Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebo Lebih Lucu Darinya
Nayla melepaskan sanggul rambutnya, membiarkan helaian lembut itu tergerai dan jatuh di sepanjang wajahnya yang cantik dan halus. Namun di balik kecantikan itu, tampak jelas gurat kelelahan dan kepucatan yang membangkitkan rasa iba.
Melihat Revan masuk, Nayla mengangkat kepalanya dengan emosi yang rumit. Ia tidak menanyakan apa yang telah dilakukan Revan terhadap Pak Hardi, dan malah menunjukkan senyum mencela diri sendiri. "Aku pasti jadi bahan tertawaan bagimu, sebab punya ayah seperti itu. Aku punya keluarga yang payah, pasti kamu menganggapku sangat menyedihkan? Apakah dalam hatimu, merasa kasihan padaku? Jangan merasa seperti itu padaku. Karena aku tidak butuh rasa kasihan murahan dari siapa pun, terutama darimu."
"Siapa bilang aku mengasihanimu?" Revan tertawa, mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, lalu menyalakan dan mengisapnya perlahan.
“Jangan merokok di depanku,” ucap Nayla sambil mengerutkan kening. Ia mengibaskan tangannya dengan jengkel untuk mengusir asap yang mengepul di hadapannya.
Revan mengabaikannya, lalu berjalan menuju sofa besar di sisi ruangan, dan merebahkan tubuhnya dengan santai. Sambil menatap langit-langit, ia kembali mengisap rokoknya dengan berkata. "Aku hanya ingin mengingatkanmu, jangan menunjukkan tatapan menyedihkan seperti itu kepadaku. Setidaknya kamu tahu siapa orang tuamu, dan pernah menerima kasih sayang dari mereka. Meskipun keluargamu tidak seharmonis itu, tapi setidaknya punya orang tua.
Lagipula kamu terlahir secantik ini, sampai-sampai menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Tidak pernah khawatir soal makanan atau pakaian sejak lahir, dan mengendarai mobil mewah di usia muda. Kamu punya semua yang diinginkan… Mustahil bagimu bisa mengerti rasanya menjadi seseorang yang bahkan tidak tahu siapa orang tuanya? Seseorang yang tumbuh tanpa asal-usul, tanpa apa pun.”
Saat mendengar kata-kata seperti itu, membuat Nayla tiba-tiba tertegun. Untuk pertama kalinya, ia memandang lurus ke dalam mata Revan. Di sana tergambar kesepian yang dalam dan duka yang tertahan. Tatapan itu, entah mengapa telah mengguncang perasaannya.
Revan melanjutkan dengan suara lembut seolah berbicara pada dirinya sendiri, "Sejak kecil selalu sendirian, saat lapar, saat kedinginan, saat di-bully, saat dipukuli, semua harus aku hadapi sendiri. Tanpa ayah atau ibu, tanpa keluarga, tanpa saudara, bahkan tanpa teman. Untuk bertahan hidup, aku pernah bertarung hingga berdarah-darah hanya demi sepotong biskuit berjamur. Untuk mengisi perut, aku pernah makan rumput dan kulit pohon sampai pencernaanku berdarah. Tidak ada yang peduli dengan hidupku, tidak ada yang mengasihaniku, karena aku hanyalah makhluk menyedihkan yang terbuang. Aku bahkan kalah berharga dibandingkan seekor kucing peliharaan.”
Mendengarkan suara pria itu yang rendah dan serak, mata Nayla kembali memerah, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk makhluk menyedihkan itu.
"Maaf," Nayla menundukkan kepalanya, dan berkata lembut. "Aku tidak tahu masa kecilmu begitu berat."
Revan menunduk, lalu perlahan tersenyum. Senyum itu seperti biasanya, nakal dan tidak bertanggung jawab. “Istriku sayang, aku cuma mengarang ceritanya. Kamu percaya begitu saja?”
"K-kamu…" Nayla mengangkat kepalanya. Ia baru saja merasa sedih padanya, tapi pria berandalan ini malah mengaku semua ceritanya hanyalah kebohongan. Seketika Nayla langsung marah, "Kenapa kamu bisa bersikap seperti itu!”
“Hehe, lihatlah,” Revan terkekeh pelan. ”Wajah marah ini jauh lebih cantik daripada wajah menangismu tadi," ucapnya memuji.
Ucapan itu membuat Nayla merasakan kehangatan di hatinya. Ia menyadari Revan melakukan itu untuk mengalihkan perhatiannya dari kesedihan, tetapi enggan untuk mengucapkan kata terima kasih. Ia menatap Revan seolah tidak terjadi apa-apa, "Karena kamu berbohong padaku, lalu di mana orang tuamu? Pernikahan kita hanya berdasarkan kontrak, tapi jika suatu saat orang tuamu tiba-tiba muncul, maka segalanya akan menjadi semakin rumit."
