Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Sadewa kembali menekuni pekerjaannya di tengah malam yang sepi. Setelah Shanaya memintanya untuk tetap menjadi sekretaris, bukan asisten pribadi, ia mengangguk setuju meski di dalam dadanya, ada rasa kesal yang diam-diam tumbuh seperti duri.
Ia mendengus pelan. Entah kenapa, setiap kali berhadapan dengan Shanaya, citra dingin dan tak tersentuh yang selama ini melekat padanya, justru perlahan-lahan retak. Ia tak tahu sejak kapan perasaan itu mulai tumbuh. Tapi satu hal yang selalu terbayang jelas, wajah Shanaya yang berlinang air mata dalam pelukannya. Ada sesuatu yang menyesak di dada. Sebuah dorongan, keinginan, atau mungkin… naluri untuk melindungi.
“Sadewa, otakmu benar-benar udah kacau,” gumamnya, lalu meremas kertas yang sedari tadi hanya jadi pajangan di tangannya.
Ia menatap layar laptop, tapi tak satu pun angka atau huruf yang bisa ditangkap otaknya. Fokusnya buyar. Hanya satu sosok yang terus menari-nari di pikirannya—Shanaya. Wanita keras kepala itu, entah kenapa, kini menjelma jadi pusat semestanya.
Sadewa mengusap wajahnya kasar. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Tapi rasa kantuk tak pernah datang. Kepalanya penuh, dadanya sesak.
“Kenapa harus kamu, Shanaya…” bisiknya lirih.
Ia berdiri, melangkah pelan ke jendela. Lampu-lampu kota masih menyala, berkerlap-kerlip di kejauhan. Tapi kamar ini terasa terlalu hening. Terlalu kosong. Shanaya sudah pergi sejak tiga jam yang lalu dijemput Wina. Namun, jejaknya masih tertinggal dalam ruangan ini.
Dahinya bersandar di kaca. Dingin permukaannya tak cukup untuk meredam gejolak dalam dadanya. Kenangan pertama hingga sampai pada titik ini terus melintas di benaknya, menari-nari hingga tanpa sadar membentuk sebuah kata singkat, rindu.
Tanpa sadar, seseorang sudah berdiri di ambang pintu.
Santi yang masih tinggal di apartemen itu, melihat cahaya lampu dari bawah celah pintu. Penasaran, ia pun mendekat.
“Kenapa belum tidur?” tanyanya, suaranya tenang tapi tajam.
Sadewa terlonjak. “Ibu... kagetin aja.”
Santi mengamati anaknya dari ujung kepala sampai kaki. “Dewa, kamu tahu nggak, apa hal paling nggak berguna di dunia ini?”
Sadewa mengerutkan dahi, lalu menghampiri ibunya dan membantunya duduk di sofa.
“Apa?”
“Penyesalan,” jawab Santi datar.
“Maksud Ibu apa?”
Bukannya menjawab, Santi malah menjulurkan tangannya dan—plek!—menarik telinga Sadewa tanpa ampun.
“Hei! Bu!” Sadewa nyaris berteriak. Siapa yang berani menyentuh seorang Sadewa Mahardika seperti itu? Tidak ada. Kecuali wanita satu-satunya yang melahirkannya. Marah? Tentu tidak bisa. Mau tak mau, ia cuma bisa meringis, mengaduh seperti bocah lima tahun.
“Kamu tuh gak sadar ya kalau kamu udah jatuh cinta sama Shanaya?” celetuk Santi, masih menarik telinganya.
“Lepas, Bu! Lepas! Nanti muncul berita heboh—CEO Sadewa Mahardika kehilangan telinga karena dianiaya ibunya sendiri!”
Santi menyeringai puas. “Bagus. Kalau telinga kamu masih bisa ngerasain sakit, itu tandanya hatimu juga masih bisa diajarin buat jujur sama perasaan sendiri.”
Sadewa terdiam, menatap ibunya. Kalimat itu menampar lebih keras daripada tarikan di telinga barusan. Rasanya seperti membuka pintu yang selama ini sengaja ia kunci rapat-rapat.
“Dewa, sudahlah... berhenti pasang wajah kayak batu nisan. Sekarang waktunya kamu buka diri. Jangan tunggu sampai semua terlambat. Ibu dengar... Shanaya sedang menghadapi perceraian.”
Sadewa langsung menoleh. “Ibu tahu?”
Santi mengangkat alis. “Menurutmu?”
