Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18
Begitu pintu kamarnya tertutup, Lintang membanting tas ke lantai. Napasnya kasar, langkahnya cepat, dan detak jantungnya berpacu lebih kencang dari biasanya. Tanpa pikir panjang, ia menendang kursi dekat meja belajar hingga bergeser keras menabrak dinding.
“Cukup! Gila ini semua!” teriaknya lantang.
Tak ada yang mendengar. Dinding-dinding kamar itu tebal, pintunya tertutup rapat. Dan sejak awal, kamar Lintang memang dirancang kedap suara karena dulu ia sering mengurung diri, meluapkan semuanya dalam diam yang tidak ingin didengar siapa pun.
“Apa sih yang Kak Livia punya sampai semua warisan ini jatuh ke dia?! Selalu dia! Selalu! Dari kecil sampai sekarang!” Suaranya pecah, menggema sendirian.
Ia menyambar bantal dan melemparkannya ke lemari. Tak puas, ia memukul meja, menendang laci, bahkan membanting hoodie yang tadi dipakainya. Semua hal kecil jadi pelampiasan.
“Kakek tuh buta atau pura-pura nggak lihat?! Aku juga kerja keras! Aku juga punya otak! Tapi tetap saja aku dianggap cuma bayangan!”
Lintang berjalan ke cermin, menatap wajahnya sendiri. Matanya memerah, keningnya berkerut, rahangnya mengeras. Ia menunjuk refleksinya sendiri.
“Lihat tuh! Kamu nggak kurang! Kamu nggak salah! Yang salah tuh mereka, yang dari awal udah nentuin siapa pemenangnya!”
Ia tertawa getir, lalu menunduk pelan. Tubuhnya lelah, tapi emosinya masih bergemuruh.
“Dan sekarang? Sekarang aku harus lihat Kak Livia duduk di singgasana itu ditemani Ganendra pula?” gumamnya sambil mengepalkan tangan. “Lucu banget.”
Lintang menarik napas panjang, lalu membiarkannya keluar sebagai desahan berat. Ia jatuh terduduk di lantai, bersandar pada sisi ranjang.
“Kalau bukan karena nama keluarga ini, aku udah pergi dari dulu jauh. Tapi ya, mana bisa semua yang aku perjuangin ada di sini,” bisiknya lirih.
Ia memejamkan mata, membiarkan keheningan memeluknya erat. Tak ada yang tahu bahwa Lintang yang selalu tampak santai dan cuek sebenarnya menyimpan badai dalam dadanya sendiri.
---
Lintang masih terduduk di lantai, punggungnya bersandar lelah pada sisi ranjang. Kedua matanya memandang kosong ke langit-langit kamar, tapi pikirannya berkecamuk tak karuan.
“Aku harus terus berpura-pura ya.” bisiknya lirih. “Pura-pura jadi adik sepupu yang baik, yang selalu setuju, yang senyum kalau Kak Livia dipuji, yang tepuk tangan kalau kakek ngumumin keputusan sepihak.”
Ia menoleh ke arah jendela besar yang menampakkan langit mulai gelap.
“Padahal di sini rasanya pengen teriak sekeras-kerasnya. Tapi ya, buat apa? Nggak bakal didenger juga.”
Tangannya mengepal, menahan emosi yang datang lagi dalam gelombang baru. Lintang menggigit bibir bawahnya, mencoba tetap kuat, tapi semakin ia diam semakin sakit kata-kata yang muncul dalam pikirannya sendiri.
“Apa jangan-jangan aku bukan cucu kandung?” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Jangan-jangan aku cuma cucu pungut?”
Ia tertawa kecil, kering, penuh getir. “Masuk akal sih. Dari dulu perlakuan mereka ke aku tuh beda. Aku selalu jadi yang jangan dulu, tunggu sebentar, ‘belum waktunya’. Sedangkan Kak Livia? Selalu kamu yang terbaik, ini buat kamu kakek bangga banget.”
Lintang menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya perlahan gemetar. Bukan karena takut, tapi karena kecewa yang sudah mengendap terlalu lama.
“Kalau emang aku bukan cucu kandung bilang aja sekalian, biar aku nggak berharap apa-apa lagi.”
Ia membenamkan wajah ke lututnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lintang tak menahan air matanya. Tangis yang tak meledak, tapi mengalir dalam diam yang lebih menyakitkan daripada teriakan.
Di rumah semegah ini, di keluarga sebesar ini ia merasa seperti orang asing yang cuma kebetulan numpang nama.
Di balik pintu kamar yang kedap suara dan tirai tebal yang menutup cahaya malam, Livia terduduk di dekat jendela. Gelas teh yang tadi dibuatnya sudah dingin, tapi tak sekali pun ia sentuh. Matanya menerawang jauh, menatap langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun.
