Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Pelampiasan
"Sania!" Nadine berteriak begitu keluar dari mobil. Pertengkaran semalam benar-benar tidak bisa ditoleransi oleh Nadine. Irfan tidak boleh dimiliki Sania lagi. Tidak boleh!
Sania harus dihentikan, bagaimanapun caranya.
Sania yang sibuk dengan telepon pagi ini, menoleh saking kagetnya di panggil begitu keras, hingga beberapa karyawannya memperhatikan.
Nadine melangkah lebar menghampiri Sania.
"Jauhi Irfan!"
Begitu kata itu meluncur dari bibir Nadine, Sania nyaris tertawa. Namun segera ditahan meski segaris senyum tetap muncul di bibirnya.
"Aku sudah menjauh, tapi kau mendekat! Apa ini juga masih salahku?"
Nadine membuang napas kasar. "Aku tau kau pasti punya banyak alasan untuk mengelak, Sania ... tapi urusan kita soal Mutiara sudah selesai! Seharusnya kau tidak perlu mengirimi dia surat atau apapun untuk menarik perhatian Irfan!"
"Oh, jadi kamu merasa diabaikan? Kau merasa kalah, begitu?" Sania tersenyum sinis. "Jadi bagaimana? Apa terasa sakit bagimu?"
Nadine mendesis. "Apa kau sedang menertawakan ku? Kau mau balas dendam padaku? Katamu kau sudah berdamai, tapi apa?"
Sania membuang napas lelah. "Aku berdamai tapi kau juga yang membuat Irfan diharuskan bertemu Mutiara secara berkala! Apa kau lupa aku dan Mutiara itu satu paket?"
Nadine mendelik.
"Aku tidak menertawakan kamu, tapi kalau kau merasa aku seperti itu, berarti kau juga dulu menertawakan aku yang kalian usir tanpa daya!"
"Stop membahas apa yang aku lakukan dulu, Sania!" Nadine berang. "Semua sudah berlalu, kini biarkan Irfan hidup bahagia denganku!"
Sania menggelengkan kepala. "Kau hanya membuang waktuku, Nadine! Jika kau hanya ingin mengatakan itu, kau tidak perlu datang kemari! Asal kau tau, aku tidak butuh pria seperti Irfan di kehidupanku yang sekarang! Aku bahkan tidak memandang dia sebagai pria lagi, tapi mungkin, Irfan yang belum selesai dengan masa lalunya! Soal Irfan, aku tidak bisa berkomentar banyak, itu urusan dia dan kamu! Aku orang luar, berinteraksi sebagai sesama manusia semata!"
"Kau bohong, Sania ... kau pasti hanya berpura-pura!" Nadine mendekat, api kemarahan benar-benar menyala di sekujur tubuhnya. "Dia semalam tidur di rumahmu, kan? Kau pasti melakukan segala cara untuk membuat dia tinggal di sisimu!"
Sania yang semula hendak pergi dibuat menahan langkahnya lagi. Ia menatap Nadine dingin dan tajam.
"Jika aku harus menahannya, sudah aku lakukan sepuluh tahun lalu, Nadine!" ujar Sania datar, tapi benar-benar menusuk Nadine hingga ke tulang. "Sekarang, Irfan bagiku hanya bayang kelam masa lalu! Dan apa aku begitu terlihat bodoh dimatamu? Sampai aku rela jatuh ke kubangan lumpur yang sama setelah aku pernah masuk ke sana sekali?"
Sania kini gantian yang mendekat ke Nadine, memandang Nadine lekat, sampai Nadine yang terlalu emosi itu merasakan keseriusan ucapan Sania.
"Aku bukan kamu ... yang terus saja melakukan kesalahan demi kesalahan, dan terus melimpahkan kesalahan yang aku lakukan ke orang lain!"
Nadine mundur. Gemetar. Ciut nyalinya.
"Kau kesini hanya menunjukkan bahwa kau tidak mampu mempertahankan suamimu, sekuat apapun kau berusaha!"