Ia menghela napas panjang. “Selama ini setiap ngobrol sama Shanaya, Ibu nggak pernah sekalipun ngebahas siapa kamu, siapa kita. Dan tahu nggak? Ibu suka dia. Karena dia bukan tipe yang nyari untung. Dia tangguh, sopan, dan punya hati. Jauh beda dari perempuan-perempuan yang pernah deketin kamu. Dan jauh banget dari... Rosa.”
Nama itu membuat dada Sadewa mengencang. Rosa. Cinta pertamanya. Wanita yang dulu ia cintai habis-habisan, yang meninggalkannya demi pria lain yang lebih mapan.
Saat itu, harga dirinya hancur. Tapi rasa sakit itu yang mendorongnya bangkit. Ia bersumpah dunia akan mengenalnya. Dan kini, ia berhasil. Ia adalah Sadewa Mahardika, CEO muda dari SM Group. Tapi luka itu... belum sepenuhnya sembuh.
“Ibu bukannya mau ungkit masa lalu,” lanjut Santi pelan. “Ibu cuma ingin kamu tahu... kamu sudah berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi. Tapi kapan kamu bangkit dari patah hati, Dewa?”
Sadewa tertunduk.
“Shanaya itu... mirip kamu. Sama-sama nyembunyiin luka, tapi tetap berdiri tegak. Mungkin... dia memang bukan cuma singgah. Mungkin, dia ditakdirkan buat tinggal.”
Sadewa mengangkat wajahnya perlahan. “Ibu yakin?”
Santi menatap mata anaknya dengan penuh keyakinan. “Kalau kamu nggak pernah mencoba, mana bisa tahu? Yakin itu cuma kata. Tapi tindakanlah yang nentuin segalanya.”
Sadewa terdiam, mencerna setiap kalimat itu seperti menelan kebenaran pahit yang selama ini ia tolak. Di tengah badai rumah tangga Shanaya, haruskah ia melangkah? Haruskah ia melawan ketakutannya, membuka hati yang lama tertutup, demi memperjuangkan wanita yang diam-diam mengubah hidupnya?
Ia menarik napas panjang. Dalam hening malam yang menyelimuti ruang kerjanya, satu hal kini terasa jelas ia tidak ingin menyesal lagi.
***
Pagi harinya, Sadewa melangkah masuk ke mobil yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Rencana perjalanan ke Bandung ia tunda. Kata-kata ibunya semalam terus terngiang, membekas di benaknya.
“Benar… aku harus bertindak,” gumamnya lirih, lebih pada diri sendiri.
Arya yang kini memegang kemudi, sempat melirik dari kaca spion. “Pak Dewa, lagi mikirin apa, ya?”
“Tidak ada,” jawab Sadewa singkat, ekspresinya tetap datar seperti biasa.
Arya mengangguk pelan, lalu berkata, “Saya sudah siapkan ruangan baru untuk Bu Shanaya, sesuai instruksi Bapak. Tapi… saya dengar beberapa staf mulai bisik-bisik. Katanya ruangan Bu Shanaya terlalu istimewa dibanding yang lain. Pak, apa ini bentuk pilih kasih?”
Sadewa menoleh. “Menurut kamu, begitu?”
Arya menelan ludah sebelum menjawab. “Kalau dari sudut pandang orang luar, ya, Pak. Sikap Bapak ke Bu Shanaya kelihatan beda.”
Sadewa menatapnya dalam. “Kalau begitu, kamu pindah saja ke ruangannya Shanaya.”
“A… apa?” Arya hampir menginjak rem saking kagetnya. “Pak… ruangan Bu Shanaya itu… serba pink.”
Sadewa mengangkat alis. “Ada masalah?”
“Tidak, Pak!” Arya cepat-cepat menggeleng. “Saya… saya sangat bahagia di ruangan saya sekarang. Rasanya… sangat cocok untuk saya secara spiritual dan profesional.”
Sadewa menahan senyum, lalu kembali menatap lurus ke depan.
Arya buru-buru menambahkan, “Dan Bu Shanaya itu kan sekretaris spesial. Jadi, menurut saya, apa yang Bapak lakukan sangatlah benar. Ini demi kenyamanan kerja karyawan juga. Iya… demi kenyamanan.”
Sadewa tak menjawab, tapi sorot matanya melembut. Ada benih keyakinan yang tumbuh, ia mulai berjalan ke arah yang tepat.
Mobil melaju cepat menuju SM. Jantungnya berdetak liar, tak sabar ingin bertemu Shanaya.
Namun, sesaat sebelum memasuki gerbang kantor, sorot matanya berubah tajam.
“Arya, berhenti.”
Arya menoleh, bingung. “Pak?”
Sadewa menatap lurus ke depan. Di depan lobi, Shanaya berdiri… bersama seorang pria.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