NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Dua Puluh Tujuh

****

Sabtu biasanya jadi hari yang ditunggu-tunggu bagi Hafiz. Kantor tutup lebih cepat, biasanya pukul dua belas siang ia sudah bisa duduk di sofa apartemennya sambil menyeruput kopi dan membaca laporan mingguan dari tim manajemen. Hari itu pun awalnya berjalan sesuai harapan.

Pekerjaan diselesaikan lebih cepat, beberapa email penting sudah dijawab, bahkan ia sempat turun ke lantai empat untuk menyapa teman-teman divisi umum. Serena hari itu tidak masuk—izin untuk ke rumah Delina di luar kota. Hafiz sebenarnya sedikit kecewa tidak bisa melihatnya, tapi di sisi lain merasa ini saat tepat untuk benar-benar beristirahat tanpa distraksi perasaan.

Jam dinding menunjukkan pukul 11.28 saat Hafiz sedang membereskan meja kerjanya.

Dan seperti sebuah rutinitas yang tak diinginkan, pintu ruangannya diketuk pelan, lalu terbuka sebelum sempat ia jawab.

Airin masuk, berdiri di ambang pintu dengan gaun terusan berwarna pastel dan sepatu sneakers putih yang tampaknya sengaja dipilih untuk tampilan kasual.

"Hai, Hafiz. Selesai kerja, ya?" sapanya manis.

Hafiz yang tadinya hendak menyimpan laptop ke dalam tas hanya diam sejenak. "Airin? Ngapain kamu ke sini?"

Airin tersenyum, seolah kunjungannya adalah hal wajar. "Kebetulan aku lagi di daerah sini. Terus mikir, kenapa nggak ngajak Hafiz nonton? Ada film baru yang kamu pasti suka banget. Aku udah beli tiketnya, tinggal jalan."

Belum sempat Hafiz membalas, ponselnya bergetar. Nama Mama muncul di layar.

Dengan nafas berat, Hafiz mengangkat panggilan itu.

“Iya, Ma?”

“Kamu lagi di kantor, kan? Bagus. Airin sebentar lagi ke sana, ajak dia jalan sore ini ya. Jangan ditolak, Hafiz. Mama sudah cukup lelah kamu selalu menghindar.”

“Ma, aku—”

“Ini permintaan Mama. Sekali ini aja. Tolong, Hafiz.”

Klik. Panggilan diputus sepihak.

Hafiz menatap ponselnya beberapa detik, lalu melirik Airin yang berdiri dengan senyum yang—bagi orang lain mungkin terlihat manis—tapi bagi Hafiz, hanya terasa seperti jebakan yang halus.

“Airin, aku lagi nggak mood jalan hari ini,” katanya, mencoba bicara tegas.

Tapi Airin tidak goyah. Ia melangkah mendekat, nada bicaranya berubah lebih cepat dan sedikit tajam. “Hafiz, kamu terus menghindar. Kamu pikir aku enggak tahu? Bahkan kemarin malam kamu pura-pura nggak ada saat Mama dan Papa aku datang ke rumah kamu. Tapi aku bisa kok nunggu. Bisa banget.”

Hafiz menahan diri untuk tidak menghembuskan napas keras-keras.

“Kamu nggak harus ikut campur soal hidup aku, Airin.”

Airin mendekat lagi, suara pelannya menusuk. “Kamu tahu enggak? Kalau aku mau, aku bisa terus ikuti kamu bahkan sampai apartemenmu. Kamu tahu aku bisa lakukan itu. Tapi aku enggak mau sampai kayak gitu. Aku masih mau kamu datang dengan pilihan kamu sendiri.”

“Apa yang kamu lakukan ini bukan kasih pilihan, Rin. Ini paksaan,” sahut Hafiz tajam.

Tapi Airin mengangkat bahunya. “Lalu salahku? Kalau aku berjuang untuk orang yang aku suka?”

Hafiz berdiri. “Bukan berjuang namanya kalau kamu paksa orang lain ikut jatuh cinta sama kamu.”

Ada jeda sesaat. Wajah Airin menegang, tapi ia cepat menguasai diri. Ia mengambil satu tiket dari clutch-nya dan meletakkannya di meja Hafiz.