Nadine seperti didorong ke tepi jurang kenyataan. Sania benar. Tapi, pasti Sania juga yang memanipulasi keadaan hingga Irfan seperti ini sekarang.
"Nadine ... bahkan aku tidak melakukan apapun untuk membuat rumah tanggamu goyah, tapi kalian sendiri merobohkan rumah yang kalian bangun dari kehancuran rumah tanggaku!"
"Tidak!" Nadine menggeleng pelan, lalu semakin cepat saat dia merasakan ketakutan yang sangat besar menyerbunya. Sania adalah bentuk ketakutan yang nyata, yang benar-benar harus dilenyapkan. "Tidak—tidak Sania! Kau sudah gila!"
"Kau yang tidak rasional, Nadine! Kau yang salah menilai orang!" Sania kini mengejar Nadine dengan langkah yang tenang dan teratur, seperti sedang mengintai mangsa yang sudah terluka parah. "Kau boleh menang sekali, tapi aku tidak akan pernah kalah lagi! Irfan bukan apa-apa bagiku, tapi bagi Irfan, aku dan Mutiara kini adalah segala-galanya baginya! Aku benar, kan?"
Nadine ketakutan. Apa yang ia pikirkan ternyata benar. Irfan benar-benar telah berpaling. Sania akhirnya mengakuinya.
"Tidak, Sania!" Nadine terus menyangkal. "Irfan tidak boleh kau miliki! Dia sampai kapanpun tetaplah milikku!"
Sania tertawa sumbang. Langkahnya dihentikan untuk melihat ketakutan Nadine yang mungkin saja berawal dari kejadian semalam. Bagaimana bisa Nadine menuding orang hanya karena sebuah peristiwa, sementara dia dulu harus menutup mata atas perselingkuhan yang telah ia endus berbulan-bulan lamanya.
"Sudah ku bilang kalau aku bukan barang, Nadine!" Irfan muncul entah dari mana datangnya. Membawa dua cup kopi dan langsung menuju sisi Sania. Wajahnya yang lelah itu terlihat makin muak dan jijik ketika menatap Nadine.
"Irfan ...." Nadine berkata lirih, nyaris tidak terdengar. Antara kaget dan bingung kenapa Irfan langsung menuju sisi Sania.
"Kita akan bercerai, Nadine! Tolong jangan libatkan Sania karena Sania tidak salah apapun! Ini murni karena aku ... aku sendiri yang ingin mengulangi semuanya dengan Sania."
"Tapi, Irfan ... Ayah—Ayah bilang kalau kau akan menjadi penerusnya—"
"Aku tidak peduli pada Ayahmu!" Ekspresi Irfan jadi gelap dan kaku. "Terserah apa yang akan dia lakukan, karena aku sudah muak! Muak dengan semua tingkah laku kalian!"
Nadine menggeleng lagi. Wajahnya jadi cekung karena panik. Sepertinya Irfan kali ini tidak main-main dengan ancamannya.
Nadine bergerak cepat ke depan Irfan. Meraih tangan Irfan dan mengguncangnya kuat. "Irfan, kau tidak boleh pergi! Kita tidak boleh bercerai, Irfan!"
Irfan menarik tangannya keras-keras hingga tubuh Nadine terhempas menjauh. Nadine menjerit tertahan.
"Irfan ...," gumamnya lirih.
"Pergilah!" Irfan mengusir Nadine kejam. Tampak ia benar-benar jijik dan muak. "Jangan tunjukkan wajah pura-puramu itu di depanku lagi!"
Irfan mengamit tangan Sania, membawa Sania ke dalam kantor.
Sania sedikit melirik ke arah Nadine. Benar-benar! Irfan sangat jijik, sampai Sania menduga Irfan siap meludahi Nadine jika saja tidak ada dirinya di sana tadi.
Senyum Sania agak ditahan. Namun ia bersorak. Ya ampun, seorang Nadine ditolak pria rendahan seperti Irfan? Tampaknya dunia sebentar lagi kiamat!
____
Sorry agak blank😁 keteteran karena mau sekolah lagi, jadi agak nggak fokus dan lupa mau nulis apa😮💨
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.