NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Kandungan

Rahasia Di Balik Kandungan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Romansa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Leel K

Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27. Kelahiran Ethan

Pagi itu di awal Februari, Boston diselimuti salju lebat. Butiran-butiran putih menari-nari di luar jendela rumah sakit, melapisi setiap permukaan dengan selimut dingin. Namun, di dalam sebuah ruangan bersalin, suasana justru mendidih dengan ketegangan dan harapan. Claire terbaring di ranjang, napasnya tersengal, mengerang menahan sakit yang tak tertahankan. Usia kandungannya sudah tepat sembilan bulan, dan kini, saatnya telah tiba.

Aaron berdiri di sampingnya, wajahnya tegang, menggenggam erat tangan Claire yang dingin dan berkeringat. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan. Ia hanya bisa menatap Claire, yang kini mengeratkan genggamannya di tangannya, matanya memejam rapat, menahan rasa sakit. David, dokter pribadi keluarga Silvan, memberikan instruksi dengan suara tenang.

"Nyonya, dorong! Lebih kuat!" David berseru, nada suaranya penuh semangat.

Claire mengejan dengan sisa tenaganya, tubuhnya bergetar hebat. Aaron bisa merasakan setiap kontraksi yang meremas Claire, rasa sakit yang seolah dialami wanita itu menjalar ke tangannya yang tergenggam erat. Ia menyeka keringat dingin di dahi Claire dengan handuk bersih. Ia merasa tak berdaya, sesuatu yang jarang sekali ia rasakan.

Di sudut ruangan, Charles dan Eva Silvan, orang tua Aaron, berdiri dengan cemas. Eva menggenggam tangan Charles erat, mata tuanya berkaca-kaca menatap Claire. Charles, yang biasanya tenang dan berwibawa, kini terlihat gelisah. Mereka pulang dari Hawaii segera setelah mendengar kabar Claire akan melahirkan.

"Ayo, Sayang, kau bisa!" Eva berbisik, meskipun Claire mungkin tidak mendengarnya.

Claire mengejan lagi, suara erangannya semakin kencang. Ia mengusap perutnya, seolah memberikan semangat pada bayinya. Rasa sakit itu tak terbatas, namun ia memiliki motivasi lebih besar. Ia harus melewati ini, untuk Aaron.

Tiba-tiba, suara tangisan bayi yang nyaring memecah ketegangan di ruangan itu. Tangisan pertama, yang begitu kecil namun begitu kuat, mengisi seluruh ruangan. Claire ambruk di ranjang, napasnya terengah, namun senyum tulus merekah di bibirnya.

Aaron merasakan seluruh tubuhnya menegang. Ia menatap David, lalu pandangannya beralih ke bayi kecil yang kini dibersihkan oleh suster. Hatinya berdesir, merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah perasaan yang begitu dalam, begitu murni, yang langsung mengikatnya.

"Laki-laki." David mengumumkan dengan senyum lebar.

Aaron melangkah mendekat, matanya terpaku pada bayi yang mungil itu. Sebuah makhluk kecil berwarna merah muda, menggeliat dalam balutan selimut. Ini... ini adalah anaknya. Anaknya dengan Claire.

Boston, Malam Tahun Baru. Beberapa minggu sebelum kelahiran sang bayi.

Salju turun dengan lebat, menari-nari di luar jendela kaca penthouse. Di dalam, perapian di ruang keluarga menyala terang, memancarkan kehangatan oranye yang nyaman. Kayu bakar berderak pelan, menghasilkan melodi alami yang menenangkan.

Aaron duduk di sofa besar dekat perapian, mengenakan sweater rajut V-neck berwarna biru navy gelap yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, dipadukan dengan celana panjang chino berwarna krem. Di pangkuannya, Claire meringkuk nyaman, kepalanya bersandar di dada Aaron. Claire mengenakan sweater wol tebal berwarna krem pucat dan celana legging hitam yang hangat, menonjolkan perutnya yang membesar.

