NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:15.5k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Malam hari…

Mawar mondar-mandir di dapur, kegelisahan menyelimuti pikirannya. Sejak pagi, dadanya terasa sesak, pikirannya tak bisa lepas dari sesuatu yang terus mengusiknya.

“Aku harus minta izin cuti. Tapi bagaimana caranya agar Tante Lusi tidak curiga?”

Tatapannya beralih ke jam dinding. Jarum pendek hampir menyentuh angka sebelas. “Ya Tuhan… sudah selarut ini, kenapa Tante Lusi belum pulang juga?”

Pikirannya kembali melayang ke kue yang ia cicipi tadi. Teksturnya lembut, rasanya manis—terlalu akrab, terlalu membangkitkan kenangan yang telah lama ia tekan. Anjani. Kakaknya yang ia tinggalkan di pulau, sendirian.

Di luar, terdengar suara Mbok Ijah yang baru selesai membuang sampah. Wanita tua itu tampak lelah, tapi tetap tersenyum pada Mawar.

“Neng Mawar, Mbok duluan ke kamar ya.”

Mawar hanya mengangguk tanpa benar-benar memperhatikan. Pikirannya masih penuh, dadanya semakin sesak.

Hingga tiba-tiba—

Suara mesin mobil memasuki halaman, menginterupsi kekacauan di benaknya. Mawar menegang, buru-buru merapikan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang.

Dari balik jendela, ia melihat Lusi keluar dari mobilnya. Wanita itu masih tampak anggun meski wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Mawar menarik napas dalam, lalu berjalan keluar untuk menyambutnya.

“Ada yang bisa Mawar bantu, Bu?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh kesopanan yang dibuat-buat.

Lusi hanya melirik sekilas sebelum menunjuk beberapa paper bag di bagasi mobilnya. “Bawa semua barang ini ke kamarku,” perintahnya singkat, nada suaranya tetap tegas.

Tanpa menunggu jawaban, Lusi langsung masuk ke dalam rumah.

Mawar menatap paper bag itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah punggung Lusi yang semakin menjauh. Senyumnya memudar, digantikan tatapan dingin dan tajam.

“Kau pikir aku pantas disuruh-suruh seperti ini olehmu,” gumamnya dalam hati, penuh penghinaan.

Namun, ia segera menekan emosinya. Tidak boleh terburu-buru. Ia harus tetap bermain dalam perannya. Dengan langkah anggun, ia mengikuti jejak Lusi, membawa barang-barang itu masuk ke kamar.

Begitu masuk, Mawar melihat Raya dengan piyama lucunya berlari menuruni tangga dan langsung melompat memeluk ibunya. “Mama pulang!”

Lusi tersenyum, membelai kepala putrinya dengan lembut. Namun hanya sebentar, karena perhatian Lusi langsung kembali pada ponselnya.

Sementara itu, Mawar tetap berdiri di sudut kamar, tetap berpura-pura sopan. “Maaf, Bu Lusi. Barang-barang ini diletakkan di mana?”

Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya, Lusi hanya menunjuk salah satu sudut kamar. Mawar menurut, meletakkan paper bag dengan hati-hati, tapi matanya mencuri-curi pandang ke arah Lusi.

Di layar ponselnya, Lusi sedang mengetik pesan.

“Mas, cepat pulang. Aku sudah di rumah. Malam ini free, tidak ada pemotretan. Aku menunggu…”

Tak hanya itu, Lusi juga melampirkan foto ranjangnya—ranjang besar yang nanti malam akan ia gunakan untuk menghabiskan malam bersama suaminya.

Di seberang sana, Bumi yang tengah berada di ruang meeting, berhenti sejenak saat notifikasi masuk. Ia membaca pesan itu, lalu matanya beralih ke foto yang dikirimkan Lusi.

Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Hatinya terasa hangat, penuh antusiasme yang sejak lama jarang ia rasakan. Sebagai seorang suami yang jarang mendapat perhatian dari istri yang selalu sibuk, undangan seperti ini tentu sangat dinantikannya.

