Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Setelah membeli perlengkapan sekolah untuk Anya—mulai dari tas, buku tulis, pensil warna, hingga sepatu putih bersih yang pas di kakinya—mereka kembali berkeliling mall. Bukan hanya sekadar jalan-jalan, namun juga belanja banyak barang-barang yang menurut mereka menarik dan lucu.
Namun sebenarnya, ritme belanja itu bukan dari Anya atau Han—melainkan dari Citra yang entah kenapa begitu semangat memborong barang.
Setiap melihat toko yang memajang baju anak-anak, Citra langsung menarik Anya masuk.
"Ini lucu banget buat kamu, Anya! Coba, yaa..."
Anya menggeleng pelan.
"Kak... ini kayaknya kebanyakan, Anya takut. nanti uang Abang habis..." katanya lirih, sambil memandangi beberapa baju yang bahkan masih menempel di hanger.
Namun sebelum Citra sempat membujuk lagi, Han dari belakang berkata dengan nada lembut tapi tegas:
"Anya... tidak usah khawatir soal uang. Yang penting kamu senang, dan kebutuhan kamu terpenuhi. Lagian... Abang udah janji sama kamu untuk membelikan apapun yang kamu suka."
"tuh.. Abang kamu udah ngijinin, ayo kakak temenin keruang ganti" Citra menari tangan Anya sambil membawa beberapa baju pilihannya.
Setelah itu, entah bagaimana... semangat belanja Citra seperti menular. Anya mulai tersenyum lebih sering, bahkan ikut tertawa-tawa saat mencoba baju baru dan Citra memakaikannya bando lucu. Ia mulai menikmati momen itu dengan ringan, seolah melupakan keberadaan sosok yang selalu mengikuti mereka dari belakang.
Han benar-benar seperti bodyguard dadakan. Semua barang belanjaan ditumpuk di tangannya, bahkan ada yang sampai menggantung di lengan. Tapi dia tidak mengeluh sedikit pun, malah tersenyum melihat Anya dan Citra tertawa-tawa memilih barang.
Tiba-tiba Han teringat sesuatu.
"Eh, aku belum ganti handphone…" gumamnya pelan, berniat untuk membelinya nanti, setelah kedua wanita yang beda usia dua belas tahun itu puas berbelanja.
---
Saat mereka berjalan di lorong mall, tiba-tiba Citra menarik tangan Han.
"Sekarang kita ke sana dulu, yuk." katanya sambil menunjuk ke konter handphone berlogo apel tergigit.
"Selamat datang, nona, tuan. Mau cari handphone apa?" sambut pramuniaga ramah.
"Saya mau yang terbaru, ada?" tanya Citra.
"Ada, nona. Ini iPhone 16. Baru saja rilis minggu lalu di negara kita."
"Baik, saya ambil satu," kata Citra, menyerahkan kartunya.
"Saya juga satu," sahut Han sambil mengeluarkan kartunya, sekalian karena memang sudah niat dari awal.
Namun tiba-tiba, Citra menoleh dan menatap Han tajam.
"buat apa Lo beli satu lagi?"
Han mengerutkan kening.
"Hah? Maksudnya? Gue kan cuma beli satu…"
Citra menyilangkan tangan, bibirnya membentuk senyum kecil penuh kemenangan.
"Yang satu itu buat Lo, Gue beliin. elo ngapain beli lagi?"
Han langsung kaget.
"Hah? Lo beliin gue? Nggak usah, Cit. Gue masih bisa beli sendiri, santai aja."
"Nggak bisa! Elo udah nemenin gue seharian ke mall. Lagian barang yang udah gue beli nggak bisa dikembalikan. Jadi terima aja!" jawab Citra, tak mau kalah. karena berbelanjaan dirinya juga dari uang Han, apa salahnya dia membalas itu semua.
"Satu aja, Kak. Pakai kartu saya saja," tambah Citra ke kasir, membuat Han hanya bisa menatap pasrah.
Setelah puas berbelanja, mereka memutuskan untuk makan di salah satu restoran di mall. Anya makan dengan lahap, membuat siapa pun yang melihatnya pasti tersenyum. sedangkan untuk Han, dia memesan banyak makan sehingga meja mereka penuh membuat Citra sempat terkejut siapa yang akan menghabiskan semuanya, Di tengah makan, Citra menatapnya dengan mata berbinar.