Revan memainkan puntung rokok di antara dua jarinya, lalu tersenyum polos, "Ada satu hal yang tidak aku bohongi sebelumnya, aku benar-benar tidak tahu siapa orang tuaku. Aku terpisah dari mereka sebelum usia lima tahun, nama ini saja yang bisa diingat, dan aku seorang yatim piatu."
Mendengar Revan dengan santai menyebutkan seorang yatim piatu, Nayla merasa iba di hatinya. Ia tiba-tiba terpikir untuk menghiburnya, namun tidak tahu bagaimana caranya. Bergulat dalam hati, ia hanya mengangguk, lalu tetap diam.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hingga akhirnya Nayla angkat suara. "Revan, ada beberapa hal yang perlu aku jelaskan kepadamu. Bagaimanapun juga kita sudah menandatangani kontrak, jadi kamu berhak mengetahui alasan sebenarnya di balik pernikahan ini."
Revan mengernyit, “Apakah ini tentang ayahmu yang seperti kebo itu, yang memaksamu untuk menikah?”
“Jangan memanggil ayahku kebo,” sahut Nayla sedikit kesal. “Kalau dia kebo, bukankah aku juga kebo.”
"Hehe, istriku Nayla yang sangat cantik. Bahkan jika kamu jadi kebo sekalipun, pasti tetap jadi kebo yang lucu dan harum."
"Kamu yang kebo!" Nayla memutar matanya, tapi tanpa sedikit pun marah. Ia kembali ke topik awal pembicaraan, "Ayahku memiliki tiga puluh persen saham perusahaan, dan merupakan pemegang saham terbesar kedua setelahku. Tapi itu bukan inti masalahnya, setelah Nenekku meninggal, dia menyerahkan enam puluh persen saham kepadaku dan aku memiliki kendali penuh atas perusahaan. Namun di Tangan ayahku, ada hak kepemilikan sebuah vila."
"Apakah vila itu penting bagimu?" Revan bertanya dengan ragu.
"Sangat penting," jawab Nayla pelan. Matanya menunjukkan ekspresi kenangan indah, "Di masa kecilku, hanya Nenek dan Ibu yang menemani dan aku tumbuh besar di sana. Pernikahan Ibu dan Ayahku hanyalah perjanjian bisnis, Ayah tidak pernah mencintai Ibuku. Dia seorang playboy, dan sampai sekarang pun sifatnya tidak berubah."
Setelah mengatakan semua itu, sorot mata Nayla menunjukkan jejak kebencian, "Meskipun dia tidak pernah di rumah dari siang hingga malam, dia tetap pemilik sah vila itu. Setelah Nenek meninggal, dia tidak pernah mengizinkanku kembali ke sana. Dan kini, karena dia menjalani hidup yang penuh kesenangan, keuangannya hampir habis, dan dia bersiap untuk menjual vila itu."
"Apa hubungannya semua ini dengan pernikahan kita?" Revan bertanya dengan bosan.
Nayla melotot dingin ke arah Revan, "Aku ingin mengambil kembali vila itu darinya, tetapi dia tidak mau memberikannya kepadaku. Aku menawarkan harga yang jauh lebih tinggi dari harga pasaran, dan dia masih tidak mau menjualnya kepadaku. Dia hanya memberikan satu syarat, yaitu aku harus menikahi putra keluarga Wijaya. Dia jelas telah menerima keuntungan dari keluarga Wijaya itu."
"Ayah bahkan menggunakan paksaan untuk membuat putrinya menikah, demi kesepakatan seperti itu. Menurutku, dia bahkan lebih buruk dari kebo bodoh, bahkan kebo lebih lucu darinya," Revan menggelengkan kepalanya dengan serius.
Nayla tidak peduli dengan sindiran Revan, lalu melanjutkan, "Rama Wijaya dari keluarga Wijaya selalu menggangguku, tetapi aku tidak mau melawan keluarga itu. Sebab keluarga Wijaya merupakan salah satu dari lima keluarga terkuat di Jakarta, kita tidak bisa menyinggung mereka. Karena itu..."
"Karena itu, kamu memutuskan untuk menikahiku. Supaya Rama kehilangan hak atau alasan untuk terus mendekatimu. Dengan begitu, kamu bisa menyingkirkan hambatan itu, dan baru kemudian mencari cara untuk merebut kembali vila dari ayah yang seperti kebo itu?”
"Benar." Nayla mengangguk lelah, dalam beberapa hari terakhir, pikirannya telah kusut karena masalah ini. Seorang gadis muda yang baru berusia dua puluhan, sudah memikul beban seberat itu.
Revan berdiri sambil mengambil ponsel barunya, lalu berjalan pelan menuju pintu.
Nayla mengerutkan kening, "Kamu mau ke mana?" tanyanya curiga.
Revan menoleh, menatapnya dengan ekspresi serius. "Aku mau ke kafe, mencari Wanita."