Mengejar Cinta Shela

"Keluarga Ibu Hany" Panggil dokter yang baru selesai menangani mama Hany.

"Saya dok! Bagaimana keadaan mama saya?" sahut Zevan cepat

"Pasien mengalami infark miokard akut, dengan gejala nyeri dada yang hebat dan perubahan EKG yang signifikan. Kami telah melakukan penanganan awal untuk mengurangi beban jantung. Saat ini, pasien dalam kondisi stabil dan akan terus dipantau secara ketat untuk memastikan tidak ada komplikasi lebih lanjut." Dokter itu menjelaskan.

"Berikan yang terbaik untuk mama saya dokter. Saya akan bayar berapa pun biayanya asal mama saya bisa sembuh seperti semula" Zevan memohon. Apapun akan dia lakukan demi kesembuhan sang mama.

"Kami akan berusaha memberikan yang terbaik. Itu sudah menjadi tugas kami sebagai petugas medis." ucap dokter itu tulus.

"Apa boleh saya melihat keadaannya dok?"

"Silahkan tapi hanya satu orang."

"Terimakasih dok"

Zevan melangkahkan kakinya menuju ruangan tempat mamanya dirawat. Begitu pilu hatinya melihat keadaan orang yang sangat dicintainya dalam keadaan lemah tak berdaya. Jarum infus menancap di tangan lembut yang penuh kasih sayang itu, alat bantu pernafasan menutup sebagian wajahnya. Benar-benar menjadi pemandangan yang begitu menyesakkan.

"Ma! mama harus sembuh" Digenggam nya tangan rapuh wanita yang sudah melahirkannya 28 tahun silam. "Zevan udah menepati janji Zevan untuk membahagiakan Shela sesuai keinginan mama. Zevan bahagia ma" Suaranya tercekat, air matanya tak bisa ia bendung lagi. "Zevan akan selesaikan semua masalah ini. Janji ya mama harus cepat sembuh" Diciumnya tangan yang ada dalam genggamannya. Lama Zevan menemani mama yang hanya memejamkan mata. Tiba-tiba dia teringat istrinya yang masih menunggunya diluar.

"Bi mana Shela?" tanyanya pada Bi Minah. Karena hanya ada Bi Minah dan mang Ridho yang duduk diruang tunggu.

"Katanya keluar sebentar cari minum Mas" sahut Bi Minah

"Tadi sudah saya bilang, biar saya aja yang beli minum tapi non Shela maksa dia mau pergi sendiri" tambah mang Ridho

Entah mengapa pikirannya menerawang jauh, ketika Shela kabur meninggalkannya saat di Cafe. Ketakutan mulai menghantui, tidak bisa dia bayangkan jika Shela benar-benar pergi meninggalkannya. Dia pun segera menghubungi istrinya, sekali tak ada jawaban, dua kali tak ada jawaban. Hatinya mulai gelisah, dan panggilan ketiga,-

"Halo" suara yang ia khawatirkan menyapa telinganya.

"Sayang, kamu dimana?" tanya Zevan cemas

"Aku beli minum sebentar"

"Dimana? Biar aku kesana?" Zevan ingin memastikan.

"Tidak usah, sebentar lagi aku kembali" Shela memutuskan panggilan.

Jawaban Shela tak membuat kekhawatirannya berkurang.

"Bi Minah sama mang Ridho pulang aja, biar aku yang jaga mama." Perintahnya pada dua orang selalu setia menjaga mamanya.

"Tapi mas..." Bi Minah tak melanjutkan ucapannya.

"Bibi jangan khawatir mama pasti baik-baik aja." Jelas Zevan, akhirnya dua orang itu pulang walaupun sebenarnya hatinya masih mencemaskan keadaan majikannya.

Zevan duduk di bangku panjang rumah sakit, kepalanya tertunduk dengan kedua tangannya bertumpu diatas lutut jemarinya saling bertautan. Pikirannya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Bagaimana Viona bisa hamil dan menuntut pertanggungjawaban darinya? Sedangkan dia tidak pernah menyentuh Viona sampai sejauh itu? Zevan yakin ini strategi Viona untuk menjebak dan menghancurkan rumah tangganya.