Tangan kiri Aaron berada di atas perut Claire yang semakin membuncit. Tangan Claire menggenggamnya, menahan agar tangan itu tetap di sana, di tempat di mana kehidupan baru berdenyut. Tangan kanan Aaron yang bebas sesekali mengelus lembut rambut Claire, dan kadang turun ke punggungnya, memberikan sentuhan menenangkan. Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka, hanya suara derak api dan napas teratur Claire yang terdengar.

Dia terlihat nyaman… Aaron tersenyum tipis, sorot matanya menghangat.

"Aaron," suara Claire memecah keheningan yang lama, sangat pelan, seolah takut mengganggu.

"Hm?" Aaron menjawab, pandangannya terpaku pada nyala api di perapian.

Claire mendongak, menatap wajah Aaron yang diterangi cahaya oranye dari perapian. "Uhm... aku... aku sudah memikirkan nama untuknya," bisiknya, suaranya sedikit ragu. "Maksudku... untuk bayi kita."

Aaron menoleh, menatap Claire. "Kau sudah punya nama untuknya?"

Claire menggeleng. "Belum sepenuhnya. Tapi... apa kau punya nama untuk diberikan? Maksudku, dia anakmu juga."

Aaron terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Pikirannya melayang pada Benjamin, saudaranya. Tanggung jawab ini, bayi ini, adalah peninggalan Benjamin. "Aku berpikir..." Aaron memulai, suaranya pelan dan berhati-hati. "Untuk menghormati Benjamin. Bagaimana kalau nama depannya Benji?"

Claire merasakan tubuhnya menegang di pangkuan Aaron. Kepalanya yang bersandar di dada Aaron terasa seperti dipalu. Benjamin? Benjamin?! Rasa muak dan tidak sudi itu melonjak.

Semua penderitaan yang Benjamin sebabkan, kekerasan yang ia alami, kini seolah ingin diabadikan dalam nama bayinya. Tidak. Aaron kini bersamanya, ia tidak butuh Benjamin lagi. Ia tidak ingin ada lagi jejak Benjamin dalam hidupnya, apalagi pada bayinya.

Claire mengangkat kepalanya, menatap Aaron dengan tatapan yang sedikit murung. "Benji?" ulangnya, mencoba terdengar netral. "Uhm... aku rasa, Benji itu terlalu... informal untuk nama depan."

Aaron menatapnya, alisnya sedikit terangkat. "Informal?"

"Ya." Claire mengangguk cepat. "Maksudku, aku ingin dia jadi sepertimu, jadi Direktur Silvan dimasa depan. Jadi namanya harus sesuatu yang lebih... berwibawa. Benji lebih cocok untuk... nama panggilan, atau nama tengah?" Claire berusaha mencari alasan yang paling masuk akal, meskipun dalam hati ia hanya ingin menghapus jejak Benjamin. "Lagipula, itu juga bisa menghormati Benjamin, kan? Sebagai nama tengah. Itu akan terdengar lebih... elegan." Claire meyakinkan diri dan Aaron, suaranya penuh tekad.

Aaron menatapnya dengan ekspresi bingung. "Maksudmu, kau tidak suka nama Benji?"

Claire menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak langsung meluap. "Bukan tidak suka, Aaron. Hanya saja... aku rasa itu tidak... tidak tepat untuk seorang calon pemimpin besar seperti dia nanti." Claire menunjuk perutnya yang membesar. "Dia akan menjadi harapan keluarga Silvan, kan? Namanya harus memiliki... makna yang kuat."

Aaron menghela napas, ia memahami argumen Claire tentang "calon pemimpin". Ia mengenal karakter Claire yang tidak akan mudah menyerah jika sudah menginginkan sesuatu. "Baiklah, Nona Hayes. Jadi, apa maumu?" Nadanya sedikit pasrah, namun ada senyum samar di bibirnya melihat keteguhan di mata Claire.

"Aku ingin nama depan yang... Aaron yang pilih," kata Claire, suaranya melembut, penuh harapan. "Nama yang punya arti... yang kau harapkan untuknya."

