NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:413
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 - Michikko - Bagian Kesembilan

Thalia tampak kesakitan sekali, matanya terbelalak lebar seakan biji matanya hendak keluar, jari jarinya memegangi tenggorokan dan sebuah pemandangan mengerikan yang sama sekali tidak pernah kulihat terjadi. Saat wanita itu berteriak kesakitan, dari bibir atas dan bibir bawah keluar jari-jemari berwarna putih pucat, jari jemari yang hanya tulang dibungkus kulit. “Hoekh !” Thalia memuntahkan darah merah kehitaman, kini jari jemari itu bergerak membuka mulut Thalia semakin lama semakin lebar. Sesosok kepala dibalut dengan darah merah kehitaman keluar diantara jari jemari tersebut. Thalia ambruk dan makhluk aneh keluar melalui mulutnya.

Makhluk itu cukup mengerikan memiliki kepala yang besar dan berambut jarang. Sepasang matanya kecil berwarna hijau, tak ada tulang hidung dan tulang bibir. Lehernya kurus agak panjang sementara badannya lebih mirip seperti badan anak-anak tapi jangkung. Tak ada daging hanya tulang dibungkus dengan kulit berwarna coklat kehitaman. Ia membuka mulutnya dan memperdengarkan suara serak dan parau mengharuskan kami menutup kedua belah telinganya.

“Astaga, makhluk apakah itu ?” seruku tertahan.

“Dia adalah makhluk yang oleh penduduk Jepang disebut HARIHARA. Pembawa malapetaka bagi dunia,” sahut Miwako, “Gambaran dari berbagai macam perasaan seperti : iri hati, ambisius, egois, dengki, cemburu dan sombong, ibu sering menghadapi makhluk-makhluk seperti ini sekalipun wujudnya berbeda-beda. Aku harus menghadapinya sementara kalian, temukan cara agar Missukko bisa kalian bawa pergi,” katanya sambil menghadang makhluk itu saat menyerang ke arah Michikko.

“Ini bukan daerahmu ! Pergi sekarang atau aku akan menghancurkanmu,” seru Miwako.

“GGRRAAHHH !!!’ terdengar raungan keras yang memekakkan telinga. Gadis Jepang itu tidak banyak bicara lagi, ia menyambut serangan ganas makhluk itu dengan tenang. Pertahanan yang kokoh dari Miwako, sama sekali tidak bisa ditembus.

Semakin kuat makhluk itu menyerang maka semakin kuat pula pertahanan Miwako, tapi, itu cukup menguras tenaga yang dimiliki olehnya. Hingga akhirnya makhluk itu berhasil menjebol pertahanan Miwako. Kuku-kukunya yang tajam berhasil menyambar pundak kanan Miwako, darah segar muncrat memercik ke wajah makhluk itu. Makhluk itu tampak senang sekali, selain berhasil melukai Miwako, juga percikan darah gadis itu membuatnya makin beringas.

Miwako terus mencoba bertahan sekalipun terluka, tapi, itu justru membuat lukanya makin parah. Nyawa Miwako terancam.

Cakar-cakar makhluk itu berhasil membuat luka kedua, ketiga keempat dan seterusnya hingga akhirnya Miwako jatuh terduduk lemas. Suatu saat Makhluk itu melayangkan cakarnya ke dada Miwako, gadis itu tak berdaya, ia pasrah dengan maut yang bakal menjemputnya. Kini cakar-cakar tajam itu hanya tinggal 25 senti dari dada Miwako, makhluk itu menyeringai ia sudah merasa mampu menaklukkan musuhnya. Tapi, mendadak ...

Makhluk itu meraung kesakitan. Tubuhnya terdorong ke belakang hingga membuatnya menjauhi Miwako yang tergolek tak berdaya dengan tubuh penuh luka. Menyusul kemudian seorang wanita berdiri diantara mereka, Michikko. Wanita itu berdiri tegak, dengan sebuah boneka di pelukannya. Rambut hitam panjang menutupi sebagian wajah dan sesekali kepalanya menyentak ke kiri. Michikko telah berubah menjadi sesosok wanita yang mengerikan, “Michikko, adikku ...”

