Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 26 - After Wedding:)
"El, hentikan!! Aku lelah dan mengantuk..." keluhku karena Elbarra sedari tadi tidak berhenti menciumi leherku.
"Sebentar lagi, Sayang..." Ia kembali melanjutkan kegiatannya tanpa membiarkanku bisa beristirahat sebentar saja.
Kulirik jam yang tertempel di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Berarti Elbarra sudah lima jam melakukannya denganku. Mengingat kejadian semalam, jujur aku sangat malu. Pipiku pasti akan merona setiap kali mengingatnya.
"El, cepat hentikan atau aku akan menendangmu hingga tersungkur ke lantai!!" Aku menatapnya garang.
Elbarra terkesiap, ia segera menjauh dari lekukan leherku. Suamiku itu berguling kesamping dengan posisi membelakangiku, sepertinya dia merajuk. Seperti anak kecil saja.
Mau tidak mau aku harus membujuknya. Jika tidak dibujuk, Elbarra akan terus merajuk hingga berhari-hari lamanya. Ia tidak akan berbicara denganku, bahkan tersenyum kepadaku saja tidak.
Aku pernah merasakannya, mangkanya aku bisa bilang seperti itu. Baru saja bulan lalu kejadiannya. Saat itu aku menonton film bersama Elbarra, menonton drama korea favoriteku yang dimana pemain utama lelakinya adalah Kim Seon-ho, aktor kesukaanku.
Tak henti-hentinya aku memuji Kim Seon-ho, hingga membuat Elbarra cemburu. Ia benar-benar marah dan tidak mau bicara denganku. Andai saja aku tidak membujuk dan mencoba untuk merayunya, kurasa ia akan mempertahan sikap sok coolnya itu. Tapi Elbarra memang cool sih, Hahaha.
Dia memang sudah banyak berubah, tapi sikap cemburu dan posesifnya masih sama. Tak masalah sebenarnya, tapi Elbarra suka melebih-lebihkan sesuatu.
Kupandangi punggung gagah tersebut, aku jadi mengulum senyum sendiri. Singaku sedang merajuk, jika tidak segera ditangani entah kapan merajuknya akan hilang.
Aku semakin mendekatkan diri dengannya, kupeluk tubuh itu dari belakang sampai wajahku menempel di punggung kekarnya. Biasanya ini kerjaan Elbarra, tapi sekarang aku harus menurunkan sedikit gengsiku. Hehe..
"Suamiku marah yaaa?" rayuku sambil memainkan jariku di perutnya.
Kurasakan tubuh Elbarra yang menegang. Entah sejak kapan aku jadi nakal seperti ini, mungkin karena ajaran darinya.
"Hmm.." Dia membalasnya sangat singkat. Elbarra bahkan belum ingin berbalik.
Rasanya aku ingin tertawa, tapi jika kulakukan pasti Singa ini akan semakin bertambah marah. Jadi, aku hanya bisa mengulum senyumku.
"Aku capek, Sayang. Nanti malam lanjut lagi yaa, aku janji..." ucapku pelan.
Elbarra mengangkat tanganku yang melingkar di perutnya, kemudian berbalik. Dia tersenyum padaku lalu memelukku erat.
"Yayaya, ayo tidur!" Suamiku itu mencium keningku sejenak, lalu memejamkan matanya.
Di dalam pelukannya, aku tersenyum lebar. Tanpa kusadari, tanganku terangkat untuk mengelus dada bidangnya. Terdengar erangan pelan dari mulut Elbarra, tetapi ia tidak bergerak.
"Jangan mulai, Sayang. Tidurlah!" ucapnya yang masih memejamkan mata.
Senyumku semakin lebar. Aku semakin mendekatkan diriku dengan Elbarra. Aku membalas pelukannya tak kalah erat. Dan kami pun tidur saling berpelukan.
...****************...
Padahal aku masih ingin menghabiskan waktu bersama Mama, tapi beliau buru-buru ingin kembali ke Indonesia. Katanya, ada urusan mendesak. Entahlah aku tidak tahu urusan apa itu.
Sehabis mengantarkan Mama ke Bandara, aku dan Elbarra berjalan pulang. Kami pulang ke mansion, bukan ke hotel tempat kami menginap semalam.
Aku memandangi jalanan yang terlihat basah, tadi malam hujan turun dengan lebatnya. Mantel ditubuhku semakin kueratkan, dinginnya terasa hingga ke kulit walaupun aku sudah menggunakan baju yang tebal.
"Ada apa, Sayang? Kenapa wajahmu terlihat murung?" Kurasakan genggaman hangat di tanganku.
"Tidak apa-apa, El.." Aku menoleh, lalu tersenyum kecil.
"Benarkah? Kau tidak ingin menceritakan sesuatu kepadaku?"
Sejenak, aku bergeming. "Aku hanya memikirkan Mama. Aku sungguh mengkhawatirkannya, El."
Suami tampanku itu mencium punggung tanganku lembut, "Kita akan berkunjung nanti, oke?"
Kau memang yang terbaik, El. Aku mengangguk tanpa memudarkan senyumku.