"Habis ini kita nonton bioskop, yuk! Anya mau?" tanya Citra semangat, sambil menyodorkan sepotong ayam ke piring Anya.
Anya menatapnya bingung.
"Bioskop? Apa itu, Kak? Anya belum pernah lihat..."
padahal di villa Han ada ruang bioskopnya, Namun Anya sama sekali tidak mengetahuinya karena dirinya takut untuk berkeliling Villa besar itu, lebih tepatnya takut tersesat.
Citra terdiam sejenak, dia semakin penasaran tentang Anya.
"Bioskop itu seperti nonton TV, tapi layarnya gede banget, kayak satu panggung penuh. Dan gelap, suaranya juga sangat besar!"
"Wah, hebat! Aku mau liat, Kak! Ehm.. Abang, Anya mau nonton bioskop boleh?" tanya Anya yang masih sungkan.
Han tersenyum kecil, menepuk kepala Anya. "boleh, habisin dulu makannya."
Setelah makan, mereka menuju bioskop. Awalnya Citra hendak memilih film romantis, tapi Han menolak halus—tak ingin Anya yang masih polos menonton film yang belum cocok untuk usianya. Akhirnya mereka sepakat menonton film Marvel yang penuh aksi dan pahlawan super.
Selama film berlangsung, Anya duduk terpaku. Matanya membelalak penuh kekaguman setiap kali ada adegan pertarungan atau kekuatan super muncul. Sesekali ia bersorak kecil atau menutup mulut karena tegang. Sementara Citra dan Han hanya tersenyum melihat ekspresi polos itu.
Sore mulai berganti malam, mereka pun memutuskan untuk pulang. Di dalam mobil, Anya tertidur di pangkuan Citra, wajahnya tenang dan damai.
Citra mengelus rambut Anya pelan.
"Adik kamu aktif banget, sih... kayak belum pernah ke mall."
Han yang menyetir hanya tersenyum samar, matanya menatap kesamping sejenak.
"Memang belum pernah. Dia... bukan adik kandungku. Aku ketemu dia waktu lagi diganggu preman di pinggir jalan. Dari situ... aku kenal Anya dan menganggapnya seperti adik kandung aku sendiri."
Tangannya refleks membelai rambut Anya yang tidur nyenyak di pangkuan Citra. Han mulai menjelaskan semuanya saat dirinya dan Klara menemukan Anya saat Han ingin mengantarkan Klara pulang.
Citra yang mendegar kisah hidup Anya tak kuasa menahan tangisnya, dia tidak menyanga jika hidup Anya Setragis itu. tinggal di bawah kolong jembatan dan hidup dalam ancaman dari preman yang memanfaatkan dirinya setelah di tinggalkan oleh satu-satunya orang tua yang menjaganya, jika dirinya seperti itu Citra belum tentu bisa sekuat Anya sekarang.
"Makasih ya, kamu udah nemenin dia seharian ini." Han tersenyum tipis ke arah Citra dan tanpa sadar menghapus air mata yang ada di pipinya itu, sebelum kembali pokus menyetir.
Citra mendadak membeku. Jantungnya berdetak semakin cepat.
"Anjir... kenapa dia keliatan manis banget pas ngomong gitu. Sikapnya, senyumnya, cara dia jagain anak kecil kayak gini... AARGH!"
"Pengen aku terkam rasanya! beda banget dari biasanya yang dingin" batin Citra berteriak dalam diam, wajahnya bersemu merah padam. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi gugupnya sambil memeluk Anya yang tidur pulas.
Sesampainya di rumah, Han menggendong Anya yang masih terlelap. Wajah mungil itu tertidur tenang di pelukannya, mungkin kelelahan setelah hari yang begitu menyenangkan. Dengan hati-hati, Han membaringkannya di atas kasur, menarik selimut hingga menutupi tubuh kecil itu, lalu mengecup keningnya perlahan.
Pagi hari, di markas militer pusat.
Suasana di ruang rapat utama terasa tegang. Seorang pria berpakaian militer dengan lencana emas di dadanya melangkah masuk. Dialah Jenderal Samudera, pimpinan pasukan elit negeri ini.
