Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 27
"Eyang sudah mengatur itu dari lama, Adi. Kamu tidak bisa menolaknya. Lagipula itu bisa sekalian untuk menjadi bulan madu kalian. Meski hanya di villa keluarga, itu lebih baik daripada kalian hanya sibuk bekerja." Suara Tuan Khalid bagaikan perintah yang harus dipatuhi oleh Adimas.
Adimas memasang raut datar berhadapan dengan sang ayah. "Saya tidak butuh bulan madu. Lagipula apa untungnya punya anak cepat? Saya dan Jasmine masih dalam tahap perkenalan," dustanya enteng.
Padahal sebenarnya itu hanya buah pemikirannya saja. Ia tidak pernah mendiskusikan apapun bersama Jasmine. Bagi Adimas tugasnya selesai hanya sampai menikahi perempuan itu.
"Tahap perkenalan bukan berarti kalian tidak punya rencana untuk punya anak. Lagipula bulan madu bukan hanya untuk mendapatkan anak, Adi. Kalian bisa lebih saling mengenal. Meskipun sebenarnya Ayah tahu, tiga bulan ini sudah cukup untuk saling pengenalan di awal."
Tidak ada nada paksaan dari cara sang ayah bicara pagi ini. Namun mood Adimas terlalu buruk pagi ini sehingga ia merasa penyampaian baik ayahnya itu seperti sebuah perintah yang sarat akan paksaan.
Terlalu pagi membicarakan liburan tahunan bulanan keluarga mereka, apalagi jika itu hanya ajang dari sang eyang untuk dirinya dan Jasmine bulan madu.
Jasmine? Ah, membicarakan perempuan itu membuat Adimas jadi uring-uringan. Setelah semalam ia menemukan Jasmine tertidur di teras samping rumah mereka dan berujung dengan kurang ajarnya perempuan itu mengendus bahkan melumat lehernya, Adimas jadi menghindari Jasmine.
Perempuan itu menguji dirinya. Tidak sampai di situ, saat di kamar perempuan itu dengan santainya menarik dan memeluknya hingga membuat Adimas menegang. Bagaimana pun Adimas adalah lelaki normal. Melihat penampilan Jasmine semalam yang hanya memakai dress tidur selutut tanpa lengan meski ditutupi dengan luaran, tetap saja membuat Adimas kesulitan bernapas.
Hampir saja Adimas khilaf. Untungnya sisi baik Adimas dengan cepat memberikan sinyal agar Adimas menahan diri. Meski berujung kepada tidurnya ia dengan memeluk tubuh ramping Jasmine.
"Bagaimana, Adimas? Kamu setuju?" tanya ayahnya menatap Adimas serius.
Adimas diam sejenak. Lalu berdiri dan bersiap keluar dari ruangan ayahnya. "Nanti akan saya kabari."
Lelaki dengan fitur wajah yang mirip Adimas itu menghela napasnya. Adimas tahu, mungkin ayahnya sendiri merasa lelah dengan sifat keras kepalanya. "Kita itu keluarga Adimas. Jangan terlalu bersikap formal seperti ini. Sekarang saya berbicara layaknya seorang ayah kepada putranya."
Adimas terkekeh sinis. Matanya menatap lelaki di depannya dengan tajam. Kedua alis tebalnya menukik semakin menambah kesan dingin.
"Ini masih jam kerja. Lagipula berhenti bersikap seolah anda adalah ayah yang baik. Bagi saya, anda tidak lebih dari seorang ayah yang hanya ada di atas kertas."
Tuan Khalid terdiam. Mata tuanya masih setajam dulu. Namun Adimas tahu, mata itu menyimpan hal lain ketika menatapnya. Namun Adimas telah memasang tembok tinggi semenjak kehadirannya dianggap aib oleh keluarganya sendiri.
"Kalau memang tidak kepentingan lagi, saya permisi." Adimas lalu pergi bahkan tanpa perlu menyapa asisten ayahnya, ia segera memutar kenop pintu dan segera keluar.
Bersamaan dengan keluarnya Adimas dari ruangan sang ayah, di depan ruangan tersebut berdirilah beberapa orang yang sangat Adimas kenali. Mereka adalah orang-orang yang menempati jajaran atas di perusahaan keluarganya. Pun dengan mereka, Adimas hanya mengangguk sejenak lalu berlalu tanpa menyapa mereka.
Adimas tidak peduli dengan respon mereka ataupun tanggapan mereka mengenai dirinya. Semenjak ia datang pun, mereka adalah golongan orang yang tidak menyukainya secara terang-terangan. Apalagi semenjak kakak ibu tirinya juga memasuki perusahaan. Adimas dianggap sebagai hama pengganggu yang seharusnya dimusnahkan.
