NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 26: Fondasi Besi di Tepi Jurang

Kabut pagi menutupi puncak gunung seperti selimut abu. Udara tipis, hampir tak beraroma, hanya dingin yang menggigit dan suara desir angin yang berputar di antara tebing. Liang Chen berdiri di tepi jurang, dada telanjang, napasnya membentuk kabut putih. Di bawah sana terbentang lembah curam dengan batu-batu tajam menunggu siapa pun yang jatuh.

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya, tangan kiri membawa kendi arak, tangan kanan menggenggam sebongkah batu besar seukuran tubuh anak kecil. “Tidak ada meditasi hari ini,” katanya tenang. “Hari ini, kau akan mengenal arti tubuh besi.”

Batu itu dilempar ke kaki Liang Chen dengan dentuman berat. Tanah bergetar, burung-burung hutan berhamburan. Liang Chen menatapnya tanpa banyak bicara, lalu menunduk dan mengangkat batu itu ke dadanya. Beratnya membuat otot bahunya menegang seketika, namun ia menggertakkan gigi dan menahan.

“Berlari,” perintah Guru Kui Xing. “Sampai kakimu berhenti dengan sendirinya.”

Tanpa ragu, Liang Chen berlari menyusuri tepi jurang. Setiap langkah menimbulkan gema di udara, setiap embusan napas menjadi uap. Batu di pelukannya bergeser-geser, menghantam tulang rusuk dan membuat napasnya sesak, tetapi ia terus memaksa. Tanah yang ia injak tak rata, terkadang licin oleh embun. Sekali waktu kakinya tergelincir dan batu hampir jatuh, tapi ia menahan dengan tenaga dari punggungnya.

Guru Kui Xing mengikuti dari jauh, langkahnya santai namun matanya tajam. Ia tidak memberi dorongan spiritual apa pun, tidak ada mantra penguat tubuh. Semua yang dilakukan Liang Chen hanyalah tenaga murni.

Waktu berlalu. Matahari mulai menanjak. Keringat menetes dari dagu Liang Chen, bercampur darah yang keluar dari luka kecil di bahunya. Napasnya berat, namun ia tidak berhenti. Ia teringat kata-kata gurunya di malam sebelumnya: tubuh adalah wadah, bukan tujuan. Sekarang ia tahu arti kalimat itu. Wadah harus diuji sampai batasnya sebelum layak menampung sesuatu yang besar.

Ketika langkahnya mulai goyah, suara keras terdengar di belakangnya. Tongkat kayu menghantam punggungnya. Rasa sakit membakar, membuat Liang Chen tersentak dan hampir menjatuhkan batu.

“Terus,” suara Guru Kui Xing datar. “Jangan biarkan rasa sakit membunuhmu. Biarkan ia membentukmu.”

Liang Chen menelan ludah, memaksa tubuhnya maju. Darah hangat mengalir di punggungnya. Setiap detik rasa sakit bertambah, namun bersamaan dengan itu sesuatu di dalam dirinya ikut berdenyut. Energi merah samar muncul dari dada, menjalar ke bahu dan lengan, menyelimuti tulang-tulangnya seperti api tipis.

Batu yang tadi terasa seperti gunung kini sedikit lebih ringan, atau mungkin tubuhnya yang mulai beradaptasi. Ia tidak tahu. Ia hanya berlari, memeluk batu itu lebih erat.

Guru Kui Xing berhenti di pinggir tebing, menatap muridnya yang terus berlari mengelilingi lingkaran sempit di puncak gunung. Mata tuanya memantulkan sinar dingin. “Setiap palu memukul besi untuk mengusir kotoran,” gumamnya. “Rasa sakit adalah palu bagi jiwamu.”

Liang Chen berlari hingga kakinya terasa seperti batu. Pandangannya mulai kabur. Tapi setiap kali pikirannya berteriak untuk berhenti, bayangan wajah ayah dan ibunya muncul di antara kabut. Dalam hatinya, suara mereka bergema lembut namun tegas. Ia tidak lagi mendengar bisikan Asura, hanya gema masa lalu yang menjadi penuntun.

Ketika matahari mencapai puncak langit, langkah Liang Chen terhenti. Ia jatuh berlutut, batu besar terguling ke tanah. Tubuhnya gemetar hebat, kulitnya memar di banyak tempat. Namun di bawah kulit itu, otot-ototnya berdenyut seirama dengan aliran energi merah yang mulai stabil.

Guru Kui Xing mendekat. Ia menatap Liang Chen yang masih berusaha bangkit. “Tubuhmu mulai tahu arti tahan. Tapi tahan bukan cukup,” katanya, lalu mengangkat tongkatnya perlahan. “Sekarang saatnya tahu arti menyalurkan.”