Seorang komandan berpangkat tinggi, Demon, berdiri tegap dan memberi hormat.
"Lapor, Jenderal! Kami telah menyelidiki insiden hancurnya markas Tengkorak Hitam."
Samudera mengerutkan kening.
"Siapa pelakunya? Organisasi mana? Apa mereka mafia dari luar kota?"
"Bukan, Jenderal. Berdasarkan rekaman CCTV yang berhasil kami selamatkan, serta kesaksian satu-satunya anggota yang berhasil melarikan diri… pelakunya adalah seorang pemuda. Seorang diri."
"Apa?" Jenderal Samudera menatapnya tak percaya. "Kau yakin?"
"Benar, Jenderal. Pemuda itu menyerbu markas dan membantai seluruh anggota Tengkorak Hitam, termasuk ketuanya dan Richard. Ia bahkan menghancurkan markas itu sendirian, dan... ini yang paling mengejutkan..." Demon menahan napas sebelum melanjutkan, "...dia hanya mengibaskan tangan untuk menyingkirkan puluhan orang yang menghalangi jalannya."
Dengan serius, Demon menghidupkan layar yang ada di dalam ruangan itu sehingga menampilkan sebuah rekaman video— menimbulkan suara teriakan, ledakan, dan… satu sosok pemuda yang bergerak tanpa ragu, seperti bayangan maut.
Setelah tayangan berakhir, sang jenderal terdiam lama. Wajahnya tegang.
"Ini... tidak masuk akal," gumamnya. "Pemuda itu bahkan mengalahkan Richard—yang kultivasinya sudah mencapai level Master Pembangunan, belum lagi hasil rekaman itu menunjukkan bahwa Richard telah melakukan teknik terlarang itu. Dan pemuda itu masih bisa melakukannya… dengan mudah."
Tangannya mengepal di atas meja.
"Kita tidak bisa membiarkan seseorang sekuat ini berkeliaran tanpa pengawasan. Cari tahu siapa dia, dari mana asalnya, dan... apa niat sebenarnya.
"Baik, Jenderal."
"orang seperti ini bisa menjadi kawan dan lawan, tapi aku berharap agar dia bisa menjadi kawan agar kekuatan negara ini semakin kuat." Batin jenderal Samudera menyenderkan tubuh tuanya, Namun masih terlihat tegak dan bertenaga seperti di umur tiga lima.
Sementara itu… orang yang tengah mereka bicarakan, justru sedang bersantai di balkon rumahnya, duduk tenang dengan seorang anak kecil di pangkuannya.
"Anya, besok Senin. Abang akan memasukan kamu ke sekolah."
Han, membelai rambut Anya yang menyandarkan kepalanya di dada Han.
"Iya Bang, Anya udah dari dulu pengen sekolah..." ucapnya lirih, tapi penuh semangat. "Tapi dulu Ibu nggak punya uang buat biaya sekolah, jadi Anya cuma belajar sama Ibu di rumah."
Han tersenyum. "Kalau gitu sekarang waktunya Anya belajar yang rajin, biar tambah pintar dan bisa ngejar cita-cita."
Anya mengangguk, wajahnya berseri-seri.
Tak lama kemudian, ponsel Han berdering. Ia menjawab panggilan itu sambil mengusap kepala Anya.
"Halo?"
"Han, apa kamu ada di rumah?" suara Klara terdengar di seberang.
"iya.. ada apa?"
"Emm... ini agak mendadak. Zek dan keluarganya datang ke prusahaanku, katanya mereka minta alamat rumah kamu. Mereka ingin bertemu, katanya ada hal penting yang harus dibicarakan."
Han langsung teringat sesuatu.
"Ah, iya..." batinnya. "Pita suara Zek masih terkunci dengan jarum akupuntur. Walaupun sudah diperiksa dan dicek menggunakan X-ray, tidak akan ada yang menyadarinya. Karena aku melindunginya dengan tenaga dalam. Hanya aku yang bisa mencabutnya."
"Oke, bilang ke mereka akan ku tunggu dalam waktu satu jam. jika mereka tidak sampai dalam waktu itu, aku tidak akan repot-repot membantunya."
kata Han sambil menutup telpon.