"Apa jadwal saya sebelum jam makan siang ini?" tanya Adimas kepada sekretarisnya.
"Kosong, Pak. Kemarin Bapak sendiri yang meminta untuk dikosongkan karena hari ini ada jadwal lain," jawab Diego-asistennya.
Adimas mengangguk. "Jangan biarkan siapapun masuk ke ruangan saya. Sementara saya ada urusan. Kamu tidak perlu ikut."
Diego bermaksud menyahuti namun Adimas lebih dulu pergi. Meninggalkan tempat nyaman yang kini menjadi tempat kedua setelah rumahnya bersama Jasmine.
****************
Di sinilah akhirnya Adimas berada. Entah urusan jenis apa yang menuntun hatinya untuk ke tempat pribadi milik Jasmine ini.
Di dalam ruang kerja kecil Jasmine, lantai dua kafenya yang beraroma kopi dan buku-buku, Adimas duduk sendirian. Ruangan itu terasa sunyi, hanya diiringi suara-suara samar dari bawah, hiruk pikuk kafe yang mulai ramai.
Entah mengapa kakinya telah membawanya ke sini, ke kafe milik Jasmine, meskipun ia tahu saat ini Jasmine sedang mengisi kelas membuat kue di sebuah sekolah memasak. Adimas bahkan memilih menunggu Jasmine di ruang yang aromanya sangat khas dengan parfum Jasmine tersebut. Begitu manis dan menenangkan.
Adimas kemudian berjalan menyusuri area rak buku. Meneliti setiap buku yang berada di rak tersebut. Anehnya itu bukanlah buku-buku bisnis yang umumnya dibaca oleh seorang pebisnis. Jika dilihat dari judulnya, buku-buku tersebut lebih merujuk ke buku sejarah Islam yang beberapa judulnya pernah Adimas baca.
Saat Adimas hendak meraih satu buku dari rak tersebut, suara pintu terbuka terdengar di telinganya. Kemudian diikuti suara lembut yang menyapa Adimas.
"Mas...?" Suara lembut itu, suara Jasmine, memecah kesunyian. Adimas menoleh, tatapannya yang tajam, seperti mata elang yang mengintai mangsanya, bertemu dengan senyum hangat Jasmine. Jasmine berdiri di ambang pintu, siluetnya terukir oleh cahaya matahari yang masuk dari jendela.
"Aku kira Mas nggak jadi ke sini. Udah lama?" tanya Jasmine lembut lalu meletakkan tasnya segera di meja kerjanya.
"Lumayan," jawab Adimas singkat.
Setelah meletakkan tasnya di meja, Jasmine kemudian mendekati Adimas membuat Adimas mengernyit bingung. Apalagi ketika tangan Jasmine terulur di depannya.
"Bukannya kartu saya masih di kamu? Kan itu nggak terbatas. Kenapa masih minta uang sama saya?"
Jasmine terkekeh membuat mata indahnya itu membentuk bulan sabit. "Mau salim aja, Masku. Bukan minta uang," guraunya.
Hati Adimas mencelos. Namun bukan Adimas namanya jika salah tingkahnya terbaca jelas oleh Jasmine. "Makanya ngomong. Jangan main kode. Saya mana ngerti kode kamu," katanya ketus lalu mengeluarkan tangannya dari saku celana untuk menyambut tangan Jasmine yang masih terulur.
Alih-alih tersinggung apalagi balas mendumel, Jasmine justru tertawa pelan lalu segera mencium tangan Adimas, layaknya seorang istri kepada suaminya.
"Memangnya aku terlihat matre banget ya?" gurau Jasmine yang kemudian duduk di sofa sambil menatap Adimas dengan lembut.
Adimas mengurungkan niatnya untuk mengambil buku tadi, ia kemudian duduk di sofa yang sama. Namun berjarak cukup jauh dari Jasmine. Mereka berdua lebih terlihat seperti rekan kerja bukan suami istri.
"Lumayan. Sejak dulu kan kamu hobi banget pamer barang-barang mahal," jawab Adimas anehnya ternyata masih mengingat perilaku Jasmine semasa sekolah.
Jasmine tertawa lagi. Adimas pun tidak bingung lagi dengan sikap aneh Jasmine. Semakin Adimas mengeluarkan kalimat-kalimat ketus yang secara umum menyakiti hati, Jasmine justru meresponnya dengan tawa. Menganggap itu sebuah lelucon.
"Kok tahu? Masih ingat lagi. Mas merhatiin aku ya?"
Adimas memutar bola matanya dengan ekspresi malas. "Tidak usah GR. Saya hanya mendengar itu dari Rindu."
Jawaban itu sebenarnya tidak sepenuhnya berbohong karena sebagian kecilnya memang Rindu yang bercerita. Sedangkan sebagian besarnya Adimas yang melihatnya langsung.
