, lebih baik kau minta dipulangkan secepatnya."
Hanina membeku di tempat. Kata-kata Chen Jie membuat kepalanya kembali berputar. Xiao Mei di sisi lain diam, menyaksikan perdebatan mereka dengan senyum tipis di sudut bibirnya, seperti sedang merayakan kemenangan kecil.
"Aku pergi dulu dan akan kembali lagi, jadi jangan kemana-mana!" ujar Chen Jie. Pria itu menyalakan mesin memutar gas dan melajukan kendaraanya keluar halaman.
Xiao Mei yang masih berdiri di belakang Hanina mendekati gadis itu, dalam sekejap wajahnya berubah murung.
"Hanina..." panggilnya dengan suara lirih. Hanina menoleh menatap Xiao Mei dengan penuh keprihatinan.
"Xiao Mei, kau tidak apa-apa kan? Aku tahu ucapannya pasti sangat menyakitimu."
Xiao pura pura tersenyum sambil menghapus jejak air mata palsunya.
"Tidak apa-apa Hanina. Bukanya aku sudah bilang, hal ini sudah biasa bagiku? Dia benar, aku harusnya bisa berdamai dengan keadaanku dan bersahabat dengan resiko yang ku jalani, aku akan belajar itu..."
"Xiao Mei, tidak. Kalau kau mau kau bisa mengubah dirimu jadi lebih baik, kau bisa keluar dari zona yang membuatmu tersiksa." ujar Hanina, lembut.
Xiao Mei mengulum senyum, menggenggam tangan Hanina yang masih memegang kantong makanan. Mata Xiao Mei menatapnya dalam, seolah tulus padahal di dalamnya penuh ancaman.
"Aku seringkali mencobanya tapi terus gagal, Hanina... tapi sudahlah tidak perlu kau pikirkan. Aku baik-baik saja."
Hanina menatap genggaman tangan mereka, menarik napas dalam dan mengulas senyum miris.
"Aku turut bersedih, kehidupanmu pasti sangat menyakitkan." katanya, pelan.
Xiao Mei hanya mengangguk. Mereka diam sejenak sebelum Hanina memecahkan suaranya lagi.
"Baiklah, ayo masuk. Sarapan ini untukmu saja, ya?"
"Tidak Hanina, aku bisa memesan makanan sendiri, untukmu saja.. Terimakasih, ya..."
Mereka berdua berbalik badan masuk ke dalam rumah. Dalam permainan ini Hanina yang tulus dan Xiao Mei yang modus, siapakah yang akan memenangkan pertandingan emosional ini? Dan rencana licik apa yang sedang wanita itu rencanakan?
...•<•<•pearlysea•>•>•...
Kota Shenzen, Vila Mewah.
Di sebuah kamar yang luas, Wang Lei berdiri di ujung ranjang, tengah melipat beberapa kain panjang berwarna lembut lalu meletakanya di dalam koper.
Sudut bibirnya menciptakan senyum tipis kala membayangkan kain- kain itu membingkai indah wajah Hanina. Kain itu dia beli di festival malam tradisional sebelum pelelangan kemarin, dan tanpa sepengetahuan bos Liang.
...Flashback....
Mereka berkunjung kesana karena bos Liang seorang penikmat dan kolektor barang antik, kedatangannya ke festival malam tradisional tentu saja untuk mencari sesuatu yang langka dan menarik.
Wang Lei diberi kebebasan untuk pergi seorang diri, sementara bos Liang tetap di kawal ajudanya.
Dia menyusuri jalur yang lebih sederhana dan matanya langsung tertarik pada tenda kecil yang menjajakan kain, tusuk konde, dan perhiasan perak tradisional.
"Ayo di lihat-lihat dulu... kain dan perhiasan ini sangat cantik, cocok untuk oleh-oleh kekasih tersayang." sapa seorang wanita paruh baya yang berdiri di balik meja kayu lapaknya. Suaranya ramah, dia tampak senang karena hanya Wang Lei yang meluangkan waktu mampir, sementara orang-orang lain hanya melintas tanpa menoleh.