Miwako berbisik lirih, “Kuharap kau bisa mengendalikan Missukko, jangan sampai terpengaruh oleh kekuatan jahatnya lagi,”

Michikko tak menjawab, ia berjalan mendekati makhluk yang disebut HARIHARA itu. Makhluk tersebut tampak lebih beringas dan liar, nafsu membunuhnya terpancar dengan jelas lewat matanya, akan tetapi, ia tak berani bertindak ceroboh. Sadar bahwa sosok di hadapannya itu bukanlah lawan yang enteng. Aku, Cindy dan yang lain hanya mengatupkan bibir rapat-rapat. Mendadak saja telingaku mendengar bisikan halus yang entah darimana asalnya, “Arimbi ... bantulah Michikko. Dengan bantuanmu makhluk itu bisa dimusnahkan,”

Aku menoleh kesana-kemari, niatku adalah mencari darimana asal suara itu. Tak ada siapapun disana hingga akhirnya Cindy menatapku lalu berkata, “Itu adalah suara ibu kakak, Rara Utari,”

“Benarkah ?” tanyaku.

“Apakah kakak tak sadar bahwa, kakak memiliki kemampuan yang sama dengan Nona Miwako dan Michikko ? Lihatlah, warna tubuh makhluk itu berubah menjadi kemerahan. Menurut Cindy ia memiliki unsur api di tubuhnya, semakin banyak dia menerima serangan, warna merahnya tampak makin menyala, dia semakin kuat,” jelas Cindy.

“Sekalipun Michikko memiliki kekuatan di luar kendalinya, itu bisa mengakibatkan tenaganya terkuras,” sambung Ki Prana.

Aku masih tidak mempercayai ucapan kedua orang itu. Bagiku serangan Michikko masih bisa mengimbangi kekuatan Harihara. Selain itu aku tak tahu bagaimana cara mengeluarkan kekuatan yang terpendam di dalam diriku. Michikko terus-menerus melancarkan serangan telekinesisnya pada Harihara, tubuhnya makin memerah bagaikan terbakar api. Sekilas memang makhluk itu tampak kesakitan, tapi, di pihak Michikko... tenaganya melemah hingga akhirnya terduduk lemas.

Aku menarik nafas panjang, kupusatkan perhatianku pada aroma air yang berjarak cukup jauh dari tempat itu. Dan, mendadak aku sudah berada di tempat asing. Sebuah tempat yang berudara sejuk dan banyak ditumbuhi pohon-pohon cemara yang rimbun.

Di hadapanku membentang sebuah sungai berair jernih dan berarus tenang. Sebuah tempat yang cukup tenang, untuk sesaat aku merasakan segala beban kehidupan yang menumpuk dan menyesakkan dada seakan sirna.

Pada saat itulah aku mendengar suara gemuruh, mataku terbelalak manakala melihat air sungai bergolak perlahan-lahan air dengan volume yang cukup besar naik ke udara setinggi 2 meter. Rasa terkejut bercampur panik membuat air sungai tersebut menerpa tubuhku. Tubuhku menggigil kedinginan, percikan air bagaikan ribuan jarum menusuk. Mendadak saja aku sudah berada di tempat dimana Michikko masih menahan serangan Harira. Tak ada lagi bentangan air sungai yang jernih, tak ada lagi pohon cemara berdaun rimbun, yang ada hanyalah debu-debu beterbangan dan hawa panas menyengat.

“Celaka !” seru Ki Prana, “Aku harus membantu Michikko, tenaganya melemah dan serangannya tidak sehebat tadi. Sebaliknya makhluk itu sepertinya makin kuat saja,” sambil berkata demikian Ki Prana melompat dan berdiri di tengah-tengah medan pertempuran supernatural.

“Kak Arimbi, Ki Prana bukanlah tandingan Harihara,” ujar Cindy, “Situasinya kian mengkhawatirkan. Kalau saja Cindy memiliki kekuatan seperti mereka, Cindy tidak akan tinggal diam,” sambungnya. Aku sendiri panik dan bingung, kembali kucoba mengulang apa yang baru saja terjadi, kali ini ...

