“Anak? Aku tak pernah berharap memiliki seorang anak denganmu!”
Dunia seolah berhenti kala kalimat tajam itu keluar dari mulut suaminya.
.
.
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Panci kecil mendesis pelan di atas kompor, wangi masakan yang sudah siap saji menyeruak di ruangan. Suara sendok dan piring beradu kala Kayuna tengah mencucinya di wastafel.
Dibantu oleh Mbok Surti, keduanya sibuk menyiapkan sarapan. Sementara Vena dan putri kesayangannya duduk dengan raut wajah yang masam di meja makan.
“Perempuan gila itu … sudah membuatku malu di depan umum kemarin,” dengus Vena dengan tatapan sengitnya.
“Ada apa emangnya, Ma?” tanya Safira penasaran.
Vena menghela napas berat, sorot matanya masih menajam — menatap punggung menantunya. “Kayuna bikin Mama darah tinggi, sampai Mama nggak bisa kontrol emosi di rumah sakit kemarin. Jadi tontonan banyak orang, malu banget tau nggak!”
Kemarin, Vena diminta Niko untuk menemani Kayuna periksa ulang kesehatannya. Sialnya, dia beradu mulut dengan menantunya hingga menimbulkan keributan di rumah sakit.
“Mama sama Kayuna bertengkar di rumah sakit?”
“Mama cuma ngasih saran karena dia dinyatakan hamil. Terus kandungannya lemah, eh tuh mulut perempuan malah nyolot ke Mama, ya Mama emosi dong,” balas Vena menceritakan fakta yang jelas-jelas direkayasa.
Kenyataannya, dirinyalah yang menyulut emosi menantunya. Mencibir dan menyalahkan Kayuna atas lemahnya janin yang dikandungnya, padahal itu semua ulah anak laki-lakinya yang terus menyiksa dan melukai Kayuna.
Tak lama, langkah kaki pelan terdengar — mendekati dua wanita yang tengah berbincang panas. “Siapa perempuan yang Mama maksud?”
Vena dan Safira sontak menoleh bersamaan.
“Niko?” ucap Vena pelan. “Kamu sudah pulang dari dinas?” tanyanya penuh perhatian pada anak laki-lakinya itu.
Sudah dua hari Niko pergi perjalanan dinas ke luar kota, dan baru kembali subuh tadi. Hingga ibu juga adiknya pun tak mengetahui kepulangannya.
Niko mengangguk sambil merebahkan bokongnya di kursi. Tangannya meraih gelas teh hangat yang sudah disiapkan oleh Kayuna. “Siapa perempuan yang berani nyolot ke Mama?”
“Siapa lagi kalau bukan istrimu itu!” cetus Safira sengaja meninggikan suaranya.
Niko menghentikan tangannya, lalu mendongak menatap adik perempuannya. “Kayuna?” tanyanya seolah tak percaya.
Safira mengangguk. “Emangnya Kakak punya berapa istri?”
Niko menoleh sekilas, melihat bahu Kayuna yang tampak tenang menyelesaikan tugasnya di dapur. Seolah acuh pada suara yang terus menggunjing dirinya.
“Dia memang wanita tegas, tapi aku nggak yakin dia berani bentak Mama,” ujar Niko sambil menyeruput pelan tehnya.
“Maksud kamu Mama bohong?! Niko … kamu nggak percaya sama Mama?” balas Vena menekankan suaranya.
Niko terdiam sejenak, matanya menyipit mengingat kejadian-kejadian belakangan ini. “Kayuna … memang cukup berani akhir-akhir ini, dia bahkan menendang perkututku yang berharga,” gumamnya sambil menunduk — menatap perkututnya.
“Apa katamu?” tanya Vena.
Niko segera menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa, Ma.” jawabnya. “Apa kata dokternya? Dia baik-baik saja?”
“Itu, Nak. Kata dokter … wanita kampungan itu hamil,” jelas Vena dengan raut yang sama sekali tak senang.
“Hamil?!” Niko mengangkat kedua alisnya.
