Pesantren Al-Insyirah, pesantren yang terkenal dengan satu hal, hal yang cukup unik. dimana para santriwati yang sudah lulus biasanya langsung akan dilamar oleh Putra-putra tokoh agama yang terkemuka, selain itu ada juga anak dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar, serta pembesar agama lainnya.
Ya, dia adalah Adzadina Maisyaroh teman-temannya sudah dilamar semua, hanya tersisa dirinya lah yang belum mendapatkan pinangan. gadis itu yatim piatu, sudah beberapa kali gagal mendapatkan pinangan hanya karena ia seorang yatim piatu. sampai akhirnya ia di kejutkan dengan lamaran dari kyai tempatnya belajar, melamar nya untuk sang putra yang masih kuliah sambil bekerja di Madinah.
tetapi kabarnya putra sang kyai itu berwajah buruk, pernah mengalami kecelakaan parah hingga membuat wajahnya cacat. namun Adza tidak mempermasalahkan yang penting ada tempat nya bernaung, dan selama setengah tahun mereka tidak pernah dipertemukan setelah menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
INTAN
"Ini tidak salah? Makannya di sini?" tanya Intan yang sedang melepaskan seatbelt dan menatap restoran mewah yang ada di hadapannya.
"Emm," balas Adza seraya mengeluarkan ponselnya.
"Sebentar ya, Pak? Saya mau menghubungi seseorang dulu," ujar adza pada tukang parkir yang ada disana.
Pria itu mengangguk dan berjalan agak menjauh mengatur mobil lain yang baru datang. Sementara intan, dia sudah tahu siapa yang dihubungi oleh adza makanya dia hanya diam dan menunggu saja.
"Assalamualaikum, kenapa, Za?"
Suara lembut itu terdengar samar membuat intan dengan iseng bergerak mendekat untuk mendengar apa yang dikatakan oleh sosok yang ada di sana.
"Waalaikumussalam, Gus ... Emm, maaf tadi aku lupa izin. Hari ini aku ada di luar pesantren, aku keluar untuk melihat apartemen yang akan kutempati. Gus tidak marah aku keluar tanpa izin, 'kan?" tanyanya pelan membuat Azka tersenyum di luar area kelas.
Karena dia sedang istirahat, ini sudah masuk jam istirahat pelajaran makanya dia bisa mengangkat panggilan dari istrinya.
"Lupa, 'kan?"tanyanya membuat adza meringis.
"Hu'um, Gus marah?"
"Tidak, Za ... 'kan kamu lupa, tidak apa-apa. Lagipula kalau kamu hati-hati juga tidak akan masalah. Sekarang dimana?" tanya Azka lagi seraya menyandar di kursi yang sedang dia duduki.
"Di restoran, mau makan siang dengan intan"
"intan siapa?"tanya Azka lembut membuat adza melirik intan dan tersenyum kecil.
Sementara itu, intan sudah mulai curiga dengan apa yang akan dikatakan adza.
"Sahabatku, dia adalah calon istri Ustadz Farel. Gus ingat Ustadz Farel?"
Hening sesaat, sampai akhirnya Azka berdehem menjawabnya. "Sudah lama aku tidak menghubungi Ustadz Farel. Kalau begitu, aku akan menghubunginya nanti. Hati-hati kalau lagi ada di luar, ya? Kalau sudah sampai nanti di rumah kabari aku lagi, gunakan saja uang kuberikan untuk membayar makanannya, hmm?"ujar Azka lembut membuat adza tersenyum walau tahu suaminya ini tidak akan melihat senyumannya.
"Iya, kalau begitu aku tutup dulu, Gus."
"Emm, ya."
Setelah mengucapkan salam dan Azka menjawabnya, adza tersenyum menatap intan dan mulai mengajaknya turun.
"Gus Azka tadi?"
Adza menatap intan lalu tersenyum dan mengangguk.
"Ya, aku sudah izin dengannya dan syukurlah Gus tidak marah. Padahal bisa dikatakan ini adalah hal penting," ujarnya membuat intan tersenyum kecil.
"Pasti karena Gus jauh, kalau tidak kamu sudah di susul."
Adza terkekeh lalu masuk ke dalam restoran yang sudah sejak tadi mereka datangi. Dia memilih tempat untuk duduk mereka, tak lama kemudian pelayan datang dan mengantarkan buku menu, membuat intan memilihnya dengan tatapan agak bingung.
"Za..." Adza menoleh mendengar bisikannya.
"Kenapa, ntan?"
"Tidak ada harganya, ya? Aku bingung mau pilih yang mana."
Intan meringis membuat Adza tersenyum kecil.
"Sejak dulu sampai sekarang aku bahkan jarang datang ke tempat yang ada harganya," bisik Adza pula membuat intan membuka mulutnya lebih lebar.