Tongkat itu terangkat tinggi, lalu berhenti di udara. Liang Chen menatapnya, napas terengah, matanya berkilat oleh campuran amarah dan tekad.

Tongkat di tangan Guru Kui Xing turun perlahan dan mendarat tepat di bahu Liang Chen. Tidak menghantam untuk melukai, tetapi cukup keras untuk membuat seluruh tubuhnya menegang. Rasa sakit menjalar cepat, membangunkan Energi Pembantaian yang tertidur di dalam dada. Liang Chen menahan napas, memejamkan mata, dan merasakan aliran panas itu bergerak liar seperti ular yang mencari jalan keluar.

“Rasakan,” suara Guru Kui Xing rendah, hampir seperti bisikan. “Energi itu hanya patuh pada amarah. Tapi amarah yang tak diarahkan akan menghancurkanmu. Berikan ia jalur.”

Liang Chen menarik napas panjang, mencoba mengarahkan energi itu ke telapak tangan. Tetapi begitu ia fokus, panas itu melonjak liar, menyerang jantung dan paru-parunya. Tubuhnya tersentak. Ia batuk keras dan darah merah gelap keluar dari mulutnya.

Guru Kui Xing mengangguk pelan. “Bagus. Itu tanda energi mencoba melawanmu. Ulangi.”

Tongkatnya menghantam punggung Liang Chen sekali lagi. Suara tulang berderak lembut. Liang Chen menggertakkan gigi, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakitnya kini menjadi bara, memicu ledakan energi merah di dalam tubuh. Dalam pikirannya, ia melihat bayangan api yang terbentuk dari darahnya sendiri, berputar di dada, menolak dikendalikan.

“Kendalikan, jangan lawan,” Guru Kui Xing berkata datar. “Kau bukan tembok. Kau harus menjadi sungai. Biarkan mengalir.”

Liang Chen menyalurkan napasnya perlahan, mengingat cara ibunya mengajarinya bernapas saat kecil, di tepi sungai dekat Desa Hijau. Ingatan itu membawa sedikit ketenangan. Ia membayangkan darahnya sebagai air yang mengikuti arus. Perlahan, Energi Pembantaian yang liar itu menurun, mengikuti aliran napasnya, meresap ke otot dan tulangnya.

Namun setiap kali ia mulai berhasil, Guru Kui Xing kembali memukulnya. Tongkatnya kali ini mengenai sisi pinggang. Liang Chen terhuyung, tapi tidak jatuh. Api merah menyala lebih terang, membentuk pola samar di kulitnya seperti urat bercahaya.

“Tubuhmu harus belajar di bawah tekanan,” ujar Guru Kui Xing. “Tidak ada ketenangan di medan perang. Hanya rasa sakit yang bisa mengajarkan kendali sejati.”

Liang Chen menatap tanah, keringat bercampur darah menetes dari dagunya. Ia menahan nafas, lalu berteriak pelan untuk melepaskan sebagian tekanan di dadanya. Suaranya serak, bukan dari amarah semata, tapi dari keteguhan yang menolak runtuh.

Energi merah mulai bergerak lagi. Kali ini Liang Chen tidak melawannya. Ia memutar pergelangan tangannya, dan dari pori-pori di lengannya keluar semburat merah samar seperti kabut. Panas yang tadinya menyiksa mulai terasa menyatu dengan tubuhnya. Ia bisa merasakan tulang-tulangnya bergetar seirama dengan denyut darahnya sendiri.

Guru Kui Xing menatap dari dekat. “Itu. Biarkan tubuhmu menjadi wadah. Setiap rasa sakit adalah palu, setiap amarah adalah api. Biarkan keduanya bekerja.”

Beberapa jam berlalu dalam diam. Hanya suara langkah kecil dan dengusan berat terdengar di puncak gunung. Liang Chen terus mengulang latihan itu, membiarkan energi mengalir dari dada ke lengan, dari lengan ke kaki, dari kaki kembali ke jantung. Setiap putaran membuat tubuhnya sedikit lebih kuat, sedikit lebih tahan.

Saat matahari mulai condong ke barat, Liang Chen berlutut dengan napas terengah, tubuhnya gemetar, namun di balik rasa sakit itu ada sesuatu yang lain. Ia merasakan kekuatan yang stabil di dalam ototnya, seolah-olah seluruh tubuhnya kini terbuat dari baja panas yang sedang ditempa.

Guru Kui Xing meletakkan tongkatnya di tanah. “Cukup untuk hari ini,” katanya. “Tubuhmu telah belajar menyalurkan. Besok kita lihat apakah kau bisa memadatkan energi itu menjadi kekuatan sejati.”