Dengan kapasitas atau volume yang cukup besar, air turun dari atas langit menyiram semua orang yang ada di tempat itu. Makhluk itu melengking nyaring, saat warna merah di tubuhnya memudar, ia mencari tempat yang aman untuk berteduh. Tampak dengan jelas bahwa ia menghindar dari siraman air. Yah, kekuatan tersembunyiku sudah muncul, tapi, aku harus bisa mengendalikannya. Kupejamkan mata dan memusatkan perhatianku ke Harihara yang tengah menghindar kesana-kemari. Hingga makhluk itu berhenti pada suatu titik. Pada saat itulah kuarahkan percikan-percikan air tersebut kepadanya.

Raungan keras terdengar memekakkan telinga. Michikko berdiri, ia mengarahkan tapak kirinya ke Harihara. Raungan itu makin menjadi-jadi, warna merah di tubuhnya perlahan-lahan menghilang digantikan dengan warna coklat kehitaman, saat percikan-percikan air itu mengenai tubuhnya. Detik berikut warna hitam itu hilang dan yang tampak hanyalah kepulan asap tipis beterbangan kesana-kemari untuk kemudian hilang tanpa bekas.

Michikko berjalan menghampiri Miwako dan membimbingnya berdiri, keadaan wanita itu cukup menyedihkan dengan luka-luka hampir di sekujur tubuhnya. Ia tersenyum tipis, “Kita berhasil, Chikko,” katanya lirih.

Dua, tiga kali sentakan kepala ke kiri adalah jawaban Michikko untuk Miwako. Ia memeluk Missukko erat-erat, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya, ia hanya berdiri mematung wajahnya yang tertutup oleh rambut hitam dan panjang bergerak ke sekeliling. Saat matahari sudah tepat berada di atas kepala, mereka berjalan meninggalkan tempat itu.

_____

Di tengah nyala api yang kian membesar, membakar seluruh bangunan beserta isinya dan hiruk pikuk massa yang mendatangi sekolah SMA Tidar I, kemarahan Michikko membuat kepribadiannya berubah menjadi mesin pembunuh yang mengerikan. Kekuatan supernatural dari boneka yang dipeluk Michikko mengeluarkan sosok-sosok menyerupai Michikko dan menyerang massa tersebut. Beberapa orang berhasil merampas Missukko, beberapa orang yang lain melemparinya dengan batu. Thalia berusaha menghalangi tapi gagal, sebagian memegangi tangan dan kaki serta memisahkannya dari Michikko.

Michikko memang berhasil melukai beberapa orang tapi, justru menguras tenaganya. Tanpa adanya Missukko, Michikko bagaikan kehilangan kepercayaan diri bahkan setengah dari kekuatannya. Hingga akhirnya, orang-orang berhasil membekuk Michiko, dalam keadaan tak berdaya, orang-orang masih memukulinya dengan benda-benda yang berserakan di halaman sekolah.

“Lepaskan Michikko ! Dia tak bersalah !” teriak Thalia.

Sekeras apapun Thalia berteriak, tak ada seorang pun mendengarnya, itu membuat putus asa dan hanya bisa memandangi Michikko yang babak belur. Bahkan ada yang menelanjanginya. Saat tubuh Michikko tergeletak tak berdaya, beberapa orang menyeret dan memasukkannya ke dalam sumur. “Bakar boneka dan pakaian milik penyihir itu !” seru salah seorang dari massa tersebut. Bagaikan digerakkan oleh sihir, orang-orang meraih api dan membakar pakaian serta boneka Michikko. Dalam sekejab, api telah melalap habis pakaian dan boneka tersebut. Thalia hanya bisa menangis tersedu-sedu dan mencoba untuk menenangkan dirinya.

“Lihatlah ulah kalian. Kalian menyatakan diri sebagai manusia yang memiliki martabat, kehormatan dan berpendidikan luas ... tapi, tindakan kalian ini mirip sekali dengan binatang,” ujar Thalia.

“Tutup mulutmu. Kami sudah melakukan apa yang harus kami lakukan,” sahut salah seorang massa, “Selama kami masih hidup, kami akan membersihkan kota ini dari para penyihir. Jika kau masih ingin hidup, tinggalkan tempat ini atau jangan salahkan kami berbuat hal yang sama kepadamu.

Sekalipun kau adalah puteri orang yang berpengaruh di kota ini, apalah artinya itu ? Jumlah kami lebih banyak daripada mereka, apa yang bisa mereka lakukan !” sambungnya kemudian menoleh ke arah massa yang berdiri di belakangnya lalu mengajak mereka meninggalkan tempat itu.