Vena mengangguk. “Iya. Mama juga kaget, Mama nggak sudi punya cucu dari rahim Jalang itu.”
“Kita nggak perlu tes DNA?” tanya Safira tiba-tiba.
“Untuk apa?” sahut Niko.
“Kan belum tentu bayi itu anaknya Kak Niko.” Safira ikut menjawab dengan ucapan miris.
Kayuna berdiri memegang semangkuk bubur panas di belakang Niko. “Jaga ucapanmu, Safira!” hardiknya dengan wajah yang penuh amarah.
Safira menelan ludah, namun tatapan terus menantang pada Kakak iparnya. “Apa ucapanku salah?!”
“Logika aja. Kakakku nggak pernah mencintaimu, tapi kau tiba-tiba hamil? Nggak masuk akal, kan?!” sinisnya.
“Apa kami perlu melapor saat tengah bercinta? Apa kalian tahu yang terjadi selama dua tahun lebih kami menikah? Aku dan Kakakmu sudah —”
“Kayuna!” Niko memotong cepat ucapan istrinya. “Apa perlu dijelaskan hal seperti itu?”
Kayuna meletakkan mangkuknya dengan keras di depan Niko. “Mulutmu yang hanya terus diam, itu sebabnya banyak fitnah yang menyerangku, Mas!”
Niko mengangkat wajahnya, menatap tajam istrinya. “Nikmati saja, lagipula aku memang nggak pernah mengharapkan seorang bayi dari rahimmu, Kayuna.”
Vena dan Safira sontak tersenyum puas kala mendengar ucapan Niko. “Rasain!” celetuk keduanya.
“Oh ya?” Kayuna menyeringai, meski bibirnya tampak bergetar. “Kalau begitu, tak masalah jika aku menggugurkan bayi ini, ‘kan?” cetusnya tanpa berpikir panjang.
Brak! Niko menggebrak meja dengan kuat.
“Kau gila?!” bentaknya pada Kayuna yang berdiri dengan tatapan nyalang di hadapannya.
“Dasar perempuan gila!” timpal Vena dengan suara lantangnya.
“Bukankah ini yang kalian mau?” tanya Kayuna seraya menatap satu per satu wajah yang ada di meja makan.
“Kau, wanita —”
“Bisakah kalian semua diam?!” hardik Niko memotong kalimat ibunya. “Kalian … merusak pagiku saja.”
Kayuna mengepalkan tangan, pelupuk matanya sudah basah, batinnya jelas hancur setelah mendengar kalimat menusuk dari mulut suaminya. “Dengar kalian semua … aku selama ini diam bukan karena bodoh, tapi hanya malas meladeni manusia-manusia jahanam seperti kalian.”
“Tapi sekali saja aku dengar kalian menghina anakku yang bahkan belum dilahirkan. Aku … tidak akan tinggal diam. Terutama kau Safira! Jaga bicaramu!” ucap Kayuna tajam.
“Dan kau, Mas Niko … aku akan membuat perhitungan denganmu.” Kayuna menyunggingkan bibirnya sebelum berbalik pergi dari ruangan itu.
Niko berdiri dengan amarah tertahan. “Aishhh!” dengusnya kesal.
Kehamilan Kayuna sama sekali tak pernah ada dalam rencananya. Ia hanya menjadikan istrinya budak pemuas hasrat, sama sekali tak terpikirkan memiliki seorang anak.
Pria arogan itu meraup kasar wajahnya. “Sial!”
***
Hujan deras di luar membuat suasana apartemen terasa dingin. Niko berdiri di depan jendela kaca, masih mengenakan kemeja kerjanya yang basah di bagian bahu. Tak lama, Airin keluar membawa handuk.
“Maaf ya, Pak. Apartemen saya agak sempit,” ujarnya pelan sambil melangkah mendekat.
Niko menoleh singkat. “Nggak masalah.”
Airin tersenyum samar, mendekat tanpa diminta. Tangannya menyentuh lembut bahu Niko — mulai mengeringkan bagian belakang leher pria itu, jemarinya terus bergerak nakal.