Liang Chen tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap tangannya yang bergetar halus. Api merah yang tadinya menyala liar kini padam perlahan, tersisa hanya sisa panas yang terasa hidup di bawah kulit. Ia menatapnya dengan campuran rasa kagum dan takut.

Guru Kui Xing menatap muridnya dengan mata yang dalam, lalu berbalik meninggalkan tempat latihan, meninggalkan Liang Chen sendirian di bawah cahaya senja.

Udara malam turun perlahan di puncak gunung. Liang Chen masih duduk di tempatnya, menatap langit yang memudar menjadi hitam kelabu. Angin dingin berembus, menyapu sisa uap panas dari tubuhnya yang masih merah samar. Ia baru saja selesai latihan, tapi di dalam dirinya, Energi Pembantaian masih berputar tanpa henti, seperti bara yang enggan padam.

Suara langkah Guru Kui Xing terdengar di belakangnya. Langkah itu ringan, tapi membawa tekanan yang membuat udara di sekitar ikut menegang. Guru Kui Xing berdiri di belakang muridnya, memandangi punggung Liang Chen yang mulai mengeras seperti logam. “Kau telah belajar menyalurkan energi. Sekarang, waktunya membuat tubuhmu mengenal rasa besi.”

Liang Chen menoleh sedikit. Matanya redup tapi berkilat tekad. “Aku siap.”

Guru Kui Xing melemparkan sebongkah batu hitam yang mengeluarkan hawa panas aneh. “Ini Batu Bara Jiwa. Letakkan di pangkuanmu. Setiap Batu Bara Jiwa mengandung energi murni dari medan perang kuno. Tubuhmu akan menolaknya, tapi itu yang kubutuhkan.”

Liang Chen mematuhi. Batu itu terasa berat dan panas, seolah menyimpan napas seribu jiwa yang mati terbakar. Saat ia meletakkannya di pangkuan, Energi Pembantaian di tubuhnya langsung bereaksi, melonjak seperti gelombang. Ia menggigit bibir, menahan agar tidak meledak.

Guru Kui Xing berlutut di depannya. “Kau tahu apa yang membuat baja kuat?” katanya perlahan. “Ia bukan hanya ditempa oleh api, tapi juga oleh dingin yang mematikan. Besi menjadi baja karena ia belajar menanggung dua kutub. Panas yang melunakkan dan dingin yang mengeraskan.”

Liang Chen menarik napas dalam, mencoba memahami kata-kata itu. Panas dari Batu Bara Jiwa terus meningkat. Ia merasa seolah darahnya mendidih, dan suara samar seperti jeritan muncul di telinganya. Suara itu bukan dari luar, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri, gema dari Energi Pembantaian yang mencoba melarikan diri.

“Aku tidak akan kalah,” gumamnya. Ia mulai menyalurkan energi itu lagi, dari dada ke lengan, lalu ke seluruh tubuh. Kali ini, ia tidak menahan rasa sakitnya. Ia membiarkan panas itu mengalir bebas, membakar setiap otot, memperkuat setiap serat tubuh.

Dari kejauhan, Guru Kui Xing memperhatikan tanpa kata. Aura di sekitar Liang Chen berubah, seperti udara yang bergetar oleh panas logam. Dalam kegelapan, kulit Liang Chen memantulkan cahaya samar kemerahan. Urat-urat di tubuhnya tampak seperti garis baja cair yang berdenyut, menandakan energi itu mulai menyatu.

Liang Chen menunduk, menatap tangannya. Ia merasakan tulangnya memanas, lalu mendingin, berulang kali. Setiap kali rasa sakitnya mencapai puncak, ia mengingat wajah ayahnya yang tersenyum, ibunya yang menenun di bawah sinar matahari sore. Gambaran itu menenangkan amarahnya, menyeimbangkan api dengan keteguhan.

Panas di tubuhnya akhirnya menurun. Batu Bara Jiwa di pangkuannya mulai retak, mengeluarkan suara renyah seperti batu pecah. Energi di dalamnya terserap sepenuhnya. Liang Chen membuka matanya, menghembuskan napas panjang. Uap putih keluar dari mulutnya, bukan karena dingin, melainkan karena tubuhnya telah mengubah panas menjadi kekuatan.

Guru Kui Xing mendekat, menyentuh bahunya. Sentuhan ringan itu cukup untuk memeriksa aliran energi di tubuh muridnya. “Bagus. Tubuhmu mulai mengenal kekuatan Pondasi Besi. Tapi kau belum selesai.”

Liang Chen menatap gurunya. “Apa lagi yang harus kulakukan?”

“Sekarang kau harus menyalurkan kekuatan itu ke Kesunyian Malam.”