Wang Lei tersenyum samar lalu menunduk, jemarinya mulai menyibak kain-kain di tumpukan meja lapak. Setiap helai memiliki motif berbeda, dari corak bunga sakura yang dilukis dengan tinta halus, hingga motif awan dan naga yang dijahit dengan benang keemasan, bahkan kain berwarna yang polos pun tersedia.
"Ini buatan tangan, Nak. Kain-kain ini ditenun langsung oleh para ibu dari desa pegunungan. Halus, ya?" ujar si wanita dengan bangga, tangannya menepuk ringan lipatan kain di sampingnya.
"Kalau untuk seorang gadis yang disayang, saya sarankan yang ini." Dia mengangkat sehelai kain biru muda dengan pinggiran bordir keemasan.
Wang Lei menerima kain itu dengan kedua tangan, membentangkannya perlahan. Seketika bayangan Hanina muncul di benaknya.
"Apa ini cocok untuk di kenakan sebagai hijab?" tanyanya.
"Hijab?" Wanita tua mendadak bingung.
"Hijab..." Wang Lei mengangkat kedua tangan, memperagakan gerakan sederhana seolah melilit hijab di kepala.
"untuk membingkai wajah, menutupi rambut wanita." jelasnya.
Wanita paruh baya itu mengerjap, lalu tersenyum tipis karena baru mengerti maksud Wang Lei. Ia mengangguk-angguk kecil, kemudian berkata pelan,
"Ah, semacam kerudung ya… iya iya, bisa, Nak. Kain ini cukup ringan dan jatuhnya bagus. Gadis manapun yang memakainya pasti akan cantik sekali."
Wang Lei tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap kain itu sekali lagi, jari-jarinya menyentuh bordiran halus di tepinya. Dalam pikirannya, Hanina mengenakan kain itu, duduk di bawah cahaya temaram di ruang tamu dengan senyum teduh yang menenangkan.
"Aku akan ambil lima kain, tolong pilihkan yang paling anggun."
Penjual itu terbelalak sebentar, matanya berbinar bahagia.
"Lima helai? Wah, gadismu pasti sangat beruntung," gumamnya sambil mulai memilihkan kain-kain terbaik dari tumpukan. Ia menyingkirkan yang bermotif terlalu mencolok, lalu mengambil beberapa dengan warna lembut, biru langit, hijau zamrud, krem pasir, dan satu lagi berwarna merah anggur dengan benang emas yang ditenun menyerupai ombak.
"Yang ini, khusus tenunan edisi langka. Jarang kami keluarkan. Tapi karena kau pria yang tulus, kurasa kain ini sudah seharusnya diberikan untuk seseorang yang pantas."
Wang Lei menatap kain itu dengan mata yang berbinar, mata yang tak pernah dia tunjukan pada siapapun selama ini.
"Bungkus semuanya."
"Baik, Nak. Tunggu sebentar." Dengan cekatan, wanita itu membungkus kelima kain ke dalam satu bundelan yang rapi dengan tali rotan tipis.
Wang Lei menyerahkan beberapa lembar uang besar. "Tidak usah kembalian. Anggap saja untuk para penenun di desa."
Mata si wanita tua berkaca-kaca. "Kau orang baik… semoga gadismu tahu, bahwa kau memilih dengan hati."
Wang Lei hanya tersenyum tipis, lalu membungkuk ringan dan melangkah pergi dari lapak itu dengan kantong kain di tangan. Langkahnya membaur bersama keramaian orang yang berlalu lalang bercampur suara bising musik tradisional dan suara- suara para penjual yang menjajakan dagangannya di bawah kilau lampu lampion yang bergantung indah di sepanjang jalan.
Wang Lei... Selama ini tidak pernah membeli hadiah untuk siapa pun. Tidak untuk wanita mana pun yang pernah mengisi hidupnya, yang semuanya hanya persinggahan singkat tanpa jejak. Tapi pengecualian untuk Hanina, entah mengapa hasrat untuk menjaganya begitu besar. Mungkinkah karena rasa rindunya pada seseorang di masa lalu, atau karena rasa kagumnya pada sikap dan cara gadis itu ketika berbicara?