“Aku tunggu di bawah. Kalau kamu berubah pikiran.”

Tanpa bicara lebih lanjut, Airin melangkah keluar. Hafiz menatap pintu yang kembali tertutup dan mendesah dalam-dalam. Ketika ia melihat tiket film yang tergeletak di meja, entah kenapa rasanya seperti melihat sebuah ancaman yang dibungkus dengan pita rapi.

Beberapa menit kemudian, Hafiz benar-benar keluar dari ruangannya. Ia tak langsung turun. Justru duduk sejenak di sofa ruang tamu lantai atas. Kepalanya bersandar ke dinding, dan untuk kesekian kalinya, ia merasa semua ruang geraknya mulai menyempit.

Ia ingin pulang. Ingin menyeduh kopi sendiri. Ingin membuka buku-buku yang belum sempat dibaca. Tapi kali ini, ia tahu... ketenangan itu lagi-lagi bukan haknya.

Ponselnya kembali menyala. Kali ini, notifikasi dari WhatsApp:

Mama: “Jangan kecewakan Mama hari ini, Hafiz.”

Ia tidak membalas.

Tapi Hafiz tahu... satu langkah menolak lagi hanya akan membuat tekanan berikutnya datang lebih besar.

Ia tidak takut pada Airin. Tapi ia lelah.

Lelah dengan permainan yang terus berjalan tanpa persetujuannya.

Lelah dengan tekanan dari orang tuanya yang tidak tahu—atau pura-pura tidak tahu—bahwa hatinya sudah memilih tempat lain untuk berlabuh.

Dan yang paling membuat dadanya sesak... adalah kenyataan bahwa satu-satunya orang yang mampu membuat hari-harinya terasa tenang, kini sedang jauh di luar kota.

Sendirian, Hafiz berdiri dari sofa dan melangkah menuju lift.

Di bawah sana, Airin masih menunggu.

Dan Hafiz tahu—setelah semua ini, ia harus memutus sesuatu... sebelum semuanya terlanjur rusak.

.

Pusat perbelanjaan itu ramai seperti biasanya di akhir pekan. Suara langkah kaki, anak-anak tertawa, dan dentingan musik dari tenant-tenant menyatu dalam satu simfoni yang bising. Tapi bagi Hafiz, semua suara itu seperti teredam, seolah ia tengah berjalan dalam ruang kedap suara, mengikuti langkah Airin dengan kepala berat dan dada penuh ganjalan.

Airin tampak semangat. Ia terus berjalan di samping Hafiz, menyesuaikan langkah kecilnya dengan kecepatan kaki Hafiz yang lebih panjang. Ia mengenakan blouse putih dan jeans biru terang, rambutnya dikuncir rendah dengan pita merah muda.

“Aku sempat lihat review filmnya bagus, lho,” kata Airin, mencoba mencairkan suasana. “Katanya kocak tapi juga ngena banget. Cocok banget ditonton pas weekend kayak gini.”

Hafiz hanya menoleh singkat, lalu kembali menatap lurus ke depan. Tidak ada senyum. Tidak ada tanggapan.

Airin pura-pura tidak peduli. Ia tahu Hafiz sedang tidak ingin bicara, tapi egonya tidak membiarkannya mundur. Dia merasa kalau terus bertahan, maka Hafiz akan luluh... lambat laun, pasti bisa menerima dirinya.

Sampai di lantai lima, mereka berhenti di depan studio bioskop. Airin mengambil dua tiket yang sudah dipesan sebelumnya dari aplikasi. “Ini nih, kita nonton jam 12.15. Pas banget. Aku juga udah beli popcorn caramel yang kamu suka. Masih suka, kan?”

Hafiz mengangguk pelan. Hampir tak terdengar. Ia hanya mengikuti saja, seperti bayangan yang berjalan di belakang seseorang.

Mereka masuk ke dalam studio. Film belum dimulai. Layar besar masih menampilkan iklan-iklan. Airin duduk lebih dulu di kursi E7, dan Hafiz duduk di sebelahnya—E8. Jarak antara mereka tak jauh, tapi rasanya seperti dipisahkan jurang panjang.

Airin menoleh, menyodorkan popcorn. “Mau?”