Dengan penuh semangat, Bumi mengetik balasan. “Iya, Sayang. Mas masih meeting, sebentar lagi selesai.”

Setelah itu, ia kembali fokus ke pekerjaannya, tapi dalam hatinya, sudah tak sabar untuk segera pulang.

Sementara itu, di kamar, Lusi tersenyum puas membaca balasan dari Bumi. Ia menyimpan ponselnya di atas meja, lalu beralih ke cermin untuk merapikan rambutnya.

Di sudut kamar, Mawar terdiam. Ia bimbang.

“Aku harus izin sekarang? Atau besok saja?” pikirnya.

Ia menggigit bibir, merasa ragu. Toh, sekarang sudah malam. Tidak mungkin juga ia langsung pulang ke pulau dan menebus kalung Ibunya saat ini.

Akhirnya, ia mengurungkan niatnya untuk bicara sekarang. Dengan suara lembut, ia berpamitan. “Maaf, Bu. Mawar turun dulu.”

Namun, baru beberapa langkah, suara Lusi menghentikannya.

“Mawar, tunggu dulu!”

Mawar membalikkan badan dengan ekspresi tenang. “Iya, Ibu. Ada yang bisa Mawar bantu?”

Lusi berdeham kecil, lalu menatap sebuah kantong besar di sudut ruangan. “Ini pakaian bekas aku. Masih bagus, tapi aku sudah tidak mau pakai. Daripada dibuang, lebih baik kamu pakai saja. Aku tadi mau kasih ke Mbok Ijah, tapi dia sudah tua, tidak pantas pakai pakaian seperti ini.”

Mawar terdiam.

Di dalam hatinya, ia tertawa sinis. “Pakaian bekas? Dari wanita yang telah menghancurkan hidup Ibuku? Kau benar-benar merendahkanku, Lusi.”

Namun, wajahnya tetap tenang. Senyum kecil ia sunggingkan, menyembunyikan penghinaan yang membara di dadanya. “Iya, Bu. Mawar mau,” jawabnya lembut.

Setelah beberapa saat, Mawar kembali membuka suara. “Oh iya, Bu. Sebelumnya Mawar minta maaf kalau terdengar lancang…”

Lusi melirik sekilas. “Iya, kenapa?”

Mawar menarik napas dalam, menyusun kebohongan yang sudah ia persiapkan. “Nenek Mawar di kampung… sedang sakit. Mawar ingin cuti beberapa hari untuk menjenguknya, sekalian Mawar juga mau mengambil gaji untuk ongkos dan berobat Nenek.”

Namun, sebelum Lusi bisa menjawab, ponselnya tiba-tiba berdering.

“Apa?! Ada pemotretan mendadak? Oke-oke, aku langsung ke lokasi sekarang!” Lusi berbicara dengan terburu-buru.

Begitu menutup telepon, tiba-tiba listrik di dalam rumah padam.

“Ya Tuhan, ada apa ini?” keluh Lusi, tatapannya beralih ke arah Raya yang sudah tertidur pulas di ranjangnya.

“Aduh, ada-ada saja…” Ia mengusap wajahnya, merasa kesal dengan kejadian tak terduga ini.

Kemudian, Lusi menatap Mawar tajam. “Mawar, jaga Raya baik-baik. Dia takut gelap, jangan tinggalkan dia sendirian. Pak Bumi sebentar lagi pulang. Tunggu sampai dia datang, baru kamu boleh turun dari kamar ini.”

Lalu, tanpa pikir panjang, Lusi meraih tasnya dan segera bergegas pergi—meninggalkan ponselnya di atas meja, lupa membawanya.

Mawar masih berdiri di tempatnya. Tangannya mengepal.

“T-tapi, Bu… bagaimana dengan izin Mawar tadi?” tanyanya, mencoba bertahan.