Guru Kui Xing menancapkan pedang hitam itu di tanah di depan Liang Chen. Bilahnya bergetar pelan, memancarkan aura merah samar yang tampak seperti nafas hidup. Liang Chen mengulurkan tangan dan menggenggam gagangnya. Dingin yang tajam langsung menjalar ke dalam tulangnya, menetralkan panas di dalam tubuh. Dua kekuatan bertabrakan di dalam dirinya, menciptakan keseimbangan yang rapuh namun indah.

“Kesunyian Malam bukan pedang yang menuruti niat pembunuhan,” kata Guru Kui Xing. “Ia menuruti kehendak. Kau harus menyalurkan energimu dengan kesadaran penuh, bukan dengan emosi. Jika kau melakukannya dengan benar, pedang ini akan menjadi perpanjangan dari tubuhmu.”

Liang Chen mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mulai menyalurkan energi dari dada ke lengan, lalu ke pedang. Suara mendesis halus terdengar saat Energi Pembantaian bertemu logam pedang. Bilah Kesunyian Malam mulai memancarkan cahaya merah lembut, seperti bara yang menyala di dalam kegelapan.

Namun setiap kali ia kehilangan fokus, pedang itu bergetar keras, nyaris meledak. Liang Chen berulang kali hampir kehilangan kendali. Setiap kegagalan membuat tangan dan lengannya terbakar. Kulitnya melepuh, lalu sembuh kembali karena Energi Pembantaian yang melindunginya.

Hari berganti malam, malam berganti pagi. Liang Chen terus berlatih di bawah pengawasan gurunya. Tak ada kata, hanya napas, rasa sakit, dan suara logam yang terus bergetar. Sampai akhirnya, pada suatu pagi, saat matahari muncul di balik kabut, Liang Chen mengayunkan Kesunyian Malam dengan tenang.

Pedang itu tidak bergetar. Tidak ada amarah liar, tidak ada ledakan energi. Hanya cahaya merah yang mengalir halus di sepanjang bilahnya, seolah-olah pedang itu dan Liang Chen telah menjadi satu kesatuan.

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya. “Selesai. Tubuhmu telah mencapai Pondasi Besi sejati. Kau kini baja yang ditempa dari rasa sakit dan keteguhan.”

Liang Chen menatap pedangnya, napasnya perlahan stabil. Di balik rasa letih yang luar biasa, ada rasa damai yang asing. Ia tahu latihan ini baru permulaan, tapi untuk pertama kalinya sejak pembantaian itu, ia merasa seolah takdirnya tidak lagi berlari menjauh.

Guru Kui Xing menatap ke arah timur, ke lembah jauh di bawah gunung. “Kau sudah menapaki awal Jalan Asura. Di bawah sana, dunia menunggu. Tapi sebelum kau turun, ada satu hal lagi yang harus kau pelajari. Ilmu Pedang Asura.”

Liang Chen memegang pedangnya erat. Di matanya, tidak ada lagi bayangan ragu. Hanya api yang tenang, api yang menolak padam.

“Baik, Guru,” katanya pelan. “Aku siap.”

Angin berhembus dari lembah, membawa aroma tanah dan darah lama. Cahaya matahari menyinari bilah hitam Kesunyian Malam, membuat warnanya berkilau seperti permukaan besi panas yang baru ditempa. Liang Chen berdiri tegak di tepi jurang, pedangnya di sisi tubuh, dan di balik matanya yang tenang, amarah yang pernah liar kini telah berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan.

Guru Kui Xing berjalan melewati muridnya dan menepuk bahunya sekali. “Mulai hari ini, kau bukan hanya anak yang selamat dari pembantaian. Kau adalah besi yang telah ditempa. Dan suatu hari nanti, dunia akan melihat apakah besi ini akan menjadi pedang pelindung, atau bilah penghancur.”

Liang Chen menunduk sedikit, lalu menatap ke bawah tebing. Dalam hatinya, ia berbisik pada masa lalunya yang masih bergetar samar di balik kesadaran. Ia tidak akan melupakan, tapi ia juga tidak akan dikendalikan oleh luka itu lagi.

Di belakangnya, suara Guru Kui Xing bergema pelan. “Sekarang, bersiaplah. Pelajaran pedang akan dimulai saat matahari berikutnya terbit.”

Matahari perlahan naik, memantulkan sinarnya di pedang hitam Liang Chen. Dalam cahaya itu, segala luka, rasa sakit, dan amarah yang ia pikul berubah menjadi satu hal yang baru. Sebuah kekuatan yang tidak lagi liar, melainkan terkendali.

Di puncak gunung yang sunyi itu, Liang Chen berdiri sendirian, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa hampa. Ia telah menjadi baja yang siap ditempa kembali, kali ini dengan tujuan yang jelas.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!