Hafiz menggeleng. “Nggak, makasih.”

Jawabannya singkat dan datar. Airin masih mencoba tersenyum. “Kamu kelihatan capek, ya? Mungkin karena kerjaan... atau karena—”

“Bukan karena kerjaan,” potong Hafiz pelan, tanpa menoleh.

Airin tercekat. Tapi ia mengangguk, berpura-pura memahami. Ia kembali diam, menunduk, tapi dalam hatinya mulai terasa getir.

Beberapa menit kemudian, lampu mulai meredup. Film dimulai. Studio menjadi gelap, hanya cahaya dari layar yang menerangi wajah-wajah para penonton.

Namun, tidak seperti penonton lainnya yang fokus, tertawa, atau berseru pelan saat adegan kaget muncul—Hafiz justru tak mengalihkan pandangan dari ponselnya. Ia menunduk hampir sepanjang waktu, membuka galeri, lalu aplikasi pesan. Beberapa kali ia membuka kontak bernama Serena, tapi tak ada pesan baru, tak ada percakapan yang bisa dilanjutkan. Kontaknya masih ada, tapi percakapan mereka berhenti sejak Hafiz mengungkapkan perasaannya.

Airin sesekali melirik ke samping. Ia tahu Hafiz tidak menonton. Ia tahu Hafiz sedang memikirkan perempuan lain. Tapi ia tidak menyerah. Setidaknya belum.

“Lucu ya adegannya yang ini...” bisiknya mencoba mencairkan suasana saat tokoh utama film melakukan hal konyol.

Hafiz hanya melirik layar sekilas. Lalu kembali menatap ponsel.

Airin menggigit bibirnya sendiri. Hatinya mulai perih. Ia tidak bodoh. Ia tahu dia tidak sedang kencan. Ia tahu dia hanya sedang menyeret seseorang yang hatinya tidak di sana.

Satu jam lebih berlalu. Film belum usai, tapi Airin sudah tak bisa lagi berpura-pura tertawa atau mengomentari jalan cerita. Hafiz tetap tidak bicara. Tidak menyentuh popcorn. Tidak menoleh sekali pun.

Sampai akhirnya film selesai dan lampu studio dinyalakan, Hafiz berdiri tanpa berkata-kata. Ia memasukkan ponsel ke saku celana, lalu berjalan duluan.

Airin mengejarnya dengan langkah cepat. Mereka keluar studio dan masuk ke lorong mall yang penuh pengunjung.

“Kita... duduk dulu yuk di café bawah? Mungkin bisa ngobrol?” Airin mencoba menahan Hafiz, suaranya pelan tapi memaksa.

Hafiz berhenti. Ia menatap wajah Airin dengan mata lelah.

“Airin,” katanya datar, “kita nggak bisa terus begini.”

Airin terdiam.

“Aku udah cukup diam, cukup ikut apa yang Mama mau. Tapi kamu tahu, ini bukan caraku. Bukan hidupku yang kamu paksakan masuk. Aku nggak bisa terus pura-pura.”

Airin berusaha tersenyum walau matanya memerah. “Aku cuma minta kamu kasih kesempatan, Hafiz. Kita udah kenal lama. Aku tahu kamu luar dalam. Mungkin kamu cuma belum—”

“Maaf.” Hafiz menyela. “Aku udah punya perasaan ke orang lain. Dan kamu tahu siapa.”

Airin menunduk. Dada sesaknya seperti dihimpit batu. Tapi ia juga tahu... Hafiz sudah memberi jawaban. Dan jawabannya bukan dirinya.

Tanpa berkata-kata lagi, Hafiz berjalan pergi. Meninggalkan Airin yang berdiri di tengah lorong mall, dengan tangan yang masih memegang tiket bioskop dan hati yang mulai mengerti... bahwa cinta sepihak hanya akan semakin melukai jika terus dipaksakan.

1
Yuliana Tunru
akjir x ada yg dukung hafiz ..nikah z dgn serena trus ikut opa mu keluar negri biarkan papa dan.mamamu.yg urus perudahaan dan airin
Yuliana Tunru
airin jikapun akhir x hafiz kau miliii tp kau hanya punya raga tanpa nyawa akan sia2 airin jgn jd obsesi gitu
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!