Kami tiba di mansion, Elbarra yang paham akan kondisiku, segera membantuku turun. Jalanku tertatih dan sedikit... Mengangkang. Aku tidak bercanda atau berakting, memang semalam menyakitkan, meskipun Elbarra memperlakukanku dengan sangat lembut.
"Sisi..." Ternyata ada Evelyn disini.
"Hai, Eve. Kau sudah sejak lama disini?"
Evelyn menggeleng seraya tersenyum, namun saat melihat suamiku, ekpresinya langsung berubah tidak senang. Tatapannya beralih kearah jalanku yang mungkin terlihat berbeda. Mulutnya menganga dengan mata yang melotot.
"Kauu!!" tunjuknya pada Elbarra, "Kau memperk*sa Sisi!"
Elbarra memasang wajah malas. Ia nampaknya sudah jengah menghadapi adiknya ini. Mendadak dia menggendongku, lalu menurunkanku di sofa panjang di ruang tamu.
"Apa yang kau lakukan sepagi ini disini?" tanya Elbarra sambil menatapnya tajam. Memang benar, waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi.
"Tentu saja ingin bertemu sahabatku!"
"Sahabat yang kau maksud adalah istriku!!"
Adik iparku tersebut menghentakkan kakinya kesal, ia mendekat kearahku lalu duduk di sampingku. "Sisi, kau tidak apa-apa? Apakah Elbarra memaksamu? Apakah dia bersikap kasar kepadamu? Jika iya, katakan saja! Tidak usah takut, aku akan memberitahu Mommy dan Daddy."
Kulirik sebentar suamiku yang memasang wajah datar sembari melipat kedua lengannya di dada. Pandanganku lalu beralih pada Evelyn. Aku menggeleng pelan seraya tersenyum menenangkan.
"Suamiku sangat baik terhadapku. Dia tidak pernah kasar, Eve. Jadi, kau tidak perlu merasa khawatir, oke?"
"Kau dengar itu? Apakah kau merasa puas dengan jawaban istriku? Jika iya, kembalilah pulang sana! Aku dan Sisi ingin istirahat."
Evelyn menatap sinis kearah Elbarra. Namun saat menatapku, ia langsung merubah ekspresinya jadi tersenyum manis. Anak ini benar-benar menggemaskan.
"Baiklah-baiklah, aku akan pulang. Tapi... Aku akan sering kemari!"
"Untuk apa?" Mata Elbarra langsung melebar, "Tidak usah kemari lagi!"
Kepala gadis itu menggeleng, "Tidak bisa, Barra. Aku harus kesini untuk memastikan bahwa Sisi baik-baik saja. Ini perintah Mommy, jika kau tidak percaya hubungi Mommy saja."
"Ohh, shit!!" Seketika Elbarra memijat pelipisnya yang terasa pusing. Pasti tidak mudah baginya memiliki adik seperti ini.
"Kenapa kalian selalu ribut? Tidakkah kalian berpikir untuk akur saja?" Akhirnya aku melontarkan kalimat yang kutahan sedari tadi.
"Akur dengannya?" Evelyn tertawa, "Yang benar saja, Si. Aku tidak pernah mencari masalah dengannya, dia saja yang sensitif. Dikit-dikit marah. Seperti wanita PMS saja."
Elbarra bergegas menghampiri Evelyn lalu menarik telinganya.
"Barraa, sakiiittt!!" Jeritan Evelyn mengundang perhatian semua orang disana, termasuk Mia yang sedang di dapur.
"El, apa yang kau lakukan? Telinganya bisa terluka!!" Mendengar ucapanku, Elbarra pun melepaskannya.
Telinga Evelyn memerah, aku membantu mengusapnya. Matanya bahkan berkaca-kaca ingin menangis. Pada dasarnya dia cengeng, hanya sok berani saja.
"Kau lihat, Si? Suamimu itu selalu kasar terhadapku! Hikss..."
Kan! Dia benar-benar menangis. Aku tidak tega melihatnya, segera kubawa Evelyn dalam pelukanku.
"Minta maaf kepadanya!" kataku pada Elbarra yang senantiasa berdiri.
Terdengar helaan nafas kasar dari mulutnya. Dengan setengah hati, Elbarra mendekati Evelyn lalu mengusap kepalanya sayang. "Maafkan aku, Eve."
Gadis ini menggeleng, "Tidak mau huhu... Aku akan mengadukanmu kepada Mommy."
"Silahkan! Tapi ini terakhir kalinya kau menginjakkan kakimu di rumah ini!"
Sepasang mataku membulat, begitupun dengan Evelyn. Elbarra benar-benar nekad.
"Ayo adukan saja kepada Mommy. Bukankah tadi kau mengancamku? Dengan begitu, aku akan meminta Lucas untuk melarangmu masuk kesini lagi!" tambah suamiku.
Bibir Evelyn bergetar, ia buru-buru berdiri lalu melangkah untuk keluar. Tapi saat di ambang pintu, ia berhenti lalu berbalik menatap kakaknya itu. Aku menutup mulutku karena tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Evelyn mengacungkan jari tengah kepada Elbarra.
"Adikmu benar-benar ajaib, El!"
"Aku tahu!"