Lusi, yang sudah bersiap melangkah turun, hanya menoleh sekilas. Sorot matanya tajam, penuh otoritas. “Kamu baru bekerja, Mawar. Belum ada satu bulan. Jadi aku tidak mengizinkan.”

Tanpa memberi ruang untuk negosiasi, ia menambahkan, “Ya sudah, aku lagi buru-buru.”

Lalu, tanpa menunggu tanggapan, wanita itu melangkah turun, meninggalkan Mawar dalam kegelapan kamar.

Mawar tersenyum miring, matanya menyipit penuh ejekan. “Sudah kuduga. Ini jawabanmu, Lusi. Wanita tak berhati.”

Tatapannya kemudian beralih ke arah ranjang. Di sana, Raya tertidur pulas, napasnya teratur, wajah kecilnya terlihat begitu damai di bawah redupnya cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela.

Mawar melangkah mendekat, lalu berjongkok di sisi tempat tidur. Ia menatap wajah polos gadis kecil itu, begitu lembut, begitu tak berdosa.

Sejenak, hatinya bergejolak. Raya adalah anak dari wanita yang telah menghancurkan keluarganya. Seharusnya ia membenci gadis kecil ini…

Namun, anehnya, ia tak bisa.

Mawar menarik napas dalam, jemarinya perlahan menyusuri rambut lembut Raya, seolah mencoba memahami perasaan yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya.

“Kamu anak baik,” bisiknya lirih. “Sayang sekali, kamu kurang perhatian dan kasih sayang dari ibumu.”

Ia menatap wajah polos itu sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. Tatapannya beralih ke kantong besar yang tadi diberikan Lusi. Dengan langkah pelan, ia mendekat, membukanya, dan mulai menelusuri isinya.

Senyum sinis tersungging di bibirnya. Pakaian-pakaian itu memang masih bagus, tapi tetap saja, bagi Mawar, ini hanyalah pakaian bekas milik wanita yang paling ia benci.

Namun, di antara tumpukan kain itu, sesuatu menarik perhatiannya.

Lingerie merah.

Mawar mengangkatnya perlahan, membiarkan kain sutra itu terjatuh lembut di jemarinya. Teksturnya halus, sensual, mengisyaratkan kemewahan dan daya pikat yang selama ini hanya dimiliki oleh Lusi.

Namun kini, kain ini ada di tangannya.

Senyum penuh arti terbit di bibirnya, matanya berkilat dengan ide liar yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Tanpa ragu, ia melangkah ke depan cermin besar yang terletak di sudut ruangan. Dengan satu gerakan berani, ia mulai menanggalkan pakaiannya, melucuti semuanya tanpa ada sisa, bahkan sampai ke CD dan bra-nya, membiarkan kulitnya yang putih dan mulus terbebas dari belenggu kain kasar. Kemudian, perlahan-lahan, ia mengenakan lingerie merah itu.

Begitu kain tipis, lembut, dan transparan itu membalut tubuhnya, ia menatap pantulan dirinya di cermin.

Cantik. Seksi. Menggairahkan.

Senyumnya berubah menjadi seringai penuh percaya diri. Ia memiringkan kepala sedikit, menatap dirinya dengan kagum—seolah baru menyadari betapa memesonanya ia sebenarnya.

“Jadi ini… pakaian yang membuat Om Bumi betah bertahun-tahun hidup denganmu, Lusi?”

Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan penuh ejekan. Jemarinya terangkat, menelusuri wajahnya sendiri, menyentuh pipi, lalu turun ke leher, menilai setiap lekuk yang kini dihiasi lingerie berkelas itu.

“Aku pun bisa sepertimu. Tidak—aku lebih dari sekadar sepertimu. Aku jauh lebih cantik, lebih menggoda, lebih memikat.”

Tatapannya beralih ke meja rias Lusi. Dengan langkah santai, penuh keanggunan yang lancang, ia menghampiri meja itu, meraih sebuah lipstik mewah berwarna merah pekat.