“Tunggu,” cegah Thalia. Orang itu menghentikan langkahnya lalu berpaling ke arah wanita itu, “Kalau boleh tahu, siapa namamu ? Kelihatannya kau bukan berasal dari tempat ini ?”

“Untuk apa aku harus memberitahukan namaku kepadamu ? Tapi, baiklah untuk menghilangkan rasa penasaranmu, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Kedung Bawuk. Tak perlu kau tahu tempat tinggalku, karena aku sudah cukup terkenal di daerah Bandulan sana. Kalau kau ingin membalas dendam kematian penyihir itu, lupakan saja ... karena aku yakin kau takkan mampu melawanku. Terlebih wanita sepertimu yang mengaku puteri RM. Tjokrodiningrat,” jawab pemuda itu lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Thalia menatap tajam ke arah mereka tapi, ingatannya pada pemuda bernama Kedung Bawuk itu tak mungkin bisa hilang.

Sementara itu di dalam sumur. Michikko merintih-rintih kesakitan, sekujur tubuhnya penuh luka yang cukup parah dan darah mengucur tiada henti. Gadis Jepang itu menggigit bibirnya keras-keras seakan menahan rasa sakit yang mendera untuk kemudian dengan jari-jemarinya, ia mencengkeram dinding-dinding berlapis batu-batu tajam dan runcing. Ia merayap naik, ia tak ingin mati di tempat itu, ia harus keluar.

Harapan Michikko muncul kembali saat ia berhasil melalui setengah badan sumur. Ia terus merayap naik, tapi, saat jari-jemarinya memegang sebuah batu, mendadak batu itu terlepas dan membuat tubuhnya melorot ke bawah. Beberapa bebatuan mengoyak daging pada perutnya, ia menjerit tertahan mencoba untuk kembali merayap. Batu-batu itu seakan tak mau diajak bekerja sama setiap kali jari-jemarinya meraih sebuah batu, batu itu terlepas dan akhirnya mencampakkan tubuh Michikko ke dalam air.

Tak dapat dihitung berapa kali wanita keturunan Jepang itu mengulang usahanya untuk keluar dari dalam sumur. Tapi, harus dihadapkan pada kegagalan, hingga terdengar suara dari atas, “Michikko, maaf aku Thalia tak bisa membantumu. Entah bagaimana keadaanmu di dalam sana. Aku akan berusaha untuk membantumu keluar dari sumur ini, sekalipun kau sudah mati ... tapi, aku berjanji untuk segera menghidupkanmu kembali untuk meminta keadilan pada orang-orang yang telah mencelakakanmu. Terutama, pria yang bernama KEDUNG BAWUK itu,”

Dari sudut bibir Michikko tersungging senyuman tipis penuh pengharapan, maka, ia menghentikan usaha kerasnya itu dan memejamkan mata. Ia tak peduli dengan hawa dingin yang merayap masuk ke dalam tubuhnya yang penuh dengan luka-luka menganga, hingga akhirnya, ia melihat tubuhnya perlahan-lahan diselimuti air untuk kemudian tak nampak lagi.

“KEDUNG BAWUK,” katanya perlahan.

_____

Di luar sumur, tampak Thalia duduk bersimpuh pada dinding sumur. Sepasang matanya menatap ke sekeliling mulai dari abu pakaian milik Michikko, hingga puing-puing bangunan yang hangus terpanggang api.

Hanya suara gemeratak api membakar bangunan beserta isinya yang terdengar. Mata gadis itu berkaca-kaca, “Michikko ... tak kusangka pertemuan kita terasa begitu singkat. Entah mengapa aku merasakan sebagian dari diriku ini ikut menghilang. Mereka ... mereka harus menanggung akibatnya,”

Sepasang mata Thalia terbelalak manakala di antara mayat-mayat yang terpanggang hangus, debu dan arang tampak sebuah benda berwarna hitam. Ia berdiri dan menghampiri benda tersebut. Sebuah boneka dan ia hafal betul bentuk serta pemilik boneka itu. Missukko. Ia tak habis pikir, dengan mata kepala sendiri melihat bahwa boneka itu habis terbakar, bagaimana mungkin boneka itu masih terlihat utuh.