Aaron terdiam. Ia memandang ke luar jendela, menatap salju yang masih turun. Ia memikirkan nama. Nama untuk putranya. Bukan hanya anak Benjamin, tapi anak mereka. Ia memikirkan semua harapannya. Kekuatan, ketahanan, integritas—sifat-sifat yang ia hargai.

"Bagaimana dengan Ethan?" Aaron akhirnya berucap, menoleh menatap Claire. "Ethan Benji Silvan."

Mata Claire melebar. "Ethan?" Nama itu terasa asing di telinganya, namun begitu indah. "Apa artinya?"

"Ethan berasal dari bahasa Ibrani," jelas Aaron, suaranya kini terdengar tulus, tanpa beban. Ia kembali mengelus rambut Claire. "Artinya kuat, teguh, abadi. Aku ingin dia tumbuh menjadi pria yang kuat, yang bisa melewati badai apa pun. Pria yang teguh pada pendiriannya, dan tidak mudah menyerah. Aku ingin dia memiliki kehidupan yang... lebih baik dari kita semua." Aaron menatap perut Claire, tangannya di sana, mengusapnya perlahan. "Aku ingin dia menjadi anak yang berharga, yang membawa harapan untuk keluarga Silvan."

Claire merasakan hatinya terenyuh. Sangat terenyuh. Bukan hanya karena makna nama itu, tapi karena Aaron benar-benar memikirkannya. Aaron benar-benar memikirkan anak mereka. Dia tidak lagi menganggap bayi itu hanya peninggalan Benjamin. Dia menyebutnya "anak kita".

Air mata kebahagiaan menggenang di mata Claire, sebuah senyum manis terukir di bibirnya. Ia memeluk Aaron erat, menyandarkan kepalanya lagi di dadanya. "Ethan Benji Silvan," bisiknya, membiarkan nama itu bergaung di hatinya. Nama yang sempurna. Pikirnya.

Boston, Awal Februari. Kembali ke masa kini.

Tangisan bayi itu begitu nyaring, memenuhi ruang bersalin. Aaron merasakan seluruh tubuhnya menegang, jantungnya bergemuruh. David menyerahkan bayi mungil itu kepada suster. Kemudian suster membawanya pada Aaron.

"Ini dia, Tuan Aaron," suara David memecah keheningan. "Bayi Anda."

Aaron melangkah mendekat, matanya terpaku pada sosok kecil itu. Seorang bayi laki-laki, dengan kulit kemerahan dan rambut gelap yang sama dengan Aaron. Ia meraih tangan mungil itu, jari-jarinya yang besar terasa begitu protektif. Sebuah gelombang emosi yang tak terlukiskan melandanya—rasa cinta, tanggung jawab yang tak terbatas, dan keajaiban.

Suster kemudian membawakan bayi itu kepada Claire. Claire menerima putranya dengan air mata bahagia, mencium keningnya. "Ethan," bisiknya, suaranya penuh kasih sayang.

Aaron menatap Claire, lalu beralih menatap bayi itu. Ethan. Nama itu, yang ia pilih sendiri, kini terasa begitu nyata di depannya. Ia merasakan ikatan yang lebih dalam lagi. Rasa tanggung jawabnya, yang dulu terasa seperti beban, kini berubah menjadi janji seumur hidup.

Aaron mengulurkan tangan, menyentuh lembut kepala Ethan, lalu menatap Claire, sebuah senyum tulus merekah di bibirnya. Mereka adalah sebuah keluarga. Ethan Benji Silvan.

1
Novie Achadini
agK sakit jiwa nih claire
Novie Achadini
claire lemah caper. udh bagus dinikahi aeron banyak bgt nuntut.
Leel K: Aduh, keselnya sampai sini 😌
total 1 replies
Ezy Aje
lanjur
Aura Cantika
Kepalang suka deh!
Leel K: Aaah... makasih 🤗
total 1 replies
Coke Bunny🎀
Cerita yang bikin baper, deh!
ナディン(nadin)
Nggak bisa move on.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!