Dengan gerakan lambat, sensual, ia mengoleskannya ke bibirnya. Garis-garis merah itu semakin menonjolkan bentuk bibirnya yang sudah penuh dan menggoda.

Tapi ia belum selesai.

Tangannya bergerak lagi, meraih botol parfum milik Lusi. Ia menyemprotkannya ke leher, pergelangan tangan, dan dadanya. Aroma khas yang selalu melekat pada wanita itu kini menjadi miliknya.

Kini, tidak ada lagi perbedaan antara Mawar dan Lusi.

Sebagai sentuhan terakhir, ia melepas ikatan rambutnya. Gelombang rambut merah alaminya jatuh liar, membingkai wajahnya dengan sempurna, menambah kesan liar dan memikat. Ia tersenyum puas.

Lingerie merah yang membalut tubuhnya, bibir merah yang menggoda, serta rambut merah yang terurai membentuk perpaduan sempurna—mewujudkan sosok yang begitu seksi, menggoda, dan sangat... menggairahkan.

Kini, di dalam cermin, ia melihat seseorang yang berbeda.

Bukan lagi seorang pembantu.

Bukan lagi Mawar yang sederhana.

Yang berdiri di sana adalah seorang wanita yang siap mengguncang dunia Lusi.

Namun sebelum ia sempat tenggelam lebih dalam dalam lamunannya, sebuah teriakan memecah keheningan.

“J-jangan! Jangan bawa Raya! Raya takut!”

Mawar tersentak. Dengan cepat, ia berbalik dan melihat Raya yang meringkuk ketakutan di atas ranjang, keringat dingin membasahi dahinya.

"N-Non Raya, kamu kenapa?” tanyanya panik, segera mendekat.

Gadis kecil itu terbangun dengan napas tersengal, lalu langsung memeluk Mawar erat. “M-Mbak Mawar, Raya takut…” suaranya bergetar, penuh kecemasan.

Mawar menelan ludah, berusaha menenangkan gadis kecil itu yang jelas baru saja mengalami mimpi buruk.

Dengan lembut, ia mengusap kepala Raya, suaranya mengalun pelan. “Sttt… sudah, sudah, sudaaah. Non Raya nggak usah takut, ya. Itu cuma mimpi… Mbak Mawar ada di sini.”

Raya masih terisak pelan, tetapi pelukan hangat Mawar perlahan meredakan ketakutannya.

“Non Raya tidur lagi, ya? Masih malam…” bisiknya lagi, tangannya tetap mengusap lembut rambut gadis kecil itu, memberikan ketenangan yang dibutuhkannya.

Seiring waktu, tubuh kecil Raya mulai rileks. Napasnya kembali teratur, dan matanya yang sempat penuh ketakutan kini perlahan terpejam.

Mawar menghela napas. Kelelahan setelah seharian bekerja, ia ikut berbaring di samping Raya, membiarkan gadis kecil itu tetap memeluknya erat.

Entah bagaimana, perasaan hangat menjalari dadanya. Ia tak pernah menyangka, di tengah semua kebenciannya terhadap Lusi, ia bisa merasakan kelembutan seperti ini terhadap putrinya.

Pikirannya mulai melayang, dan sebelum ia menyadarinya…

Mawar pun terlelap.

Lupa akan segalanya.

Dan yang lebih fatal…

Lupa bahwa tubuhnya masih terbungkus lingerie merah tipis dan transparan—bekas milik Lusi. Kain halus itu nyaris tak menyembunyikan apa pun dari tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk indahnya dengan sempurna.

Kini, Mawar terbaring di atas ranjang yang selama ini menjadi saksi kebersamaan Bumi dan Lusi, dalam keadaan nyaris... telanjang.

**

Sementara itu, di luar rumah, sebuah mobil memasuki halaman.

Bumi baru saja pulang kerja. Pak Satpam membukakan pintu gerbang.