“Saya bantu keringkan ya, Pak,” Nada suaranya terdengar pelan, seperti godaan yang sulit diabaikan.
Niko menegang, aroma parfume Airin tercium lembut — nan memabukkan. Suara gadis yang terus berbisik di dekat telinganya membuatnya semakin tercekat.
Niko dan Airin dalam perjalanan bisnis sebelumnya, namun klien tiba-tiba membatalkan pertemuan. Cuaca mendadak hujan, dan entah apa yang terjadi, keduanya berakhir di apartemen Airin.
Niko yang masih diliputi kekalutan, tak menerima fakta kehamilan Kayuna. Kini merasa terpancing — terhibur oleh sentuhan lembut Airin.
“Basah semua, Bapak bisa masuk angin kalau seperti ini,” bisik Airin sambil terus menyentuh Niko.
Niko menelan ludah. “Airin … saya bisa sendiri.”
Airin tersenyum tipis. “Saya bantu saja, Pak. Sedikit lagi,” sahutnya dengan suara yang dibuat-buat sengaja menggoda.
Niko kembali terdiam. Tubuhnya kian menegang kala Airin terus meraba leher hingga telinganya, sudah lama Niko tak menikmati sentuhan wanita. Sejak Kayuna dirawat lalu kini dinyatakan hamil, laki-laki itu seolah tak memiliki lagi gairah terhadap istrinya. Karena menurutnya, Kayuna yang lemah tak lagi bisa memuaskan hasratnya.
“Pak Niko … saya boleh katakan sesuatu?” Airin berbisik pelan di telinga Niko.
Niko sontak merinding, bisikan Airin nyaris terdengar seperti desahan. “Apa?” balasnya singkat, seraya berusaha menahan diri.
“Pak … saya tahu ini sedikit lancang, tapi saya sudah tidak bisa lagi menahan,” ucap Airin tanpa basa-basi.
“Apa maksudmu?”
“Saya … sebenarnya menaruh rasa sejak lama dengan Pak Niko. Bisa dibilang, jatuh cinta pada pandangan pertama,” kata Airin dengan lembut.
Niko langsung berbalik badan, kini berhadapan dengan Airin. “Rin … saya —”
“Ssttt.” Airin langsung membungkam, meletakkan jari telunjuknya di bibir Niko. “Saya tahu, Anda suami sahabat saya. Tapi … saya sudah tak sanggup lagi menahannya, Pak.”
Niko kembali menelan ludah. Tatapan nakal Airin membuatnya tergugah — bahkan perkututnya pun ikut menegang.
Bak kucing yang diberi ikan asin. Niko mulai memandang Airin dengan minat yang dalam, gadis itu berhasil memancing suami sahabatnya dan terus melanjutkan aksinya.
Dengan tatapan yang mampu menghipnotis laki-laki di hadapannya. Airin meraih dasi Niko — menariknya pelan mendekat ke ranjang kamarnya.
Niko meladeni rayuan Airin, dia mengikuti pergerakkan gadis itu dan mulai tera_angsang kala Airin menyentuh pensil inulnya.
“Ahhh ….” desah Niko pelan.
Airin terus menyentuh Niko, jari-jarinya lihai meraba sekujur tubuh pria di hadapannya. Tak kuasa menahan hasratnya, Niko dengan cepat memegang pinggang Airin — mengangkatnya dan merebahkan di atas meja dekat ranjang.
“Kau … jangan menyesal setelah hari ini,” bisik Niko pelan.
Airin terpojok di dinding, namun segera menganggukan kepala, tatapannya masih terus menggoda.
Tak menunggu lagi, Niko langsung melepas kemejanya dan menerkam Airin dengan liar.
Seperti biasa, Niko dengan beringas mengikat Airin dan menikmati rang_sangan dengan penyiksaan. Namun, Airin sama sekali tak merasa takut, ia justru ikut menikmati momen tersebut.
Malam itu berlangsung dengan suasana memanas, seorang suami dan sahabat tega mengkhianati wanita malang yang kini hidupnya sudah cukup berantakan.
*
*
Bersambung.