Zevan menoleh ketika ada seseorang yang duduk disebelahnya.

"Sayang kamu dari mana aja?" reflek Zevan ingin memeluk istrinya, namun Shela menahan dada bidang suaminya, pertanda dia tak ingin dipeluk. Hatinya berdenyut mendapat penolakan istrinya.

"Aku cuma beli minum di depan" Suara yang biasa terdengar lembut itu berubah dingin.

"Sayang, aku akan selesaikan semua masalah ini. Aku mohon percaya padaku." Zevan kembali memohon agar Shela memercayai ucapannya.

"Keluarga pasien Ibu Hany" panggil perawat didepan pintu ruangan mama Hany.

"Iya Sus" serempak Zevan dan Shela berdiri dari tempat duduknya.

"Bu Hany sudah siuman, beliau mencari keluarga yang bernama Shela" ucap suster itu menyampaikan.

"Saya Sus" Shela berjalan mengikuti suster masuk ke dalam ruangan. Tanpa menoleh pada suaminya.

"Sayang" panggil mama Hany menyambut kedatangan menantu kesayangannya. Bulir bening itu kembali turun tanpa persetujuan.

"Mama udah siuman?" tanya Shela seraya mengelus punggung tangan mama mertuanya.

"Shela, -" Mama Hany tercekat lidahnya kelu untuk mengatakan yang ingin dia sampaikan.

"Mama jangan banyak pikiran, mama yang tenang biar mama cepat pulih" Sang menantu memberi semangat untuk mertua yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

"Maafin mama" Kini mama Hany menangis tersedu-sedu.

"Ma, Shela mohon mama tenang. Jangan pikirkan apapun, semua akan baik-baik aja." Shela berusaha tegar tapi air matanya tidak bisa ia bendung. Shela berusaha menguatkan hati mama mertuanya walaupun hatinya sendiri tidak sekuat itu.

Sore hari, saat kondisi mama Hany benar-benar stabil dokter memindahkan mama Hany ke ruang rawat inap, yang mana sebelumnya mama Hany berada di ruang ICU karena kondisinya yang lemah.

Zevan memasuki ruang rawat mamanya, namun belum sempat lelaki itu sepenuhnya memasuki ruangan suara sang mama menghentikan langkahnya.

"Keluar kamu dari ruangan mama, mama gak sudi melihat anak tidak bermoral seperti kamu." suaranya lemah tapi sangat menusuk tajam.

"Ma, semua itu gak benar! Zevan janji akan menyelesaikan semua masalah ini." Zevan berusaha mengontrol emosi nya, tidak ingin membuat wanita paruh baya yang sangat ia cintai itu semakin memburuk kondisinya.

"Pergi lah... Jangan datang lagi sebelum kamu mengatakan bahwa anak yang dikandung Viona benar bukan anak kamu." ancaman mama Hany membuat dunianya terasa runtuh seketika. Mama yang ia khawatirkan kondisinya tidak ingin melihat kehadirannya.

"Ma...!" Zevan memohon.

"Mama bilang pergi, biar Shela yang merawat mama." ketus mama Hany yang sangat kecewa pada anak tunggalnya. Satu hal yang membuat mama Hany kecewa ketika Viona mengatakan bahwa dirinya masih menjalin hubungan dengan Zevan saat sudah menikah dengan Shela.

Shela yang saat itu sedang berada di toilet meremas tangannya, mendengar perdebatan antara ibu dan anak. Hatinya kembali merasakan perih yang teramat sangat mengingat kejadian yang menghantam rumah tangganya yang baru saja mereka bangun.

Dengan langkah gontai, Zevan keluar dari ruang rawat inap mamanya. Pikirannya semakin kacau. Shela yang mendiamkannya, dan mama yang baru saja mengusirnya. Dia benar-benar merasa dalam keadaan paling buruk sepanjang hidupnya, bahkan lebih buruk saat dia dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cintai.

"Aaaargghh" Lelaki itu memukul setir mobilnya. "Viona!!!" Zevan menggertakkan giginya, tangannya mengepal kuat mencengkram kemudi. Zevan melajukan mobilnya tanpa tujuan.

.

.

.

.

 Bersambung...