Wajah ceria itu berubah muram. Adimas tahu penyebabnya. Membawa nama Rindu ke pembicaraan mereka membawa sinyal buruk untuk hati Jasmine.
"Kenapa jadi murung begitu? Masih benci kamu sama Rindu?" tanya Adimas sinis.
Jasmine mendongak, menatap Adimas langsung. " Enggak. Malas aja. Mas bawa-bawa nama dia terus."
Adimas tersenyum sinis. "Kamu cemburu?" tanya Adimas sengaja dengan maksud bercanda.
Jasmine mengangguk cepat. "Iya. Aku nggak suka Mas bawa-bawa nama Rindu saat kita lagi berdua. Aku nggak suka Mas lebih perhatian sama Rindu dibanding aku. Aku juga nggak suka cara kamu memprioritaskan Rindu."
Senyum sinis di wajah Adimas pudar berganti wajah datar yang sebenarnya terkejut dengan perkataan Jasmine. Kenapa keadaannya justru berbalik membuatnya serba salah?
"Kamu iri sama dia?"
"Enggaklah. Ngapain iri sama dia. Bedain ya Masku, antara nggak suka sama iri," kata Jasmine dengan nada kesal kemudian beranjak berdiri.
Melihat wajah Jasmine yang berubah datar Jasmine, entah mengapa membuat hati Adimas merasa bersalah. Ini adalah kali pertama Adimas merasa tidak enak karena sikapnya terhadap Jasmine.
Adimas kemudian berdeham. Agar suasana tidak awwkard seperti sekarang. "Ayah bilang eyang mengajak liburan minggu ini. Kita semua harus hadir karena itu acara bulanan sebenarnya. Cuma beberapa kemarin dilakukan karena sibuk." Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, menggunakan rencana liburan keluarga sebagai kedok.
"Iya," sahut Jasmine yang masih berdiri membelakangi Adimas. Suaranya itu tidak terdengar begitu antusias.
"Kamu tidak senang?" tanya Adimas yang sekarang ikut berdiri, berjalan perlahan mendekati Jasmine yang sedang berada di dekat jendela besar.
Adimas menelisik raut wajah Jasmine. Tidak ada binar kebahagiaan di matanya.
"Kita tidak perlu ikut jika kamu keberatan. Lagipula saya juga kurang suka ikut acara seperti itu " ucap Adimas ringan.
Jasmine menatap Adimas. Perempuan itu berjalan mendekat hingga jarak di antara semakin menipis. "Aku akan ikut. Ada atau tidak adanya Mas. Lagipula aku bukan Mas yang dengan gampangnya membuat orang kecewa."
Adimas terdiam. Ia mencoba memahami maksud perkataan Jasmine. Mengapa sikap perempuan itu tiba-tiba berubah? Apa masih karena Rindu? Apakah Jasmine benar-benar cemburu? Namun punya hak apa Jasmine cemburu terhadap kedekatannya dengan Rindu? Bukankah cemburu dan rasa cinta itu berdampingan?
Mata Adimas pun mencoba mencari makna tatapan Jasmine. Apakah perempuan ini mencintainya? Kalau iya, sejak kapan? Berbagai pertanyaan mengacaukan pikiran Adimas.
Tiba-tiba suara ponsel yang berasal dari arah meja kerja Jasmine terdengar memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Jasmine buru-buru mengambil ponselnya. Sedangkan Adimas masih menatap pergerakan Jasmine dalam diam.
"Assalamu'alaikum, kenapa, Yan?"
"Yan? Itu Adrian?" batin Adimas bertanya.
"Ooh, makan siang. Oke deh. Di tempat kita biasa ya. Kita ketemu di sana aja."
Adimas hanya menatap Jasmine yang sedang berbicara dengan orang di telepon tersebut. Hingga ketika Jasmine menyebutkan kata 'ketemuan dan makan siang' barusan, membuat hati Adimas tiba-tiba timbul tidak suka.
"Iya deh. Sampai bertemu di sana," ucap Jasmine kemudian memutuskan telepon tersebut. Matanya kemudian beralih ke Adimas yang masih berdiri tegak di dekat jendela.
"Aku minta izin untuk makan siang bersama Ian ya, Mas," kata Jasmine tiba-tiba.
"Kalau saya tidak izinkan bagaimana?" Pertanyaan bodoh yang keluar tanpa permisi dari mulut Adimas itu membuat Jasmine terkejut sekaligus bingung.
Tidak hanya Jasmine, Adimas pun sama. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ia harus memikirkan alasan agar Jasmine tidak mencurigai bahwa Adimas tiba-tiba tidak suka kedekatan Jasmine dengan Adrian.
*
*
*.
BERSAMBUNG