Dipungutnya boneka itu lalu bagaikan seorang ibu tengah menggendong bayinya, Thalia bersenandung lirih. Senandung Nina Bobo. Iapun melangkah meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Thalia, terdengar ledakan keras, api kembali berkobar, membakar kembali gedung sekolah itu, asap hitam mengepul di udara menyatu dengan awan-awan hitam yang memayungi tempat itu.

“Engklek – engklek semut,

Sakabehing jagat donya lan langit nyanyi

Saking akehe samsara,

Mbalek menyang suwarga,

Manungsa pada gendheng marang jabatan,

Kahormatan lan jeneng ora ana lakune sing becik,

Menungsa pada duwe gawe,

Nanging sing kuwasa menehi apa sing ora dikarepi,

Engklek-engklek semut,

Digdayane menungsa ana watese,

Kahormatan lan laku sing becik,

Nemtuake pirang-pirang dalan

Menyang Kuwasa

Mati lan urip wes ana sing ngatur

Nanging kaadilan pada ilang

Nafsu menungsa luwih gedhe tinimbang kapribaden,

Sawise jagad donya sirna,

Kowe arep mlayu menyang endi

Sanajan kowe isih urip

Pada elingo karo sing dadekake menungsa

Pada elingo, sapa sing nggawe jagat donya ...”

Senandung merdu itu terus bergema, memenuhi alam sekitar dan saat suara guntur menggelegar, senandung itu lenyap seiring dengan turunnya hujan deras yang mendadak turun. Alam seakan turut berduka atas nasib yang menimpa Michikko, alam seakan turut merasakan kepedihan hati Thalia yang harus kehilangan sahabat karibnya.

_____

^^^“Michikko... Michikko ....^^^

^^^Setiap tarikan nafas,^^^

^^^Kusebut namamu^^^

^^^Aku tahu ... Kau telah banyak menderita^^^

^^^Hanya karena mereka yang iri hati dan cemburu,^^^

^^^Sekalipun dunia kita berbeda ...^^^

^^^Aku merasakan kau selalu ada untukku ...^^^

^^^Sekalipun kau tak pernah tersenyum^^^

^^^Tapi aku tahu, senyummu adalah ...^^^

^^^Gambaran kedukaanmu,^^^

^^^Gambaran kesendirianmu,^^^

^^^Gambaran dari kehampaanmu,^^^

^^^Tapi, bagiku, itu adalah ...^^^

^^^Pemandangan yang paling indah dalam hidupku,^^^

^^^Mengapa kita harus bertemu, jika akhirnya terpisah ?^^^

^^^Mengapa Tuhan tidak adil padaku ?^^^

^^^Mereka mendapatkan kebahagiaan,^^^

^^^Mendapatkan apa yang ia inginkan ...^^^

^^^Tapi, aku ...^^^

^^^Mengapa semuanya berlalu begitu saja ?^^^

^^^Kuingin kita selalu bersama,^^^

^^^Sekalipun jiwa dan raga kita terpisah oleh dimensi yang berbeda.^^^

^^^Michikko ...^^^

^^^Kau telah tiada, kini aku sendiri^^^

^^^Meratap, menangis dan bersedih^^^

^^^Mengharapkan kau kembali, sekalipun itu ... menyalahi kodrat^^^

^^^Aku akan menghidupkanmu kembali^^^

^^^Dan kita akan selalu bersama, untuk selamanya ....^^^

^^^Takkan kubiarkan siapapun menghalangi kita^^^

^^^Termasuk DIA yang selalu disanjung dan dihormati^^^

^^^Oleh seluruh makhluk di muka dunia ini !! “^^^

Tulisan itu tertera pada secarik kertas yang kutemukan di dalam ruangan dimana Thalia tinggal. Ia memperlakukan Michikko secara istimewa sekalipun wanita berdarah Jepang itu sudah lama meninggal. Kini lewat Miwako, Michikko hidup kembali, entah untuk sementara waktu atau selamanya. Demi menghidupkan Michikko, entah sudah berapa banyak korban yang jatuh dan sebagian besar adalah wanita-wanita muda memiliki perawakan sama dengan Michikko bahkan aku sendiri nyaris jadi korbannya. Beruntung sekali, Miwako dan teman-teman datang membantuku.