Perempuan tiga puluh tahun itu, yang selama ini dikenal tangguh, tegas, dan nyaris tak tersentuh oleh pesona siapa pun akhirnya jatuh cinta.
Ironisnya, bukan pada pria dari keluarga terpandang, bukan pada pebisnis muda yang sering dijodohkan dengannya, bukan pula pada teman-teman sekantor yang diam-diam mengaguminya.
Tapi pada seseorang yang justru seharusnya tak boleh ada dalam daftar itu sama sekali supir pribadi kakeknya.
Ganendra.
Diam-diam, tanpa Livia sadari, kehadiran pria muda itu mengisi kekosongan yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat di balik kesibukan dan karier.
Caranya menatap tenang dari balik kaca spion. Sikap sopannya yang tak dibuat-buat. Cara dia tahu harus diam saat semua orang berbicara. Dan tatapan matanya ah, Livia tak bisa membantah ada sesuatu di sana yang membuat dadanya sesak setiap kali berpapasan.
Tapi bagaimana mungkin?
Ia menghembuskan napas keras, jari-jarinya mencengkram ujung lengan sweater yang dipakainya.
“Aku jatuh cinta pada orang yang nggak mungkin bisa aku miliki,” gumamnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar, seolah takut kalimat itu terdengar oleh dinding-dinding kamar mewah itu.
Livia tersenyum getir. “Konyol banget.”
Ia tahu, hubungan itu tak mungkin disetujui. Bukan hanya karena status sosial mereka yang jauh, tapi juga karena posisi Ganendra yang terlalu dekat dengan keluarga dan terlalu jauh untuk dijangkau oleh perasaan.
Namun, perasaan tidak pernah mengenal siapa pantas dan siapa tidak. Ia datang tiba-tiba, dan bagi Livia perasaan itu kini sudah tumbuh, meski diam-diam. Meski menyakitkan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya Livia merasakan degup yang ia sembunyikan bukan karena malu, tapi karena takut. Takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah ia miliki.
Malam makin larut, tapi Livia tak kunjung bisa memejamkan mata. Berkali-kali ia memutar posisi di atas ranjang, mematikan dan menyalakan lampu tidur, mencoba menenangkan pikirannya dengan alunan musik klasik semuanya sia-sia.
Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya atau lebih tepatnya, seseorang.
Akhirnya, ia bangkit dari tempat tidur. Tanpa banyak pikir, ia menyampirkan cardigan tipis dan menyusuri lorong panjang rumah mewah itu.
Langkahnya ringan, menyusuri lantai marmer dingin yang mengilat. Rumah itu terlalu sepi di malam hari, meskipun dijaga banyak orang. Tapi justru kesepian itulah yang membuatnya merasa semakin terasing.
Livia melangkah keluar ke teras belakang. Udara malam menusuk kulit, tapi ia tak peduli. Ia terus berjalan, entah ke mana. Sampai langkahnya terhenti saat mendengar suara pukulan, desah nafas berat, dan suara tubuh bertabrakan.
Ia mengintip dari balik tiang pilar, matanya langsung tertuju pada lapangan rumput terbuka di sisi belakang mansion. Di sana, beberapa bodyguard sedang latihan sparing.
Di bawah sorotan lampu taman yang temaram, tubuh-tubuh tinggi dan tegap itu saling adu teknik. Tapi hanya satu yang membuat langkah Livia membeku.
Ganendra Al Ghazali.
Pria itu sedang bertarung dengan salah satu senior pengawal, tubuhnya bergerak lincah, cepat, dan penuh kendali. Setiap serangannya presisi, setiap elakan penuh perhitungan. Bajunya sudah basah oleh keringat, tapi wajahnya tetap tenang, fokus, dan penuh disiplin.
Livia terpaku. Matanya tak bisa lepas. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Ganendra bukan hanya seorang sopir yang duduk rapi di balik kemudi. Tapi pria yang kuat, disiplin, dan entah kenapa, begitu memesona.
Degup jantungnya berdetak pelan tapi kuat. Seakan tubuhnya tahu duluan apa yang sedang dirasakannya.
Sungguh keterlaluan, pikirnya, separuh menegur dirinya sendiri. Tapi pandangannya tetap melekat pada sosok itu.
Sorot mata Ganendra yang tajam, langkahnya yang mantap, dan cara ia menahan serangan lawan dengan mudah membuat Livia membeku dalam diam.
Tanpa sadar, ia tersenyum kecil.
Lalu buru-buru berbalik dan kembali ke dalam rumah sebelum ada yang melihat.
Tapi ia tahu, sejak malam itu bukan hanya tidurnya yang sulit. Tapi hatinya juga mulai tak bisa dikendalikan.