"Jadi bagaimana kalau aku pesan yang mahal?" tanyanya tak enak hati.
"Aku 'kan tidak tahu harganya."
Adza tersenyum. "Tidak apa-apa, pesan saja apa yang kamu mau, ntan. 'Kan sudah kukatakan, anggap saja ini hiburan karena kita baru saja ujian," ujarnya santai lalu kembali menatap buku menu.
"Pesan saja, Mbak saya mau pesan ..."
Intan meringis sendiri membaca nama-nama makanan yang adza sebutkan pada pelayan. Dia sudah tahu kalau adza adalah anak orang kaya, eh, ralat, dia adalah seorang gadis yang kaya karena warisan orang tua sudah menjadi miliknya. Dia sudah tahu kalau uang ratusan ribu bagi Adza tidak ada apa-apanya makanya dia bisa santai saja. Tetapi sekarang yang menjadi masalah, intan sendiri yang merasa tidak enak.
"Hanya itu saja?" tanya Adza membuat intan mengangguk.
"Pesan lagi saja, itu sedikit, ntan-"
"Tidak usah, Za. Sudah banyak kok itu, kamu tahu aku, 'kan? Aku tidak makan banyak."
Adza menghela napas dan mengangguk pelan. Setelah pelayan meninggalkan mereka untuk menyiapkan pesanan yang mereka mau, intan mendekati adza dengan kepala yang dia condongkan.
"Aku penasaran berapa banyak kamu minta uang mahar pada Gus Azka, Za," ujar intan membuat adza diam sesaat.
"Pertama kalinya, aku meminta lima juta tapi Gus menambahi jadi dua puluh juta. Aku sudah mau protes, tapi Gus sempat bilang kalau itu belum seberapa. Dia sudah tahu kalau aku adalah calon pemimpin perusahaan, makanya dia tidak mau aku mengurangi lagi. Bahkan dia mau menambahinya tapi aku menolak. Aku tidak mau memperberatnya, ntan, kamu tahu sendiri seberapa besar uang yang sudah dihabiskan Gus untukku dan keluarganya datang kesana." adza berkata membuat intan menelan ludahnya sendiri.
"Dari mahar saja kamu sudah sangat tinggi dariku, Za. Aku hanya minta 2 juta," gumamnya membuat Adza tersenyum dan menggeleng.
"Itu bukan jadi ukuran yang penting, ntan. Yang penting adalah kita tidak kekurangan saat nanti sudah menikah. Aku saja agak tidak percaya diri saat Gus menikahiku begini. Apalagi maharnya besar," ujar Adza membuat intan mengangguk-angguk.
"Ditambah lagi kami berpisah. Aku tetap merasa agak takut sih," tambahnya lagi membuat intan diam dan menatap wajah Adza.
"Gus Azka selembut itu, kamu tidak pernah memberikan apapun padanya, Za?" tanyanya usil membuat Adza tersenyum kecil.
"Ada."
"Apa? Sudah malam pertama, ya?" tanya intan antusias membuat Adza cemberut.
"Belum, jangan bahas itu, ntan. Aku saja belum pernah memikirkannya," ujar Adza membuat intan terkekeh.
"Sama sih, aku juga belum memikirkan itu kalau menikah nanti." intan menghela napas pelan.
"Sudahlah, kita pikirkan nanti."
Adza tersenyum kecil dan menatap wajahnya dengan tatapan santai. Dia tak mau memberitahu intan kalau Azka dan dirinya sudah pernah berciuman satu sama lain. Memikirkan itu saja Adza malu, makanya dia tak mengatakannya.
Makanan datang tak lama kemudian. Keduanya terlihat sangat santai memakan makanan mereka.
Intan yang baru pertama kali makan di restoran mewah begini jelas saja merasa senang dan antusias, dia memakan semua makanan yang dia pesan tanpa ada banyak komentar membuat Adza suka dan dia selalu senang dengan cara intan menghormatinya.
"Kapan-kapan kalau lulus, kamu mau tidak menginap di rumahku, Za? Sebelum aku menikah, mau tidak?" tanyanya membuat adza menatapnya.
"Boleh, menemani kamu tidur sebelum ada yang menemani sungguhan?" balas Adza menggoda membuat intan cemberut.
"Aku tidak sabar lho, ntan, melihat kamu menikah. Nanti aku akan ada disana," gumamnya lagi membuat intan menghela napas pelan.
"Doakan saja deh aku kuat, tidak ada masalah apapun sebelum menikah. Menikahi Ustadz itu kadang banyak ujiannya, makanya aku tidak begitu banyak berharap pada hubungan ini. Nanti saja deh di bahas lagi," balasnya tak bersemangat.
Namun, baru saja Adza mau bicara, seseorang sudah mendekati mereka dan menarik kursi.
"Apa yang mau dibahas nanti?"
itu sih menurut ku ga tau deh kalok menurut anak pondok