“Pak, gelap begini, listriknya mati?” tanyanya.

Pak Satpam mengangguk. “Iya, Pak.”

Bumi menghela napas. “Jaga rumah dengan ketat, ya.”

Dengan langkah tak sabar, ia masuk ke dalam rumah. Dalam benaknya, hanya ada satu hal—Lusi.

Ia membayangkan istrinya sedang menunggunya di kamar, mengenakan sesuatu yang indah untuknya. Sudah lama ia merindukan malam-malam seperti ini.

Begitu masuk ke kamar, Bumi terdiam.

Di bawah cahaya remang, pemandangan yang ada di hadapannya begitu langka dan indah.

Di atas ranjang, dua wanita paling berharga dalam hidupnya tidur pulas. Lusi memeluk Raya erat, tubuh mereka begitu dekat, sesuatu yang jarang ia lihat dari istrinya.

Senyum hangat tersungging di bibirnya.

“Pantas saja telepon berkali-kali tidak diangkat… ternyata sudah tidur,” gumamnya.

Ia melangkah mendekat, duduk di samping mereka.

Dan di situlah ia melihatnya.

Lusi—istrinya—terlihat begitu menggoda dengan lingerie merah yang membalut tubuhnya.

Lingerie yang begitu seksi, begitu memikat, begitu membangkitkan... gairahnya.

Bumi menelan ludah. Dadanya berdebar. Bagian bawahnya langsung... menegang.

Malam ini, ia tidak mau diganggu oleh Raya. Dengan perlahan, penuh kelembutan, ia mengangkat gadis kecil itu dari ranjang dan membawanya ke kamarnya sendiri.

Setelah memastikan Raya tidur dengan nyaman, Bumi kembali ke kamar.

Ia menatap wanita di atas ranjang dengan mata penuh kerinduan.

Begitu lama ia mendambakan kedekatan ini, begitu lama ia ingin merasakan kelembutan istrinya lagi.

Dengan hati-hati, ia berbaring di sampingnya, menyelusupkan lengannya di bawah kepala wanita itu. Tubuhnya begitu hangat, begitu lembut.

Hidungnya menyusuri leher jenjang, putih nan mulus Lusi yang begitu harum. Aroma khas parfum yang selalu dipakai Lusi menusuk indranya, menyalakan hasrat yang selama ini terpendam.

Namun, Bumi tidak menyadari sesuatu.

Bahwa wanita di pelukannya bukanlah Lusi.

Melainkan… Mawar.

1
kalea rizuky
lanjut yg banyak penasaran endingnya jangan ampe qm. terbawa perasaan mawar inget dendam mu ke lusi
kalea rizuky
lanjut
Memyr 67
𝖽𝖺𝗁 𝖺𝗄𝗎 𝗄𝗈𝗆𝖾𝗇, 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌𝗄𝖺𝗇 𝗉𝖺𝗇𝖺𝗌𝗇𝗒𝖺, 𝗁𝗈𝗍 𝗅𝖾𝗏𝖾𝗅 50
Oppo A54
iya
Uni Kamri
aku suka novel genre begini yg ada sugar daddy nya
Nittha Nethol
gimana sih ceritanya
Ila Akbar 🇮🇩: Maaf, salah update bab🙏
total 1 replies
Aliya
perasaan bab yg ini udah deh ko balik lagi sih apa perasaan aku aja
Ila Akbar 🇮🇩: Maaf, salah update bab 🙏
total 1 replies
Aliya
thor lama banget sih up nya
Yuki Kim
ditunggu selanjutnya thor
siti Syamsiar
jgn ngambek thor. lg seru ini om bumi mulai bucin🤗
Aliya
lanjut dong thor jangan lama²
Dila Dilabeladila
wihhhhhhhh, lanjut atuh jangan naggung bikin penasaran endingnya
Aliya
lama amat sih thor
Nittha Nethol
lamaa
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!