Michikko sudah mendapatkan kembali Missukko, bonekanya. Luka-luka Miwako sudah berangsur-angsur pulih. Tapi, sejak peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, entah mengapa aku dan yang lain jadi khawatir. Ada yang ganjil pada diri Michikko.

“Hei, apa yang kau lamunkan ?” sebuah teguran dan tepukan lembut pada bahu kananku membuat lamunanku buyar dan buru-buru menoleh ke pemilik suara itu.

Miwako dan Michikko sudah berdiri di belakangku, “Nona Miwako, Nona Michikko,” suaraku gemetar karena gugup terlebih saat memandangi Missukko yang berada dalam pelukan Michikko. Boneka itu sepertinya hidup, sepasang memandangiku dengan tajam dan dingin. Seakan ada aura mistis keluar dari dalam tubuhnya yang kecil.

Tampaknya Miwako menyadari gelagatku tersebut, “Kau tak perlu takut pada Missukko. Aku sudah memberikan mantera untuk menyegel kekuatan jahatnya,” katanya. Sekalipun berkata demikian, perasaanku tetap saja tidak tenang, aku berusaha keras untuk mengendalikannya.

“Tugasku sudah selesai,” kata Miwako, “Besok kami akan kembali ke Jepang untuk menemui ibu dan menempatkan Michikko ke tempat yang layak. Maafkan aku karena telah membuat kalian susah,” Miwako membungkukkan badannya dalam-dalam dan aku merasa tidak enak sekali.

“Sudahlah, kak ... pada dasarnya kita semua adalah keluarga, tak pantas rasanya mendapatkan penghormatan dari kalian ini,” aku semakin gugup dan salah tingkah. Aku merasa terpojok, memang, butuh waktu yang cukup lama untuk menenangkan kembali perasaanku itu, hingga akhirnya Cindy dan Maribeth datang. Mereka berdua berjalan menghampiriku diikuti oleh Jen-Shen, Intan, Toby dan Timmy, “Kami sama sekali tak menyangka bahwa Kak Arimbi memiliki keluarga dari Jepang. Apakah kakak tak ada keinginan untuk kesana ?” tanya Maribeth.

Arimbi tersenyum, “Memang ... sekali-kali aku ingin pergi ke Jepang menemui Nyonya Ukkonawa. Tapi, mungkin lain kali ...” katanya.

“Oya, tadi kami mendengar bahwa, Nona Miwako dan Nona Michikko hendak kembali ke Jepang besok... mengapa tidak tinggal beberapa hari lagi di Indonesia ?” tanya Maribeth.

Miwako tertawa memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih dan rapi, “Kelak saya akan kembali lagi ke Indonesia. Masih ada satu tugas lagi, biar bagaimanapun juga Michikko sudah meninggal dan harus dikuburkan dengan layak agar jiwanya bisa tenang dan berada di tempat yang seharusnya,”

“Kalau begitu kami tidak bisa menghalangi Anda, mudah-mudahan kelak kita bisa bertemu kembali. Ingatlah selalu, biar bagaimana pun juga kalian adalah saudara-saudaraku,” aku menimpali.

Arimbi dan yang lain melewatkan malam yang tenang itu dengan senda gurau, menceritakan pengalaman masing-masing. Untuk pertama kalinya, Arimbi dan kawan-kawan mendengar suara Michikko. Wanita Jepang itu sebenarnya adalah seorang wanita yang ceria dan memiliki pengetahuan luas. Hanya karena seumur hidupnya diterpa oleh banyak pengalaman yang tidak mengenakkan, ia menjadi wanita pendiam, penyendiri dan harus menyandang predikat sebagai manusia aneh dari orang-orang di sekitarnya.

Wajah bulan purnama timbul-tenggelam di balik awan, bias-bias sinarnya masuk melalui celah-celah dedaunan dan menerpa sesosok bayangan berdiri tak jauh dari rumah mewah tersebut. Saat lampu-lampu dipadamkan, bayangan itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum bayangan itu pergi, ia berkata, “Ternyata di tempat inilah para penyihir itu berkumpul, takkan kubiarkan dunia ini dipenuhi oleh mereka. Aku harus melakukan sesuatu,”

_____

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!